produksi hingga mengurangi ekspornya membuat negara ini juga melakukan impor gula. Bahkan negara ini menjadi importir gula terbesar di dunia pada tahun
2009 dengan total impor gula sebesar 2.39 juta ton. Jumlah gula yang diimpor oleh suatu negara dipengaruhi pula oleh kebijakan pada perdagangan gula yang
diterapkan oleh pemerintah masing-masing negara.
5.6. Impor Gula Indonesia
Masalah pokok dalam pergulaan nasional adalah ketidakmampuan produksi gula Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Hal inilah
yang kemudian membuat pemerintah selalu memenuhi kekurangan tersebut dengan melakukan impor gula. Bahkan, Indonesia termasuk negara yang cukup
besar dalam melakukan importasi gula. Adapun perkembangan impor gula Indonesia tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia Tahun 2001-2010
Tahun Partner Impor Gula Indonesia
Total Impor
Indonesia Thailand
China Singapura Australia
ROW
2001 651 522
27 635 30 240
60 562 430 900 1 200 858 2002
460 124 43 340
22 823 82 089 308 881
917 258 2003
517 971 13 356
2 031 139 330 275 858
948 546 2004
758 693 28
6 220 116 030 195 385 1 076 356
2005 690 082
16 022 874
249 345 565 171 1 521 494 2006
177 888 23 018
1 226 407 259 716 586 1 325 977
2007 1 086 935
3 500 7 202
654 920 696 350 2 448 907 2008
800 040 201
49 553 3 601 100 117
953 512 2009
572 684 250
8 074 172 804 517 803 1 271 615
2010 421 150
299 3 760
167 354 694 600 1 287 162
Sumber : FAO, 2012
Ketergantungan impor gula Indonesia setiap tahun semakin meningkat menurunkan pertumbuhan industri gula di dalam negeri. Hal ini juga turut
menjadi ancaman terhadap kemandirian pangan Indonesia yang mempunyai penduduk yang besar dengan daya beli yang masih rendah. Nainggolan 2010
menyatakan bahwa kemandirian pangan mensyaratkan agar pemenuhan kebutuhan pangan pokok semaksimal mungkin dipenuhi oleh produksi dalam
negeri mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya
alam yang memadai dan mempunyai potensi untuk berproduksi lebih baik dari saat ini. Impor gula Indonesia banyak berasal dari negara Thailand, Singapura,
China, Australia, serta negara lain. Sesuai dengan Tabel 16 dapat dilihat bahwa impor gula Indonesia paling
banyak berasal dari Thailand. Pada periode 2001-2010 diperoleh bahwa proporsi share rata-rata impor gula Indonesia dari Thailand sebesar 47.38 persen dan dari
Australia sebesar 15.85 persen sehingga proporsi kedua negara tersebut sebesar 63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kedua negara tersebut merupakan eksportir
utama gula di Indonesia. Selain dari kedua negara tersebut, impor gula Indonesia juga banyak berasal dari China, dan Singapura. Sekalipun China masih melakukan impor
gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, namun negara ini masih melakukan ekspor gulanya ke Indonesia. Indonesia merupakan negara utama tujuan
ekspor gula China. Demikian juga dengan Singapura, sekalipun negara ini bukan negara produsen gula dan bahkan juga melakukan impor gula untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya, sebagian besar impor gula Indonesia berasal dari negara ini. Ditinjau dari sisi impornya, fluktuasi impor gula Indonesia juga dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah yang mengatur ketentuan impor gula. Selama satu dekade terakhir impor gula Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 2.45 juta
ton dengan impor terbeesar dari Thailand sebesar 1.09 juta ton.
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA
DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA
6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model
Model ekonometrika perdagangan gula Indonesia dalam penelitian ini merupakan model simultan yang dinamis dan dibangun dari 30 persamaan yang
terdiri dari 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah
deret waktu time series dengan periode pengamatan tahun 1981 sampai dengan tahun 2010.
Berdasarkan kriteria ekonomi, semua variabel penjelas telah menunjukkan tanda parameter estimasi yang sesuai dengan harapan hipotesis. Berdasarkan
kriteria statistik, nilai koefisien determinasi R
2
secara umum cukup tinggi. Sebagian besar 83.33 persen persamaan struktural mempunyai nilai R
2
diatas 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 83.33 persen variabel penjelas yang
mampu menjelaskan dengan baik lebih dari 50 persen perilaku variabel endogen. Kemudian apabila dilihat dari nilai peluang uji F-statistik, sebesar 86.67 persen
persamaan memiliki nilai peluang uji F-statistik yang lebih kecil dari taraf α = 0.05.
Pengujian asumsi klasik autokorelasi yang menggunakan uji statistik durbin watson
d
w
diperoleh nilai d
w
berkisar antara 1.440 sampai 2.366 sedangkan yang menggunakan uji statistik durbin-h d
h
diperoleh kisaran nilai -2.448 sampai 2.829. Dari hasil tersebut diperoleh 11 persamaan yang mengalami
masalah serial korelasi, 7 persamaan yang tidak terdeteksi serial korelasinya dan 2 persamaan yang mengalami masalah serial korelasi. Terlepas dari ada tidaknya
masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfield 1998 menjelaskan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan
serial korelasi tidak menimbulkan bias regresi. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dan mempertimbangkan model yang cukup besar serta periode
pengamatan yang cukup panjang, maka hasil estimasi model cukup representatif menangkap fenomena ekonomi dari industri gula di pasar domestik maupun pasar
dunia.