Haji Qiran Tanggal 9 Dzulhijjah Hari Arafah 1. Haji Irfad

221 sewakut masih hidup pernah bernadzar untuk berangkat haji namun belum kesampaian sudah wafat. ِﺇﱠﻥ ﹸﺃ ِّﻣ ﻲ ﻧ ﹶﺬ ﺭ ﺕ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗ ﺤ ﺞ ﻭ ﹶﻟﻢ ﺗ ﺤ ﺞ ﺣﺘ ﻰ ﻣ ﺗﺎ ﺖ ﹶﺃﹶﻓ ﹶﺄ ﺣ ﺞ ﻋ ﻨﻬ ؟ﺎ ﹶﻗ ﹶﻝﺎ : ﻧﻌ ﻢ ﺣ ِّﺠ ﻲ ﻋ ﻨﻬ ﺎ ﹶﺃﺭ ﹶﺃﻳ ِﺖ ﹶﻟ ﻮ ﹶﻛ ﹶﻥﺎ ﻋ ﹶﻠﻰ ﹸﺃ ِّﻣ ِﻚ ﺩ ﻳﻦ ﹶﺃ ﹸﻛﻨ ِﺖ ﹶﻗ ِﺿﺎ ﻴﺘﻪ ؟ ﹾﻗﺍ ﻀ ﺍﻮ َﷲﺍ ُﷲﺎﻓ ﹶﺃ ﺣ ﻖ ِﺑ ﻮﻟﺎ ﹶﻓ ِﺀﺎ “Ibu saya pernah bernadzar untuk mengerjakan haji, namun belum sempat mengerjakannya beliau meninggal dunia. Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk beliau?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya, kerjakan ibadah haji untuk beliau. Tidakkah kamu tahu bahwa bila ibumu punya hutang, bukankah kamu akan melunasinya?”. Lunasilah hutang ibumu kepada Allah, karena hutang kepada Allah harus lebih diutamakan. HR. Bukhari C. Syarat Haji Untuk Orang Lain Para ulama mensyaratkan beberapa hal untuk sahnya berhaji untuk orang lain : 1. Sudah Pernah Berhaji Orang yang akan menjadi badal atau berhaji untuk orang lain itu disyaratkan harus sudah pernah sebelumnya mengerjakan ibadah haji yang hukumnya wajib, yaitu haji wajib untuk dirinya sendiri. Dasarnya adalah hadits berikut : ﻋ ﺞﺣ ﻦ ﻧ ﹾﻔ ِﺴ ﻚ ﹸﺛ ﻢ ﺣ ﺞ ﻋ ﻦ ﺷ ﺒﺮ ﻣﺔ Lakukan dulu haji untuk dirimu baru kemudian berhajilah untuk Syubrumah. HR. Bukhari Kisahnya adalah ketika Rasulullah SAW mendengar seseorang yang mengerjakan haji dengan niat untuk orang 222 lain. Orang itu mengucapkan : labbaika an Syubrumah. Maksudnya dia melafazkan niat haji dengan mengucapkan bahwa Aku mendengar panggilan-Mu atas nama Syubrumah. Rasulullah SAW kemudian bertanya,”Siapa Syubrumah?”. Orang itu menjawab bahwa Syubrumah adalah saudaranya atau familinya. Lalu Rasullah SAW bertanya lagi,”Apakah kamu sudah pernah berhaji untuk dirimu sendiri”?. Orang itu menjawab,”Belum”. Maka Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang itu harus berhaji untuk dirinya sendiri dulu, baru setelah untuk orang lain. Para ulama menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan berhaji untuk dirinya sendiri adalah haji Islam atau haji yang hukumnya wajib. Atau dengan kata lain bahwa orang itu harus sudah menggugurkan kewajibannya untuk mengerjakan ibadah haji sebagai mukallaf, baru setelah itu dia boleh mengerjakan haji untuk orang lain yang hukumnya sunnah. Dan hal itu hanya terjadi ketika seseorang sudah berusia baligh. Sebab haji yang dilakukan oleh seorang anak kecil yang belum baligh, meski pun hukumnya sah, namun nilainya hanya sekedar menjadi haji yang hukumnya sunnah. Belum lagi menjadi haji yang wajib hukumnya. Maka kalau orang itu pernah haji sekali saja tetapi masih usia kanak-kanak, dia masih belum boleh melakukan haji untuk orang lain, karena belum cukup syaratnya.

2. Yang Dihajikan Meninggal Dalam Keadaan Muslim

Syarat kedua adalah apabila yang dihajikan itu orang yang telah meninggal dunia, syaratnya bahwa dia adalah seorang muslim, minimal pada saat terakhir dari detik-detik kehidupannya. Sebab orang yang matinya bukan dalam keadaan iman dan berislam, maka haram hukumnya untuk didoakan, termasuk juga haram untuk dihajikan.