Bentuk Jamarat Melontar Jamarat

194 butir, dua butir atau beberapa butir, maka dia tetap diwajibkan untuk bersedekah, yaitu sebesar ½ sha’ untuk setiap butir yang tidak dilemparkannya. 2. Mazhab Al-Malikiyah Dalam mazhab ini, bila seseorang luput dari melempar jumrah sehingga dikerjakan di hari berikutnya, meski masih di hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, atau 13 Dzulhijjah, maka sudah wajib atasnya membayar dam menyembelih seekor kambing. 51 Pendapat ini agak berbeda dengan pendapat yang ada di dalam mazhab lainnya, yang belum mewajibkan bayar dam bila seseorang menghadha’ nya masih di hari tasyrik. Dan hal itu berlaku juga bila seseorang melempar jumrah namun kurang dalam hitungan batunya. Misalnya seharusnya dengan tujuh kerikil untuk tiap jumrah, namun di salah satu jumrah itu, hanya 6 kerikil saja yang bisa dilempar, maka wajiblah atasnya dam. Wajib membayar dam dalam mazhab ini juga berlaku buat mereka yang tidak mampu melempar sendiri, dan meminta kesediaan orang lain untuk melempar. Artinya, meski sudah diwakilkan, tetap saja terkena kewajiban membayar dam. 3. Mazhab Asy-Syafi’iyah Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah adalah bila seorang jamaah haji terlewat dari melempar jumrah di hari Nahr tanggal 10 Dzulhijjah, belum diwajibkan untuk membayar dam, asalkan keesokan harinya, yaitu tanggal 11, atau tanggal 12 , atau tanggal 13, dia menggantinya. Penggantian itu lazim dikenal dengan istilah qadha’ dalam melempar jumrah. 52 51 Asy-Syarhu Ash-Shaghir, jilid 2 hal. 63-68 52 Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 508 195 Pendeknya selama pelemparan yang terlewat itu diganti dan menggantinya masih hari-hari tasyriq, belum ada kewajiban untuk membayar dam. Bayar dam barulah berlaku manakala kewajiban melempar itu tidak dikerjakan hingga lewat hari-hari tasyrik. Dasarnya adalah izin yang Nabi SAW berikan kepada para penggembala kambing dan pemberi air minum, yang mereka tidak bisa mengerjakan pelemparan kerikil di hari Nahr, maka mereka melakukannya di hari-hari tasyrik atas keringanan yang Nabi SAW berikan. Selain itu, di dalam mazhab Asy-Syafi’i ini, bila jumlah kerikil yang dilempar pada satu jumrah itu kurang minimal 3 butir, yang seharusnya 7 butir tetapi hanya 4 butir, hal seperti itu telah mewajibkan dam.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Para prinsipnya apa yang menjadi pendapat mazhab Al- Hanabilah sama persis dengan yang menjadi pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah di atas. 53 Perbedaannya, dalam mazhab Al-Hanabilah, bila seseorang meninggalkan kewajiban melempar jumrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka boleh saja dikerjakan keesokan harinya. Dan kalau dikerjakan keesokan harinya, tidak disebut mengqadha. Sedangkan di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, bila dikerjakan keesokan harinya dianggap sudah mengqadha, meski pun kedua mazhab ini sepakat tidak ada kewajiban membayar dam untuk kasus ini. Selaini itu, bila jumlah butir kerikil yang dilempar itu tidak sampai tujuh butir untuk tiap jumrah, maka hal itu tidak mengapa dan tidak mewajibkan untuk membayar dam. Sementara dalam mazhab Asy-syafi’iyah, kurangnya kerikil yang dilemparkan, yaitu bila kurangnya sampai tiga satu butir, sudah mewajibkan bayar dam. Seharusnya 53 Ghayatul Muntaha, jilid 1 hal. 410-421 196 melempar tujuh butir, ternyata yang bisa dilakukan hanya empat butir, maka wajiblah atasnya dam.

D. Mabit di Mina Pada Hari Tasyriq

Mabit atau bermalam di Mina pada hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzhulhijjah, oleh umumnya para ulama dimasukkan ke dalam rangkaian wajib haji. Namun ada pendapat yang memposisikan mabit itu sebagai sunnah. Dasar perbedaan pendapat di antara mereka karena hadits yang menybutkan bahwa Rasulullah SAW memberi izin kepada paman beliau sendiri, Al-Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahuanhu, untuk tidak bermalam di Mina pada tiga malam itu, dengan alasan bertugas memberi minum orang-orang. ﻦﻋ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲِﺿﺭ ﺮﻤﻋ ِﻦﺑﺍ ﻦﻋ ٍﻊِﻓﺎﻧ ﻦﺑ ﺱﺎﺒﻌﹾﻟﺍ ﹶﻥﹶﺫﹾﺄﺘﺳﺍ ﻪﻨﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲِﺿﺭ ِﺐِﻠﱠﻄﻤﹾﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﹶﺔﱠﻜﻤِﺑ ﺖﻴِﺒﻳ ﹶﻟ ﹶﻥِﺫﹶﺄﹶﻓ ِﻪِﺘﻳﺎﹶﻘِﺳ ِﻞﺟﹶﺃ ﻦِﻣ ﻰﻨِﻣ ﻲِﻟﺎﻴﹶﻟ ﻪ Dari Nafi dari IbnuUmar radliallahu anhuma berkata; Al- Abbas bin Abdil Muththalib radliallahuanhuma meminta ijin kepada Rasulullah SAW untuk bermalam di Makkah selama malam-malam Mina, demi untuk melayani atau menyediakan minum buat Beliau. Maka Beliau mengizinkannya. HR. Bukhari Muslim Hadits ini shahih karena diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi oleh dua pakar ahli hadits, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun meski demikian, para ulama berbeda pendapat ketika menarik kesimpulan hukumnya. Sebagian tetap mengatakan bahwa bermalam di Mina adalah bagian dari wajib haji, sementara yang lain berkesimpulan bahwa hukumnya sunnah dan bukan wajib haji. Berikut ini