gula kristal rafinasi yang baru berdiri sejak tahun 2003. Sejak awal berdirinya, hanya terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Selama periode 2003-2005,
ketiga pelaku usaha tersebut mampu memasok kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri hingga 759.71 ribu ton per tahun. Kemudian pada 2006-2008,
pelaku usaha di industri gula kristal rafinasi ini bertambah menjadi tujuh pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat jadi sekitar 1.1 juta ton hingga
1.4 juta ton per tahun. Pada 2009 hingga sekarang, total pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi menjadi delapan, sehingga kemampuan pasokan
industri rafinasi mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi gula kristal rafinasi paling tinggi adalah pada tahun 2009 yaitu tumbuh 61.71
persen menjadi 2.031 juta ton gula, sedangkan gula kristal putih, yang mayoritas diproduksi oleh pabrik gula BUMN dan swasta yang berjumlah 62 unit hanya
mampu berproduksi 2.228 juta ton pada tahun 2011. Produksi gula kristal putih bahkan tidak mampu tumbuh lebih dari 10
persen dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi gula kristal putih mengalami penurunan paling besar, yaitu 13.83 persen dari 2.668 juta ton pada
tahun 2008 menjadi hanya sebesar 2.299 juta ton pada tahun 2009. Bahkan pada tahun 2010 produksi gula kristal putih masih mengalami penurunan hingga
menyebabkan produksinya lebih rendah dibandingkan gula kristal rafinasi. Ketidakmampuan produksi gula kristal putih dalam meningkatkan laju
produksinya, disebabkan pabrik-pabrik gula yang memproduksi gula kristal putih tersebut mayoritas adalah pabrik-pabrik tua peninggalan pemerintah Hindia
Belanda yang dalam prosesnya kurang memenuhi standar sebagai produsen bahan pangan.
5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri
Indonesia merupakan negara yang masih menganut dualisme gula, dimana di Indonesia konsumsi gula di Indonesia dibedakan berdasarkan penggunaannya,
yaitu konsumsi gula langsung atau rumah tangga dan konsumsi gula industri. Gula kristal putih adalah gula yang ditujukan untuk konsumen rumah tangga,
sedangkan gula kristal rafinasi tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi rumah tangga sehingga hanya sektor industri yang mempergunakan gula jenis ini. Sektor
industri yang paling banyak menggunakan gula kristal rafinasi adalah sektor industri makanan dan minuman. Namun, kurangnya pengawasan membuat tidak
sedikit gula kristal rafinasi merembes pada pasar konsumsi. Berikut ini adalah perkembangan konsumsi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi di Indonesia
tahun 2003-2007.
Tabel 8. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010
Tahun Konsumsi ton
Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi
2003 2 309 570
845 918 2004
2 441 279 904 203
2005 2 616 480
1 373 403 2006
2 719 956 1 532 837
2007 2 618 679
2 084 737 2008
2 693 559 1 647 555
2009 3 011 971
2 280 139 2010
2 288 025 2 519 232
2011 2 768 831
2 246 705
Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012
Konsumsi gula kristal putih di Indonesia berfluktuasi dalam setiap tahunnya. Konsumsi gula kristal putih mengalami penurunan 24.04 persen dari
tahun 2009 sebesar 3.012 juta ton menjadi 2.288 juta ton pada tahun 2010. Seiring dengan peningkatan produksinya, pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi juga
lebih tinggi dibanding pertumbuhan gula kristal putih. Gula kristal rafinasi meningkat 38.40 persen pada tahun 2009 dengan total konsumsi mencapai 2.280
juta ton. Bahkan pada tahun 2010, konsumsi gula kristal rafinasi meningkat 10.49 persen atau sebesar 2.519 juta ton lebih tinggi dari konsumsi gula rumah tangga.
5.2.3. Impor Gula Indonesia
Berdasarkan Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa kebutuhan gula di Indonesia baik gula kristal putih maupun rafinasi seringkali lebih tinggi daripada
produksi gula di Indonesia. Adanya gap atau selisih antara produksi dan konsumsi ini yang menyebabkan Indonesia selalu membuka kran impornya untuk memenuhi
kekurangan konsumsi gula dalam negeri. Peningkatan tersebut selain karena
peningkatan jumlah penduduk dan tingkat perekonomian masyarakat yang mengalami peningkatan juga karena meningkatnya kebutuhan gula karena industri
makanan dan minuman juga mengalami kemajuan. Perkembangan impor gula Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 9.
Tabel 9. Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010
Tahun Impor ton
Gula Kristal Putih Gula Mentah
Gula Kristal Rafinasi
2003 647 908
350 582 516 371
2004 256 589
478 250 464 213
2005 453 160
808 200 629 615
2006 216 490
952 387 462 741
2007 448 681
1 255 522 715 930
2008 49 025
1 213 470 453 743
2009 13 000
1 670 000 149 837
2010 446 894
2 265 000 158 384
2011 143 479
2 268 954 60 412
Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa laju pertumbuhan impor gula kristal putih relatif berfluktuasi dipengaruhi oleh kebijakan impor yang diterapkan oleh
pemerintah. Impor gula kristal putih mempunyai komposisi yang lebih kecil dibanding impor gula kristal rafinasi dan gula mentah karena impor gula kristal
putih dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan gula didaerah non sentra produksi. Daerah sentra produksi gula di Indonesia berada pada wilayah
Indonesia bagian barat sehingga kekurangan gula pada non sentra produksi atau wilayah timur Indonesia seringkali dipenuhi melalui impor karena distribusi dari
daerah sentra produksi membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya transportasi yang tinggi apabila menunggu distribusi gula dari wilayah barat.
Sejak tahun 2007 impor gula kristal putih telah mengalami penurunan namun pada tahun 2010 impor gula kristal putih meningkat kembali menjadi 446.89 ribu
ton karena faktor cuaca yang menyebabkan penurunan produksi.