II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat
Tarif di Indonesia
ACFTA ASEAN-China Free Trade Area adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas
dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal
ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan
sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan
penandatanganan “The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation
CEC ” yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN
dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi,
fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan
tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan
Vietnam. Peserta
ASEAN-China Summit
pada bulan
November 2004
menandatangani naskah “The Framework Agreement on Trade in Good” yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN
Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target
penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan differential treatment and flexibility
akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada tahun 2015.
Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap
perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China
Free Trade Area Waktu
Peristiwa
1991 Kesepakatan AFTA dipercepat menjadi tahun 2001
1991 The People’s Republic of China PRC secara resmi menjadi
mitra dialog ASEAN
1997 Desember Joint Statement
kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21
2000 November Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati
gagasan pembentukan ACFTA 2001 Maret
Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group Pada
KTT ASEAN-China
para kepala
negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between ASEAN and PRC
2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004
2003 Bali Concord proposal Indonesia
“ASEAN Community diterima: AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic
Community AEC
2004 November Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani 2007
Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 Desember ASEAN Charter berlaku
Sumber : Basri 2010
Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991. Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan
saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem
ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah 1 memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan
investasi kedua pihak, 2 meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, 3 mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang
saling menguntungkan kedua pihak, dan 4 memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang
ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui 1 penghapusan tarif
dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, 2 liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan 3 membangun rezim investasi yang kompetitif
dan terbuka dalam kerangka ACFTA.
Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu 1 Early Harvest Programme EHP, 2 Normal
Track Programme , dan 3 Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk
mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004
bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari 2006. Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 sd
08 yaitu hewan hidup 01, daging dan produk daging dikonsumsi 02, ikan 03, dairy product
atau produk susu 04, produk hewan lainnya 05,tumbuhan 06, sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis 07, dan buah-buahan dikonsumsi 08.
Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif HS 10 digit, sementara produk –
produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa CPO, bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan.
Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan
fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan
tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018.
Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List HSL seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi
0-50 persen mulai 1 Januari 2015 Kementerian Keuangan, 2011. Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati
melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang SKA dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional
menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap
menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA.
Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis
pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada
perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4
persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA Pasaribu, 2010.
2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia