Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa PTPN X, PTPN XI, dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa
produksinya di tahun 2009 yaitu 18.72 persen, 15.64 persen, dan 18.96 persen. Sugar Group merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam
industri gula sehingga perusahaan ini mampu menjadi leader dalam industri gula kristal putih. Kemampuan industri gula swasta didukung oleh teknologi modern
dan pola usaha integratif yang telah dijalankan, sehingga terbukti mampu memberikan daya saing yang tinggi.
2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia
Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting Indonesia. Industri pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673
yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930
dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen hingga 13.8 persen.
Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan
yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi Sudana, 2000.
Sepanjang sejarahnya, industri gula termasuk produk yang paling teregulasi diantara produk-produk lainnya. Industri gula merupakan salah satu
yang tingkat distorsinya paling tinggi. Hal ini dikarenakan disamping gula termasuk dalam produk pokok yang bernilai strategis dalam kebutuhan
masyarakat, struktur pasar gula oligopoli. Dikatakan ologopoli sebab sekalipun perkebunan tebu diusahakan oleh ribuan petani namun produksi gula hanya
dihasilkan oleh puluhan pemain yaitu pabrik gula nasional yang bernaung dibawah pengusahaan negara maupun swasta.
Sebagai komoditas yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap industri
pergulaan nasional. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan input, produksi, dan pemasaran saja tetapi sudah mencakup
dimensi yang cukup luas hingga pada kebijakan harga dan kebijakan impor. Kebijakan yang mempengaruhi pasang surut industri pergulaan nasional disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional Kebijakan
Perihal Tujuan
INPRES No. 9 Tahun 1975, 22 April 1975
Intensifikasi tebu TRI
Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu
Kepmen Perdagangan dan Koperasi
No.122KpIII81, 12 Maret 1981
Tata niaga gula pasir dalam negeri
Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran
gula pasir serta peningkatan pendapatan petani
Kepmenkeu No. 342KMK.0111987
Penetapan harga gula pasir produksi dalam
negeri dan impor Menjamin stabilitas harga,
devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik
UU No.121992 Budidaya tanaman
Memberikan kebebasan kepada petani untuk
menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar
Inpres No 5 Tahun 1997, 29 Desember 1997
Program pengembangan tebu rakyat
Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka
perdagangan bebas
Inpres No. 51998, 21 Januari 1998
Penghentian pelaksanaan Inpres
No. 51997 Kebebasan pada petani untuk
memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 121992
Kep Menperindag No. 25 MPPKep11998
Komoditas yang diatur tata niaga impornya
Tata niaga impor gula untuk menjaga kelancaran arus
barang dilakukan oleh importir produsen IP
Kepmenperindag No. 505MPPKep101998
Perdagangan dan distribusi minyak
goreng dan gula pasir Perdagangan dan distribusi
gula pasir hasil produksi PT Perkebunan NusantaraPT
Rajawali Nusantara Indonesia ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan
Kepmenhtbun No. 282Kpts-IX1999, 7
Mei 1999 Penetapan harga
provenue gula pasir produksi petani
Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan
produksi
Kep Menperindag No. 230MPPKep61999,
4 Juni 1999 Mencabut
Kepmenperindag No. 505MPPKep101998
Menciptakan iklim perdagangan minyak goreng
dan gula pasir yang berorientasi pasar
Kep Menperindag No. 364MPPKep81999,
5 Agustus 1999 Tata niaga impor gula
Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor
gula dengan pembatasa jumlah importir dan izin
impor hanya untuk importir produsen
Kep Menperindag No. 717MPPKep121999
Pencabutan tata niaga impor gula dan beras
Impor gula dan beras dapat dilaksanakan oleh importir
umum
Kepmenkeu No. 568KMK.011999
Penetapan tarif bea masuk atas impor
beras dan gula Untuk menjaga kepentingan
petani dan konsumen tarif bea masuk atas impor gula
sebesar 20 persen gula mentah dan 25 persen gula
kristal putih
Kepmenkeu No. 324KMK.012002
3 Juli 2002 Perubahan bea masuk
Peningkatan efektivitas bea masuk melalui penggantian
dari tarif ad-valorem menjadi tarif spesifik
Kep Menperindag No. 643MPPKep92002,
23 September 2002 Tata niaga impor gula
Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir
gula produsen dan importir gula terdaftar untuk
peningkatan pendapatan petaniprodusen.
SK Menperindag No. 527MPPKep92004,
17 September 2004 Ketentuan impor gula
Pembatasan pelaku impor gula, jumlah pasokan gula
impor, kualitas gula, waktu impor dan harga penyangga
atau penjamin
Kepmen Perdagangan No.02MKepXII 2004,
7 Desember 2004 Perubahan atas
keputusan menteri perindustrian dan
perdagangan No. 527MPPKep92004
tentang impor gula Ketentuan bahwa impor dapat
dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani
mencapai di atas Rp 3 800.00 per kilogram dan atau apabila
produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi
kebutuhan
Kep Menperindag No. 08M-DAG Per42005
Perubahan atas Keputusan Menteri
Perdagangan No.02MKepXII200
4 tentang perubahan atas Keputusan
Menperindag No. 5272004 tentang
impor gula Ketentuan impor gula tidak
hanya mengatur tentang harga patokan tetapi juga jumlah
pasokan
Permendag No. 18M- DAGPER42007
Perubahan atas keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.
27MPPKep92004 tentang ketentuan
impor gula Ketentuan bahwa impor dapat
dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani
mencapai di atas Rp 4 900.00 per kilogram dan apabila
produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi
kebutuhan
Permenkeu No. 86PMK.0102005
Keringanan tarif bea masuk atas impor gula
Gula tebu dengan ICUMSA minimal 1200 IU bea masuk
menjadi Rp 250 per kilogram dan gula bit, gula murni menjadi
Rp 530 per kilogram
Permentan No. 57PermentanKU.4307
2007 Pedoman pelaksanaan
kredit ketahanan Pangan dan Energi
Besar kredit untuk usahatani tebu Rp 12 500 000.00
Permendag No. 19M- DAGPER52008
Perubahan atas keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.
27MPPKep92004 tentang ketentuan
impor gula Ketentuan bahwa impor dapat
dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani
mencapai di atas Rp 5 000.00 per kilogram dan atau apabila
produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi
kebutuhan
Permenperind No.83M- INDPer112008
Pemberlakuaan Standar Nasional
Indonesia SNI gula kristal rafinasi
Penggunaan sertifikat produk tanda standart nasional secara
wajib agar menghasilkan gula kristal rafinasi yang sesuai
dengan persyaratan SNI
Permenperind No. 91M- INDPER112008
Program Restrukturisasi
MesinPeralatan Pabrik Gula
Dalam rangka mendukung revitalisasi pabrik gula
melalui keringanan pembiayaan pembelian
mesinperalatan pabrik gula guna peningkatan kapasitas
produksi gula nasional
Permenperind No.95M- INDPER112008
Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian
dalam rangka PenerapanPemberlak
uan dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia SNI Gula Kristal Rafinasi
Untuk melaksanakan sertifikasi dan pengujian mutu
produk gula kristal rafinasi
Permendag No. 560M- DAGPER42009
Perubahan atas keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.
27MPPKep92004 tentang ketentuan
impor gula Ketentuan bahwa impor dapat
dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani
mencapai di atas Rp 5 350.00 per kilogram dan apabila
produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi
kebutuhan
SK Mendag No.111M- DAG22009
Penyempurnaan petunjuk
pendistribusian gula kristal rafinasi
Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak
yang terlibat distribusi gula kristal rafinasi
Permenkeu No.150PMK.0112009
24 September 2009 Penetapan tarif bea
masuk atas impor gula Menjaga stabilitas harga gula
dalam negeri tarif bea masuk atas impor gula kristal
rafinasi Rp 400 per kilogram dan gula mentah Rp 150 per
kilogram
Permenperind No. 44M- INDPER42010
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 91M-
INDPER112008 tentang Program
Restrukturisasi MesinPeralatan Pabrik
Gula Memperluas peserta program
restrukturisasi mesinperalatan pabrik gula dengan syarat
pabrik gula tidak memproduksi gula kristal rafinasi, mengganti
sebagianseluruh komponen peralatan dengan teknologi
yang lebih baik
Sumber : Sudana et al.2002 dan Susila 2005a, KPPU 2010, Kementerian Perindustrian 2008, Kementerian Perdagangan 2009, dan Kementerian Keuangan 2009
Pada masa pra 1975 sebagian tanaman tebu diusahakan oleh pabrik gula di atas tanah persewaan. Tarif sewa tanah untuk tanaman tebu setiap tahun
ditetapkan oleh pemerintah yang sekaligus meliputi persewaan tanah untuk tanaman tebu, dan tembakau. Penetapan tarif sewa tanah yang rendah setiap tahun
menimbulkan masalah karena pemilik tanah hilang minatnya untuk menyewakan
tanahnya pada pabrik gula. Apabila ditetapkan terlalu tinggi, maka biaya pokok produksi gula akan menjadi tinggi pula. Amang 1993 menjelaskan bahwa pada
tahun 1975 melalui Inpres No. 9 Tahun 1975 pemerintah menghapus sistem sewa tanah dan menggantikannya dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi TRI.
Dalam sistem ini diintrodusir paket kredit dan input yang bertujuan mendorong petani perorangan bergantung dalam suatu kelompok untuk menanam tebu
ditanahnya. Pada sistem TRI ini juga dimaksudkan agar terdapat suatu pemisahan yang jelas antara tanggung jawab produsen tebu dilakukan oleh petani dan
pengolahan tebu menjadi gula pasir oleh pabrik gula. Pada tahun 1980 pemerintah melakukan modifikasi sistem TRI dengan
memberikan pengarahan kepada pabrik gula untuk memberi bimbingan dan bantuan langsung kepada petani melalui Koperasi Unit Desa KUD baik dalam
hal penyediaan benih, pengelolaan lahan, panen, dan proses pengangkutan. Namun demikian, Hariyati 2003 mengemukakan bahwa sejak dikeluarkannya
Inpres No. 9 Tahun 1975 telah merubah sejarah baru yang merombak sistem persewaan perkebunan menjadi sistem tebu rakyat. Sejak saat itu kehadiran petani
sebagai partner pabrik gula menyebabkan terjadinya pemisahan tanggung jawab, produksi, dan pengolahan, sehingga dalam produksi gula terbagi menjadi dua segi
yaitu produksi tebu dan industri pengolahannya. Pelaku utama dalam produksi gula terbagi menjadi petani dan pabrik gula sehingga kebijakan produksi gula
tidak boleh terlepas dari perilaku keduanya. Harapan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui
program TRI tidak terwujud. Selama pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 1975 segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang, dan angkut tebu
serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Akibatnya petani menjadi pihak yang dirugikan, tingkat keuntungan yang diperoleh petani
dari tanaman tebu lebih kecil daripada jenis tanaman lain, sehingga secara psikologis petani kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertaniannya
sendiri. Menyikapi perkembangan yang negatif akan pelaksanaan TRI serta seiring dengan semakin menurunnya produksi gula nasional dan tingkat
kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat pemerintah kemudian mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975. Pencabutan kebijakan ini diikuti dengan
Keputusan Menperindang No. 25MPPKepI1998 yang intinya menetapkan BULOG tidak lagi menangani perdagangan gula. Hafsah 2003 menyatakan
penerbitan keputusan ini terjadi karena adanya keterikatan Indonesia dengan IMF Internasional Monetary Fund
dengan Letter of Intent-nya terutama tentang pelaksanaan butir nomor 44 dari Letter of Intent tersebut tentang pembebasan tata
niaga komoditi pertanian termasuk gula, yang harus dilakukan sejak Januari 1999. Pada tahun 1999 ketika krisis ekonomi Indonesia mulai membaik harga
gula dalam negeri mengalami penurunan. Hal ini disebabkan harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat serta tidak adanya tarif
impor. Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen
mengakibatkan industri gula lokal terancam. Kenyataannya pada saat itu, gula impor lebih murah daripada harga gula lokal menunjukkan ketidakefisienan dari
industri gula lokal di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Wibowo 2009
menyatakan kebijakan tersebut telah membawa ekonomi pertebuan nasional berada pada titik nadir menuju liberalisasi yang menekan produksi tebu petani.
Tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk merevitalisasi agribisnis tebu sehingga parameter produksi dan produktivitas serta nilai tambah agribisnis
berbasis tebu benar-benar menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 228KPTS-IV1999 untuk
melindungi produsen dalam negeri dengan menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2 500.00 per kilogram. Namun, kebijakan ini tidak didukung oleh
rencana dan tindak lanjut dari pemerintah sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan kebijakan ini ternyata
pemerintah dan BUMN perkebunan tidak memiliki dana yang memadai. Akibatnya kebijakan tersebut tidak terealisasi dan harga gula petani masih
mengalami ketidakpastian. Pemerintah kemudian mengambil jalan keluar dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 364MPPKep81999 dengan melakukan
pembatasan jumlah impor dan hanya memberikan izin impor kepada importir produsen. Melalui kebijakan ini pemerintah mampu mengendalikan volume impor
sehingga harga gula dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan.
Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume
impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih
adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi
industri gula dalam negeri semakin kuat Dewan Gula Indonesia, 1999. Dalam jangka waktu 4 bulan melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 717MPPKep121999 pemerintah mencabut tata niaga impor gula dan beras yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000, sehingga
perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar. Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568KMK.011999 yang
mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum IU maupun importir produsen IP termasuk BULOG diperbolehkan
mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Namun, karena dirasa tarif ad-
valorem tersebut kurang efektif maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No.
324KMK.012002 tarif tersebut diganti menjadi tarif spesifik yaitu Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih.
Tingkat tarif ini terus berlaku hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 dalam rangka mendukung program akselerasi pemerintah
melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527MPPKep92004
dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia.
BULOG mempunyai peran sebagai distributo tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia RNI melalui jaringannya
yang tersebar diseluruh Indonesia. Ketentuan impor gula yang tertuang dalam SK Menperindag No. 5272004
telah mendatangkan permasalahan baru dalam industri pergulaan nasional. Hal ini mengingat dalam kebijakan tersebut pemerintah membagi pemasaran gula
menjadi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. KPPU 2010 menyatakan
bahwa segmentasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan. Pemisahan yang dilakukan untuk menjaga
gula kristal putih diatas Harga Dasar Gula HDG tidak efektif sebab adanya perbedaan harga yang cukup signifikan. Kondisi ini yang membuat gula kristal
rafinasi yang seringkali dimaksudkan untuk kepentingan industri banyak ditemukan beredar dipasaran.
Target produksi gula konsumsi tahun 2009 tidak tercapai, sedangkan sebagian stok gula konsumsi nasional diserap oleh industri makanan dan minuman
skala kecil dan menengah serta rumah tangga, sehingga terjadi lonjakan harga di pasar dunia maupun di pasar domestik. Industri makanan dan minuman skala kecil
dan menengah sebelumnya menggunakan pasokan gula kristal rafinasi. Oleh karena itu, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan penurunan tarif bea masuk
impor gula kristal rafinasi dan gula mentah melalui revisi peraturan Menteri Keuangan No. 150PMK.0112009, dimana tarif bea masuk gula kristal rafinasi
turun 49.4 persen menjadi Rp 400.00 per kilogram dari sebelumnya Rp 700.00 per kilogram dan gula mentah dari Rp 550.00 per kilogram menjadi Rp 150.00 per
kilogram. Pemerintah memperpanjang pemberlakuan tarif bea masuk tersebut hingga April 2010.
Tata niaga penyaluran gula nasional pada tahun 2010 dan 2011 tidak tertata dengan baik sekalipun pemerintah telah secara serius mengatur distribusi
gula kristal rafinasi melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.111M- DAG22009 tentang penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula. Penyaluran
gula kristal rafinasi tidak lagi langsung ditujukan kepada industri pengguna tetapi melalui distributor, sehingga gula kristal rafinasi impor banyak yang masuk ke
pasar konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Pemerintah tidak melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap peredaran gula kristal rafinasi di pasar
umum. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula.
Target untuk swasembada gula sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2002 pemerintah untuk tercapai pada tahun 2007. Namun
kemudian target tersebut mundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi tahun 2009 walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi
masyarakat atau gula kristal putih dan bukan untuk industri. Kegagalan target swasembada gula ini produksi gula nasional yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan nasional dan kurang ketertarikan investor dalam menanamkan modal di sektor perkebunan tebu di Indonesia. Bahkan saat ini target swasembada
dicanangkan oleh pemerintah tercapai pada tahun 2014.
2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free