228
1. Hukum Fawat
Mazhab  Hanafi  mengatakan,  barangsiapa  yang  hajinya terlewatkan,  maka  dia  harus  bertahallul  dengan  pekerjaan-
pekerjaan  umrah,  yaitu  dengan  bertawaf  dan  bersai  tanpa harus  ada  ihram  baru  lagi,  lalu  ia  memotong  dan
memendekkan  rambut  serta  mengqadha  haji  tahun depannya, dan tak wajib baginya dam.
Jumhur  mengatakan,  barangsiapa  yang  tertinggal hajinya,  maka  ia  bertahallul  dengan  umrah,  yaitu  dengan
thawaf,  sai,  cukur  pendek  dan  gundul,  mengqadha secepatnya  pada  tahun  depannya  serta  harus  menyembelih
dam  pada  saat  qadha  dilaksanakan,  selain  itu  manasik  haji yang  sudah  pernah  dilakukan  menjadi  gugur  seperti
bermalam  di  muzdalifah,  wuquf  di  masy’aril  haram, melontar dan mabit di Mina.
Adapun dalil fawat: bahwa akhir wuquf itu adalah akhir malam  nahr.  Maka  barangsiapa  yang  mendapati  waktunya
sampai  fajar  terbit  pada  hari  itu,  maka  ia  hajinya  telah terlewatkan,  dengan  tanpa  perselisihan  antara  para  ulama.
Ini berdasarkan perkataan Jabir:
Haji  itu  tidak  terlewatkan  sampai  fajar  menyingsing  pada malam  jama’.  Abi  az-Zubair  berkata,  saya  mengatakan
kepadanya, “Apakah Rasulullah pernah mengatakan itu?” Dia mengatakan,  “Ya.”  Serta  sabda  Nabi:  Haji  itu  Arafah.
Barangsiapa datang sebelum shalat subuh pada malam jama’, maka hajinya telah sempurna.”
Ini  menunjukkan  bahwa  terlewatkannya  haji  dengan telah usainya malam jama’ yaitu malam di Muzdalifah.
Nabi  saw  bersabda,  “Barangsiapa  berwuquf  di  Arafah, dengan  satu  malam,  maka  ia  telah  mendapati  haji.
Barangsiapa  yang  itu  terlewatkan  di  Arafah  dengan  satu malam,  maka  hendaknya  dia  bertahallul  dengan  umrah  dan
dia harus berhaji pada saat mendatang.” HR Daruquthni.
2. Dalil Tahallul dan Umrah
229
Adapun  dalil  tahallul  dengan  umrah  yaitu  yang diriwayatkan dari para sahabat seperti Umar dan Ibnu Umar
dan  selainnya.  Karena  boleh  membatalkan  haji  menjadi umrah  tanpa  adanya  fawat,  maka  jika  ada  fawat  maka  itu
lebih utama lagi. Dalil harusnya qadha pada masa mendatang, baik yang
meninggalkannya itu  hajinya itu wajib atau sunnah, yakni yang  diriwayatkan  dari  para  sahabat:  Umar  dan  anaknya,
Ibnu Abbas, Ibnu az-Zubair dan Marwan serta hadist di atas. Dalil  jumhur  yang  mengharuskan  adanya  dam  adalah
apa  yang  diriwayatkan  Atha,  bahwasanya  Nabi  saw bersabda:
Barangsiapa  yang  hajinya  terlawatkan  maka  ia  harus membayar  dam  serta  menjadikannya  umrah  dan  hendaknya
berhaji pada masa mendatang. HR an-Najad
Tetapnya  fait  orang  yang  hajinya  terlewatkan  dalam keadaan  muhrim  sampai  tahun  depan.  Jika  seorang  yang
hajinya  terlewat  lebih  memilih  untuk  tetap  dalam  keadaan ihram sampai tahun ke depannya, maka itu haknya, karena
panjangnya  waktu  antara  ihram  dan  pekerjaan  manasik  itu tak  menghalanginya  untuk  menyemprunakan  hajinya  itu,
seperti umrah yang ihramnya itu bisa di bulan-bulan lainnya. 3. Cara-Cara Qadha:
Jumhur  mengatakan,  jika  seorang  yang  berhaji  secara qarin terlewatkan maka dia bertahallul, dan dia harus pada
masa  mendatang  itu  memulainya  lagi,  karena  qadha  itu harus  sesuai  dengan  pelaksanaannya  dalam  hal  cara  dan
maknanya.  Maka  diwajibkan  terkana  dam  dua  kali: damkarena haji qiran dan dam karena ada yag terlewatkan.
Mazhab  Hanafiyyah  mengatakan,  dia  bertawaf  dan bersai  untuk  umrahnya,  kemudian  dia  tidak  bertahallul
sampai bertawaf dan bersai untuk hajinya. Kekeliruan ketika wuquf
230
Jika  orang-orang  keliru,  yaitu  dimana  mereka  itu berwuquf  pada  tanggal  8  atau  10  di  malam  bukan  Arafah,
maka  itu  sudah  dianggap  cukup,  serta  tak  wajib  baginya qadha. Ini karena sabda Nabi,
“Hari  Arafah  yang  dikenalkan  padanya  manusia.”  HR Daruquthni
Karena  kekeliruan  itu  bersumber  dari  persaksian  para saksi dengan melihat hilal sebelum sebelumnya yang berbeda
sehari,  maka  mereka  berwuquf  pada  tanggal  8,  atau  karena mereka  dihalangi  oleh  awan  dari  hilal  itu,  maka  mereka
berwuquf  pada  tanggal  10,  dan  seperti  ini  tidak  diamanahi untuk diqadha dan itu gugur.
Jika  mereka  itu  berselisih  pendapat,  sebagian  dari mereka  benar  dan  sebagian  lagi  keliru  terhadap  waktu
wuquf,  maka  tidak  dianggap  cukup  bagi  mereka,  karena dalam hal mereka tidak terkena kelunakan.
B. Ihsar
Ihshar  itu  artinya  terhalang  atau  terkepung.  Firman Allah:
“Jika  kami  terkepung,  maka  hendaklah  menyembelih  kurban seadanya.” al-baqarah: 196
Ayat  di  atas  berkaitan  dengan  terkepung  dan terhalangnya  Nabi  saw  dan  para  sahabat  di  Hudaibiyyah
untuk mencapai Masjidl Haram. Jadi  yang  dimaksud  ihshar  adalah  terhalang  dari
melakukan  tawaf waktu  umrah  dan dari  wuuquf  di  Arafah atau tawaf ifadhah waktu haji.
Mengenai  sebab  yang  menimbulkan  keadaan  ihshar  ini para ulama berbeda pendapat. Maliki dan Syafii mengatakan
bahwa ihshar tak mungkin terjadi kecuai karena disebabkan oleh  musuh.  Karena  ayat  di  atas  berkenaan  dengan
terhalangnya nabi saw oleh musuh. Demikian pula menurut