dengan penurunan permintaan gula rumah tangga sebesar 0.210 persen. Penurunan permintaan gula rumah tangga lebih kecil dibandingkan dengan
penurunan harga gula ecerannya. Hal ini menunjukkan bahwa gula merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia. Penurunan harga gula eceran
akan ditransmisikan lebih lanjut pada harga gula tingkat pedagang besar yang akan meningkat sebesar 0.343 persen. Peningkatan harga gula tingkat pedagang
besar ini akan menyebabkan permintaan gula industri mengalami penurunan sebesar 0.034 persen. Penurunan permintaan gula rumah tangga dan industri akan
menurunkan permintaan gula Indonesia sebesar 0.142 persen. Harga gula tingkat petani juga akan terdorong naik seiring dengan
peningkatan harga gula tingkat pedagang besar. Harga gula tingkat petani akan meningkat sebesar 0.369 persen. Peningkatan ini akan menjadi insentif bagi petani
dalam meningkatkan produksi tebu yang ditunjukkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas baik pada perkebunan besar negara, swasta, dan rakyat.
Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara meningkat sebesar 0.286 persen, perkebunan besar swasta meningkat sebesar 0.004 persen dan perkebunan
rakyat meningkat 0.064 persen. Secara keseluruhan produksi gula Indonesia akan meningkat sebesar 0.167 persen. Sekalipun produksi gula Indonesia mengalami
peningkatan namun besarnya peningkatan produksi gula Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan penurunan impor gula Indonesia, sehingga
penawaran gula Indonesia masih mengalami penurunan.
7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap
Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2004-2010
Kompilasi dari dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi gula dan penerimaan devisa Indonesia tahun 2004-
2010 ditunjukkan pada Tabel 42. Adapun kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang disimulasikan yaitu peningkatan harga gula petani sebesar 25 persen,
peningkatan harga pupuk 33 persen, penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal perkebunan tebu sebesar 20 persen, dan penurunan kuota
impor gula 50 persen.
Tabel 42. Evaluasi Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Periode 2004-2010
Rp miliar
No. Komponen
Alternatif Kebijakan S1
S2 S3
S4 S5
1 Perubahan Surplus Produsen Indonesia
1 518.455 9.564
-118.642 -6.952
41.865
a. Perusahaan perkebunan besar negara
-2.897 1.330
-17.795 -1.242
7.518
b. Perusahaan perkebunan besar swasta
-4.939 2.258
-28.011 -2.117
12.771
c. Perusahaan perkebunan rakyat
1 526.291 5.976
-72.837 -3.593
21.576
2 Perubahan Surplus Konsumen Indonesia
30.773 -13.988
175.438 13.409
-79.508
a. Konsumen Rumah Tangga
19.503 -8.836
111.506 8.579
-50.375
b. Konsumen Industri
11.270 -5.151
63.931 4.830
-29.133
3 Perubahan Penerimaan Pemerintah dari Tarif Impor
-16.796 7.703
-94.097 -781.937
-53.967
a. Impor Gula dari Thailand
-12.50 6.10
-71.40 -293.20
-18.80
b. Impor Gula dari China
-3.30 1.60
-18.70 14.86
-0.27
c. Impor Gula dari Negara Lain
-1.00 0.00
-4.00 -503.60
-34.90
4 Net Surplus Indonesia
1 532.43 3.28
-37.30 -775.48
-91.61
5 Perubahan Devisa Impor
-61.200 28.990
-348.470 563.430
-198.000
a. Impor Gula dari Thailand
-47.00 22.00
-266.00 404.00
-70.00
b. Impor Gula dari China
-12.20 5.99
-69.47 139.43
-1.00
c. Impor Gula dari Negara Lain
-2.00 1.00
-13.00 20.00
-127.00
Keterangan : 1.
Peningkatan harga gula tingkat petani 25 persen 2.
Peningkatan harga pupuk 33 persen 3.
Peningkatan luas areal perkebunan tebu 20 persen 4.
Penurunan tarif impor gula 49 persen 5.
Penurunan kuota impor gula 50 persen Sumber : Data diolah, 2012
146
Berdasarkan Tabel 42 dapat diketahui bahwa simulasi peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen mampu memberikan dampak peningkatan
surplus produsen gula paling besar, yaitu sebesar Rp
1.518
triliun. Hal ini disebabkan kenaikan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen menyebabkan
kenaikan produksi yang besar, yaitu 2.879 persen. Namun jika dikaji lebih lanjut, pada simulasi peningkatan harga gula 25 persen terdapat trade off antara petani
perkebunan rakyat dengan perusahaan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Hal ini dikarenakan perkebunan besar negara dan swasta tidak
dipengaruhi oleh harga gula tingkat petani melainkan harga gula tingkat pedagang besar, sehingga kenaikan harga gula tingkat petani bukan insentif bagi perkebunan
besar negara dan swasta dalam memproduksi tebu. Ditinjau dari sisi konsumen, kebijakan ini juga memberikan peningkatan
surplus konsumen gula yaitu sebesar Rp 30.773 miliar. Peningkatan surplus
konsumen tersebut merupakan total dari peningkatan surplus konsumen gula rumah tangga sebesar Rp 19.503 miliar dan peningkatan surplus konsumen
industri sebesar Rp 11.270 miliar. Hal ini dikarenakan pada kebijakan peningkatan harga gula tingkat petani 25 persen, harga gula eceran dan harga gula
pedagang besar masing-masing mengalami penurunan sebesar 0.133 persen sehingga permintaan gula rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 0.079
persen dan permintaan gula industri meningkat 0.011 persen. Peningkatan produksi juga mampu menurunkan impor gula Indonesia sebesar 0.872 persen
sehingga penerimaan pemerintah dari tarif impor menurun sebesar Rp 16.796 miliar dan devisa impor pemerintah juga mengalami penurunan sebesar Rp 61.2
miliar. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini masih memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat net surplus yang tinggi, yaitu sebesar Rp 1.532
triliun. Kebijakan peningkatan harga pupuk 33 persen memberikan peningkatan
surplus bagi produsen sebesar Rp 9.564 miliar. Namun, hal ini bukan terjadi karena efisiensi pupuk yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas melainkan karena penurunan produksi gula sebesar 1.347 persen yang mengakibatkan peningkatan impor gula Indonesia sebesar
0.406 persen sehingga meningkatkan harga gula dunia yang kemudian