Di dalam Masjid Al-Haram 10. Tujuh Putaran

164 ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻒﹸﻄﻳ ﻢﹶﻟ ﻪﺗﺮﻤﻋ ﻻﻭ ٍﺉِﺮﻣﺍ ﺞﺣ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﺗﹶﺃ ﺎﻣ Allah tidak akan menerima haji atau umrah seseorang yang tidak melakukan saiy antara bukit Ash-Shafaa dan Al marwah.HR. Bukhari ﻭﺮﻤﻋ ﹶﺄﺳ ﹶﻝﺎﹶﻗ ٍﺭﺎﻨﻳِﺩ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﺎﻨﹾﻟ ﹶﺓﺮﻤﻌﹾﻟﺍ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺎِﺑ ﻑﺎﹶﻃ ٍﻞﺟﺭ ﻦﻋ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻒﹸﻄﻳ ﻢﹶﻟﻭ ﻰﱠﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻡِﺪﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻪﺗﹶﺃﺮﻣﺍ ﻲِﺗﹾﺄﻳﹶﺃ ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﻒﹾﻠﺧ ﻰﱠﻠﺻﻭ ﺎﻌﺒﺳ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺎِﺑ ﻑﺎﹶﻄﹶﻓ ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻦﻴﺘﻌﹾﻛﺭ ِﻡﺎﹶﻘﻤﹾﻟﺍ ﻭ ﺪﹶﻗﻭ ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻑﺎﹶﻃ ﹲﺓﻮﺳﹸﺃ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻝﻮﺳﺭ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﹲﺔﻨﺴﺣ ﺎﻬﻨﺑﺮﹾﻘﻳ ﺎﹶﻟ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺮِﺑﺎﺟ ﺎﻨﹾﻟﹶﺄﺳﻭ ﻦﻴﺑ ﻑﻮﹸﻄﻳ ﻰﺘﺣ ِﺓﻭﺮﻤﹾﻟﺍﻭ ﺎﹶﻔﺼﻟﺍ Telah menceritakan kepada kami Al Humaid berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar berkata, Kami pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seseorang yang thawaf di Kabah untuk Umrah tetapi tidak melakukan sai antara Shafa dan marwah. Apakah dia boleh berhubungan jima dengan isterinya? Maka Ibnu Umar berkata, Nabi SAW datang Makkah, lalu thawaf mengelilingi Kabah tujuh kali, shalat di sisi Maqam dua rakaat, lalu sai antara antara Shafa dan marwah. Dan sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah. Dan kami pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang masalah ini. Maka ia menjawab, Jangan sekali-kali ia mendekati isterinya hingga ia melaksanakan sai antara bukit Shafa dan marwah.HR. Bukhari Dalil-dalil di atas tegas sekali mewajibkan atau menjadikan sa’i sebagai salah satu rukun dalam ibadah haji. 165

2. Wajib Haji

Namun pendapat Al-Hanafiyah agak berbeda dengan pendapat jumhur di atas. Mazhab ini meyakini bahwa sa’i bukan termasuk rukun di dalam ritual haji dan umrah. Kedudukannya dalam pendapat mereka adalah sebagai kewajiban haji. Perbedaan antara rukun dan wajib adalah bahwa rukun itu lebih tinggi kedudukannya dan bila ditinggalkan, ibadah haji itu rusak dan tidak sah. Seperti orang shalat tapi tidak membaca surat Al-Fatihah. Sedangkan kalau disebutkan bahwa sa’i sebagai rukun haji, meski tetap harus dikerjakan, namun bila ditinggalkan, tidak merusak rangkaian ibadah haji. Tetapi orang yang meninggalkan ibadah sa’i dalam rangkaian ibadah hajinya, diwajibkan membayar denda, yang diistilahkan dengan dam. Istilah dam مد secara bahasa artinya darah. Namun secara istilah fiqih, dam disini maknanya menyembelih seekor kambing. Jadi ibadah hajinya tetap sah asalkan dia membayar denda itu. Yang mendukung pendapat ini antara lain Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Az-Zubair, dan Ibnu Sirin. Bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal secara pribadi termasuk salah satu yang berpendapat bahwa sa’i itu hanya sunnah dalam haji. Dalil yang mereka gunakan antara lain dengan ayat yang sama dengan dalil jumhur ulama, hanya saja mereka beralasan bahwa ayat itu tidak secara tegas menyebutkan keharusan mengerjakan sa’i. ﻦﻤﹶﻓ ﺞﺣ ﺖﻴﺒﹾﻟﺍ ِﻭﹶﺃ ﺮﻤﺘﻋﺍ ﹶﻼﹶﻓ ﺡﺎﻨﺟ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﹾﻥﹶﺃ ﻑﻮﱠﻄﻳ ﺎﻤِﻬِﺑ Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber- umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. QS. Al-Baqarah : 158 166 Ayat itu hanya menyebutkan ‘tidak ada dosa’ bila mengerjakan sa’i. Jadi kesan yang didapat adalah kalau kita mengerjakan sa’i, maka kita tidak berdosa. Kisah bahwa mengerjakan sa’i itu merupakan manasik haji orang-orang jahiliyah. Dahulu mereka melaksanakan ihram untuk berhala Manat, mereka juga melaksanakan sai antara bukit Shafaa dan Marwah. Ketika Allah menyebutkan thawaf di Ka’bah Baitullah tapi tidak menyebut sa’i antara bukit Shafaa dan Marwah dalam Al-Quran, mereka bertanya kepada kepada Rasulullah. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini yang intinya tidak melarang atau memperbolehkan mereka melaksanakan sa’i. Dengan demikian, perintah melaksanakan sa’i datang setelah sebelumnya dianggap terlarang. Dalam ilmu ushul fiqih, bila ada suatu perintah datang setelah sebelumnya perintah itu jusrtu merupakan suatu larangan, maka hukumnya bukan wajib, melainkan hukumnya boleh. Dan bahwa sa’i itu digolongkan sebagai ibadah sunnah, dalilnya bagi mereka yang menyunnahkan adalah sebutan syiar-syiar Allah di dalam ayat ini. Syiar biasanya terkait dengan sunnah dan bukan kewajiban.

D. Syarat Sa’i

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ibadah sa’i, yaitu :

a. Dikerjakan Setelah Thawaf

Ibadah sa’i hanya dikerjakan sebagai rangkaian ibadah thawaf di sekeliling ka’bah yang dikerjakan setelah thawaf. Dan tidak dibenarkan bila yang dilakukan sa’i terlebih dahulu. Mazhab Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan bahwa thawaf yang dilakukan adalah thawaf yang sifatnya rukun atau thawaf qudum kedatangan. Dan tidak boleh ada