Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor
Pada simulasi 9 S9 peningkatan luas areal perkebunan 30 persen menyebabkan peningkatan produksi gula sebesar 23.264 persen pada periode
2011-2014 dan 27.067 persen pada periode 2015-2020, namun menurunkan harga gula tingkat petani sebesar 1.916 persen 2011-2014 dan 1.835 persen 2015-
2020 serta harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.168 persen 2011-2014 dan 1.277 persen 2015-2020. Hal tersebut menyebabkan surplus produsen gula
mengalami penurunan yang cukup besar, yaitu Rp 286.99 miliar 2011-2014 dan Rp 266.86 miliar 2015-2020. Sedangkan dari sisi konsumen terjadi penurunan
harga gula eceran sebesar 1.195 persen 2011-2014 dan 1.309 persen 2015- 2020 yang diikuti dengan peningkatan permintaan rumah tangga sebesar 0.684
persen pada periode 2011-2014 dan 0.744 persen pada periode 2015-2020 sehingga surplus konsumen rumah tangga mengalami peningkatan sebesar
Rp 188.70 miliar 2011-2014 dan sebesar Rp 236.97 miliar 2015-2020. Selanjutnya harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan
permintaan gula industri meningkat sebesar 0.036 persen 2011-2014 dan 0.056 persen 2015-2020 sehingga surplus konsumen gula industri meningkat lebih
tinggi daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 181.84 miliar 2011-2014 dan Rp 221.67 miliar 2015-2020. Secara keseluruhan surplus
konsumen gula Indonesia meningkat sebesar Rp 370.54 miliar pada 2011-2014 dan Rp 458.64 miliar pada 2015-2020.
Demikian pula dengan perubahan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan dengan adanya kebijakan ini.
Penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun Rp 190.37 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 279.70 miliar pada periode 2015-2020. Devisa impor pemerintah
juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan impor gula Indonesia. Devisa impor menurun Rp 616.08 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 760.90 miliar pada
periode 2015-2020. Secara menyeluruh kebijakan ini memberikan penurunan kesejahteraan bagi masyarakat net surplus sebesar Rp 106.82 miliar pada periode
2011-2014 namun apabila dilakukan pada periode 2015-2020 akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat net surplus sebesar Rp 87.92 miliar. Hal ini
dikarenakan peningkatan surplus konsumen yang lebih besar dibanding penurunan surplus produsen dan penerimaan pemerintah dari tarif impor.
Pada simulasi 10 S10 penerapan swasembada absolut dengan menghentikan impor gula memacu produsen untuk meningkatkan produksi gula
sehingga meningkat sebesar 0.257 persen pada periode 2011-2014 dan 0.272 persen pada periode 2015-2020. Selain itu, kebijakan ini juga meningkatkan harga
gula tingkat petani sebesar 1.042 persen pada periode 2011-2014 dan 1.029 persen pada periode 2015-2020 serta harga gula tingkat pedagang besar sebesar 1.010
persen 2011-2014 dan 0.989 persen 2015-2020. Hal ini menyebabkan produsen memperoleh tambahan surplus sebesar Rp 138.36 miliar apabila
diterapkan sebelum periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan sebesar Rp 147.80 miliar apabila kebijakan tersebut diterapkan pada periode liberalisasi
perdagangan gula ACFTA. Konsumen merupakan yang paling dirugikan dari adanya kebijakan ini.
Peningkatan harga gula eceran sebesar 1.029 persen 2011-2014 dan 1.015 persen 2015-2020 yang diikuti dengan penurunan permintaan rumah tangga
sebesar 0.614 persen pada periode 2011-2014 dan 0.597 persen pada periode 2015-2020 menyebabkan surplus konsumen rumah tangga mengalami penurunan
sebesar Rp 161.45 miliar 2011-2014 dan sebesar Rp 182.43 miliar 2015-2020. Selanjutnya, harga gula tingkat pedagang besar yang menurun menyebabkan
permintaan gula industri turun sebesar 0.038 persen 2011-2014 dan 0.052 persen 2015-2020 sehingga surplus konsumen gula industri menurun lebih besar
daripada surplus konsumen rumah tangga yaitu sebesar Rp 157.19 miliar 2011- 2014 dan Rp 171.63miliar 2015-2020. Secara keseluruhan surplus konsumen
gula Indonesia menurun sebesar Rp 318.63 miliar pada 2011-2014 dan Rp 354.06 miliar pada 2015-2020.
Pelarangan impor gula ini memiliki dampak yang paling besar terhadap penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa impor. Pada periode
sebelum liberalisasi perdagangan gula ACFTA penerimaan permerintah dari tarif impor menurun Rp 2.594 triliun dan devisa impor menurun Rp 8.396 triliun,
sedangkan pada periode liberalisasi perdagangan gula ACFTA penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun lebih besar yaitu Rp 4.017 triliun dan devisa
impor menurun lebih besar yaitu Rp 10.950 triliun. Secara menyeluruh kebijakan ini juga menurunkan kesejahteraan masyarakat sebesar Rp 2.774 triliun pada
periode 2011-2014 dan Rp 4.223 triliun pada periode 2015-2020. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan swasembada gula absolut masih belum tepat untuk
dilakukan di Indonesia. Selanjutnya pada Tabel 56 dapat dilihat skema skenario kebijakan
penghapusan tarif impor gula sesuai dengan kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ACFTA. Kebijakan ini apabila dilakukan oleh pemerintah baik sebelum
liberalisasi perdagangan gula ACFTA 2011-2014 maupun pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA 2015-2020 maka akan menurunkan surplus produsen.
Penurunan surplus produsen paling tinggi terjadi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA yaitu Rp 21.78 miliar, sedangkan sebelum era liberalisasi
perdagangan gula ACFTA surplus produsen menurun sebesar Rp 23.31 miliar.
Tabel 56. Peramalan Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun
2011-2014 dan 2015-2020
Rp miliar
No Komponen
Alternatif Kebijakan S11
BA AA
1 Perubahan Surplus Produsen
-21.78 -23.31
a. Perusahaan perkebunan besar negara -3.48
-3.87 b. Perusahaan perkebunan besar swasta
-7.97 -10.38
c. Perusahaan perkebunan rakyat -10.34
-9.06 2
Perubahan Surplus Konsumen Indonesia 50.73
55.80 a. Konsumen gula rumah tangga
25.86 28.61
b. Konsumen gula industri 24.87
27.19 3
Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif -2 594.57
-4 017.57 a. Impor Gula dari Thailand
-1 054.00 -1 753.00
b. Impor Gula dari China -15.57
-49.57 c. Impor Gula dari Negara Lain
-1 525.00 -2 215.00
4 Net Surplus Indonesia
-2 565.62 -3 985.08
5 Perubahan Devisa Impor
1 433.02 1 866.40
a. Impor Gula dari Thailand 1 028.00
1 335.00 b. Impor Gula dari China
359.02 459.40
c. Impor Gula dari Negara Lain 46.00
72.00
Keterangan : BA = Periode 2011
– 2014 AA
= Periode 2015 – 2020
S11 = Penghapusan tarif impor gula
Sumber : Data diolah, 2012
Penurunan surplus produsen paling tinggi dialami oleh perusahaan perkebunan rakyat, yaitu Rp 10.34 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 9.06
miliar pada periode 2015-2020. Penurunan surplus ini dikarenakan penurunan produksi gula sebesar 0.041 persen 2011-2014 dan 0.043 persen 2015-2020
yang disebabkan oleh penurunan harga gula tingkat petani dan harga gula tingkat pedagang besar. Tingginya penurunan surplus produsen perkebunan rakyat
diantara perusahaan perkebunan lainnya menunjukkan bahwa petani yang paling dirugikan dengan adanya liberalisasi perdagangan gula ACFTA yang diwujudkan
melalui penghapusan tarif. Lain halnya dengan konsumen, kebijakan ini sangat menguntungkan
konsumen karena adanya tambahan surplus. Penurunan harga gula eceran dan pedagang besar membuat surplus konsumen Indonesia meningkat Rp 50.73 miliar
pada periode 2011-2014 dan Rp 55.80 miliar pada periode 2015-2020. Surplus konsumen rumah tangga meningkat lebih tinggi yaitu sebesar Rp 25.86 miliar
2011-2014 dan Rp 28.61 miliar 2015-2020, sedangkan surplus konsumen industri hanya meningkat Rp 24.87 miliar 2011-2014 dan Rp 27.19 miliar 2015-
2020. Peningkatan surplus ini karena adanya peningkatan permintaan gula rumah tangga dan industri akibat penurunan harga gula eceran dan pedagang besar.
Penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami penurunan, namun devisa impor gula meningkat. Pada periode 2011-2014 penerimaan pemerintah
dari tarif impor menurun sebesar Rp 2.594 triliun dan devisa impor meningkat Rp 1.433 triliun, sedangkan pada periode 2015-2020 penerimaan pemerintah dari tarif
impor menurun lebih besar yaitu Rp 4.017 triliun dan devisa impor meningkat lebih besar pula yaitu Rp 1.866 triliun. Secara keseluruhan, penghapusan tarif
impor gula sesuai dengan skema ACFTA ini menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat net surplus yang paling besar diantara kebijakan
lainnya, yaitu sebesar Rp 2.565 triliun 2011-2014 dan Rp 3.985 triliun 2015- 2020.
Berdasarkan Tabel 57 dapat dilihat peramalan dampak skenario simulasi penurunan tarif impor gula terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula
Indonesia. Skenario penurunan tarif impor gula sesuai dengan skema penurunan tarif untuk komoditas HSL yang salah satunya adalah gula terdiri dari penurunan
tarif sebesar 10 persen, 30 persen dan 50 persen. Ketiga skenario simulasi ini menurunkan surplus produsen gula Indonesia. Penurunan surplus produsen gula
terbesar adalah pada skenario penurunan tarif impor 50 persen. Pada periode 2011-2014 surplus produsen menurun sebesar Rp 10.951 miliar dan pada periode
2015-2020 surplus produsen menurun lebih besar yaitu sebesar Rp 11.658 miliar. Pada skenario penurunan tarif impor 30 persen, surplus produsen menurun
lebih rendah yaitu sebesar Rp 6.571 miliar 2011-2014 dan Rp 7.097 miliar 2015-2020, sedangkan pada skenario penurunan tarif impor 10 persen surplus
produsen menurun paling rendah, yaitu sebesar Rp 2.191 miliar 2011-2014 dan Rp 2.380 miliar 2015-2020. Penurunan surplus produsen ini terjadi karena
peningkatan impor gula yang memicu penurunan harga gula tingkat petani dan pedagang besar sehingga produksi gula pada ketiga perkebunan mengalami
penurunan. Dari sisi konsumen, peningkatan impor gula menyebabkan harga gula
eceran dan harga gula tingkat pedagang besar mengalami penurunan. Penurunan harga gula eceran dan tingkat pedagang besar ini direspon dengan peningkatan
permintaan gula baik oleh konsumen gula rumah tangga maupun industri sehingga surplus konsumen mengalami peningkatan. Tambahan surplus konsumen paling
tinggi juga berada pada skenario simulasi penurunan tarif impor gula 50 persen. Surplus konsumen akibat kebijakan ini meningkat sebesar Rp 25.361 miliar
2011-2014 dan meningkat Rp 27.895 miliar 2015-2020. Pada pada skenario simulasi penurunan tarif impor 30 persen, surplus konsumen mengalami
peningkatan lebih rendah yaitu Rp 16.738 miliar 2011-2014 dan Rp 25.361 miliar 2015-2020. Pada skenario simulasi penurunan tarif impor gula 10 persen,
surplus konsumen juga mengalami peningkatan, namun hanya sebesar Rp 5.124 miliar pada periode 2011-2014 dan Rp 5.286 miliar pada periode 2015-2020.
Peningkatan surplus konsumen industri meningkat lebih besar daripada peningkatan surplus konsumen rumah tangga baik pada skenario penurunan tarif
impor 10 persen, 30 persen maupun 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penurunan tarif impor gula lebih berpihak dan menguntungkan bagi
konsumen.
Tabel 57. Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020
Rp miliar
No Komponen
Alternatif Kebijakan S12
S13 S14
BA AA
BA AA
BA AA
1 Perubahan Surplus Produsen
-2.191 -2.380
-6.571 -7.097
-10.951 -11.658
a. Perusahaan perkebunan besar negara -0.348
-0.379 -1.044
-1.179 -1.739
-1.936 b. Perusahaan perkebunan besar swasta
-0.797 -1.016
-2.391 -3.160
-3.985 -5.191
c. Perusahaan perkebunan rakyat -1.045
-0.985 -3.136
-2.758 -5.227
-4.531 2
Perubahan Surplus Konsumen Indonesia 5.124
5.286 15.374
16.738 25.361
27.895 a. Konsumen gula rumah tangga
2.638 2.627
7.914 8.464
12.927 14.303
b. Konsumen gula industri 2.487
2.659 7.460
8.274 12.434
13.592 3
Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor -219.970
-340.950 -685.650 -1 062.770 -1 186.910 -1 838.490
a. Impor Gula dari Thailand -77.300
-132.000 -250.100
-424.000 -448.100
-754.600 b. Impor Gula dari China
8.330 10.050
18.450 20.230
19.790 17.110
c. Impor Gula dari Negara Lain -151.000
-219.000 -454.000
-659.000 -758.600 -1 101.000
4 Net Surplus Indonesia
-217.036 -338.044
-676.847 -1 053.129 -1 172.500 -1 822.253 5
Perubahan Devisa Impor 142.600
184.500 427.020
555.700 712.720
928.300 a. Impor Gula dari Thailand
102.000 132.000
306.000 397.000
511.000 664.000
b. Impor Gula dari China 35.600
45.500 107.020
136.700 178.720
228.300 c. Impor Gula dari Negara Lain
5.000 7.000
14.000 22.000
23.000 36.000
Keterangan : BA = Periode 2011
– 2014 AA = Periode 2015
– 2020 S12 = Penurunan tarif impor gula 10 persen
S13 = Penurunan tarif impor gula 30 persen S14 = Penurunan tarif impor gula 50 persen
Sumber : Data diolah, 2012
Skenario penurunan tarif impor gula ini juga menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami penurunan. Penurunan penerimaan
pemerintah dari tarif impor paling tinggi adalah pada skenario penurunan tarif 50 persen. Pada periode 2011-2014 penerimaan pemerintah dari tarif impor
mengalami penurunan sebesar Rp 1.838 triliun, sedangkan pada periode 2015- 2020 menurun lebih besar yaitu Rp 1.186 triliun. Hal yang sebaliknya berlaku
pada devisa impor. Devisa impor mengalami peningkatan, dengan peningkatan paling tinggi terjadi skenario penurunan tarif impor gula 50 persen yaitu Rp
717.720 miliar 2011-2014 dan Rp 928.300 miliar 2015-2020. Secara keseluruhan, adanya redistribusi pendapatan dari ketiga skenario
penurunan tarif tersebut memberikan penurunan bagi kesejahteraan net surplus. Skenario kebijakan penurunan tarif impor 10 persen memberikan penurunan
kesejahteraan masyarakat net surplus yang lebih rendah dari simulasi kebijakan penurunan tarif impor lainnya. Pada periode 2011-2014 penurunan tarif impor 10
persen menurunkan net surplus sebesar Rp 217.036 miliar sedangkan pada periode 2015-2020 net surplus menurun Rp 338.044 miliar. Penurunan tarif impor
30 persen menyebabkan penurunan net surplus lebih besar lagi yaitu Rp 676.847 miliar 2011-2014 dan Rp 1.053 triliun 2015-2020. Pada simulasi penurunan
tarif impor 50 persen terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat yang paling besar yaitu Rp 1.172 triliun pada periode 2011-2014 dan Rp 1.822 triliun pada
periode 2015-2020.