164
ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻒﹸﻄﻳ ﻢﹶﻟ ﻪﺗﺮﻤﻋ ﻻﻭ ٍﺉِﺮﻣﺍ ﺞﺣ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﺗﹶﺃ ﺎﻣ
Allah tidak akan menerima haji atau umrah seseorang yang tidak melakukan saiy antara bukit Ash-Shafaa dan Al
marwah.HR. Bukhari
ﻭﺮﻤﻋ ﹶﺄﺳ ﹶﻝﺎﹶﻗ ٍﺭﺎﻨﻳِﺩ ﻦﺑ
ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﺎﻨﹾﻟ ﹶﺓﺮﻤﻌﹾﻟﺍ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺎِﺑ ﻑﺎﹶﻃ ٍﻞﺟﺭ ﻦﻋ
ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻒﹸﻄﻳ ﻢﹶﻟﻭ ﻰﱠﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻡِﺪﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻪﺗﹶﺃﺮﻣﺍ ﻲِﺗﹾﺄﻳﹶﺃ ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ
ﻒﹾﻠﺧ ﻰﱠﻠﺻﻭ ﺎﻌﺒﺳ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺎِﺑ ﻑﺎﹶﻄﹶﻓ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻦﻴﺘﻌﹾﻛﺭ ِﻡﺎﹶﻘﻤﹾﻟﺍ
ﻭ ﺪﹶﻗﻭ ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻑﺎﹶﻃ
ﹲﺓﻮﺳﹸﺃ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻝﻮﺳﺭ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﹲﺔﻨﺴﺣ
ﺎﻬﻨﺑﺮﹾﻘﻳ ﺎﹶﻟ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺮِﺑﺎﺟ ﺎﻨﹾﻟﹶﺄﺳﻭ ﻦﻴﺑ ﻑﻮﹸﻄﻳ ﻰﺘﺣ
ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ
Telah menceritakan kepada kami Al Humaid berkata, telah menceritakan
kepada kami
Sufyan berkata,
telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar berkata, Kami
pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seseorang yang thawaf di Kabah untuk Umrah tetapi tidak melakukan sai
antara Shafa dan marwah. Apakah dia boleh berhubungan jima dengan isterinya? Maka Ibnu Umar berkata, Nabi SAW
datang Makkah, lalu thawaf mengelilingi Kabah tujuh kali, shalat di sisi Maqam dua rakaat, lalu sai antara antara Shafa
dan marwah. Dan sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah. Dan kami pernah bertanya kepada
Jabir bin Abdullah tentang masalah ini. Maka ia menjawab, Jangan sekali-kali ia mendekati isterinya hingga ia
melaksanakan sai antara bukit Shafa dan marwah.HR. Bukhari
Dalil-dalil di atas tegas sekali mewajibkan atau menjadikan sa’i sebagai salah satu rukun dalam ibadah haji.
165
2. Wajib Haji
Namun pendapat Al-Hanafiyah agak berbeda dengan pendapat jumhur di atas. Mazhab ini meyakini bahwa sa’i
bukan termasuk rukun di dalam ritual haji dan umrah. Kedudukannya dalam pendapat mereka adalah sebagai
kewajiban haji. Perbedaan antara rukun dan wajib adalah bahwa rukun
itu lebih tinggi kedudukannya dan bila ditinggalkan, ibadah haji itu rusak dan tidak sah. Seperti orang shalat tapi tidak
membaca surat Al-Fatihah. Sedangkan kalau disebutkan bahwa sa’i sebagai rukun haji, meski tetap harus dikerjakan,
namun bila ditinggalkan, tidak merusak rangkaian ibadah haji. Tetapi orang yang meninggalkan ibadah sa’i dalam
rangkaian ibadah hajinya, diwajibkan membayar denda, yang diistilahkan dengan dam.
Istilah dam
مد
secara bahasa artinya darah. Namun secara istilah fiqih, dam disini maknanya menyembelih
seekor kambing. Jadi ibadah hajinya tetap sah asalkan dia membayar denda itu.
Yang mendukung pendapat ini antara lain Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Az-Zubair, dan Ibnu Sirin.
Bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal secara pribadi termasuk salah satu yang
berpendapat bahwa sa’i itu hanya sunnah dalam haji. Dalil yang mereka gunakan antara lain dengan ayat yang
sama dengan dalil jumhur ulama, hanya saja mereka beralasan bahwa ayat itu tidak secara tegas menyebutkan
keharusan mengerjakan sa’i.
ﻦﻤﹶﻓ ﺞﺣ
ﺖﻴﺒﹾﻟﺍ ِﻭﹶﺃ
ﺮﻤﺘﻋﺍ ﹶﻼﹶﻓ
ﺡﺎﻨﺟ ِﻪﻴﹶﻠﻋ
ﹾﻥﹶﺃ ﻑﻮﱠﻄﻳ
ﺎﻤِﻬِﺑ
Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber- umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai
antara keduanya. QS. Al-Baqarah : 158
166
Ayat itu hanya menyebutkan ‘tidak ada dosa’ bila mengerjakan sa’i. Jadi kesan yang didapat adalah kalau kita
mengerjakan sa’i, maka kita tidak berdosa. Kisah bahwa mengerjakan sa’i itu merupakan manasik
haji orang-orang jahiliyah. Dahulu mereka melaksanakan ihram untuk berhala Manat, mereka juga melaksanakan sai
antara bukit Shafaa dan Marwah. Ketika Allah menyebutkan thawaf di Ka’bah Baitullah tapi tidak menyebut sa’i antara
bukit Shafaa dan Marwah dalam Al-Quran, mereka bertanya kepada kepada Rasulullah. Maka Allah SWT menurunkan
ayat ini yang intinya tidak melarang atau memperbolehkan mereka melaksanakan sa’i.
Dengan demikian, perintah melaksanakan sa’i datang setelah sebelumnya dianggap terlarang. Dalam ilmu ushul
fiqih, bila ada suatu perintah datang setelah sebelumnya perintah itu jusrtu merupakan suatu larangan, maka
hukumnya bukan wajib, melainkan hukumnya boleh. Dan bahwa sa’i itu digolongkan sebagai ibadah sunnah,
dalilnya bagi mereka yang menyunnahkan adalah sebutan syiar-syiar Allah di dalam ayat ini. Syiar biasanya terkait
dengan sunnah dan bukan kewajiban.
D. Syarat Sa’i
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ibadah sa’i, yaitu :
a. Dikerjakan Setelah Thawaf
Ibadah sa’i hanya dikerjakan sebagai rangkaian ibadah thawaf di sekeliling ka’bah yang dikerjakan setelah thawaf.
Dan tidak dibenarkan bila yang dilakukan sa’i terlebih dahulu.
Mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan bahwa thawaf yang dilakukan adalah thawaf yang sifatnya
rukun atau thawaf qudum kedatangan. Dan tidak boleh ada