169
manakala mengusap hajar aswad itu dimungkinkan atau tidak ada halangan. Di masa lalu hal seperti itu masih
dimungkinkan, karena jumlah jamaah haji tidak terlalu membeludak.
Namun di masa sekarang ini, dengan jumlah 3 juta jamaah haji, nyaris mustahil hal itu dilakukan oleh semua
orang dalam waktu yang hampir bersamaan. Maka sebagai gantinya, tidak perlu mengusap secara
langsung, cukup dengan melambaikan tangan saja dari kejauhan, yaitu dari atas Shafa.
42
4. Suci Dari Hadats
Disunnahkan ketika melakukan sa’i dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil atau hadats besar. Dasarnya
adalah sabda Nabi SAW :
ﻦﻋ ﹶﺔﺸِﺋﺎﻋ
ﻲِﺿﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ
ﺎﻬﻨﻋ ﱠﻥﹶﺃ
ﻲِﺒﻨﻟﺍ
ﻝﺎﹶﻗ ﺎﻬﹶﻟ
ﺎﻤﹶﻟ ِﺖﺿﺎﺣ
: ﻲِﻠﻌﹾﻓﺍ
ﺎﻤﹶﻛ ﻞﻌﹾﻔﻳ
ﺝﺎﺤﹾﻟﺍ ﺮﻴﹶﻏ
ﹾﻥﹶﺃ ﹶﻻ
ﻲِﻓﻮﹸﻄﺗ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺎِﺑ
ﻰﺘﺣ ﻱِﺮﻬﹾﻄﺗ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW berkata kepadanya ketika mendapat haidh saat haji,”Kerjakan
semuanya sebagaimana orang-orang mengerjakan haji, namun jangan lakukan thawaf di Ka’bah hingga kamu suci.
HR. Bukhari
Hadits ini hanya menyebutkan bahwa bagi wanita yang sedang mendapat haidh tidak boleh melakukan thawaf,
namun hadits ini tidak menyebutkan larangan untuk melakukan sa’i. Sehingga sa’i tetap boleh dilakukan oleh
orang yang berhadats. 5. Naik ke Atas Bukit
Bagi laki-laki disunnahkan untuk naik ke atas bukit Shafa dan Marwah dan saat di atas lalu menghadap ke kiblat,
42
Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 8 hal. 76
170
namun bagi perempuan tidak disunnahkan. Al-Imam An- Nawawi menyebutkan bahwa setidaknya naik setinggi
tubuhnya, meski tidak sampai ke atas puncaknya. Di masa lalu hal ini masih terasa berat karena Shafa dan
Marwah memang masih berbentuk bukit. Namun di masa sekarang ini, keduanya sudah tidak lagi berbentuk bukit,
kecuali hanya gundukan batu buatan yang tingginya tidak seberapa.
Apalagi bila saat melakukan sa’i dikerjakan di lantai dua dua atau tiga, kita sama sekali sudah tidak lagi melihat
gundukan batu-batuannya. Maka di masa sekarang ini, sunnahnya hanya menghadap ke kiblat atau ke ka’bah saja.
6. Berlari Kecil Pada Bagian Tertentu
Disunnahkan untuk berlari kecil pada bagian tertentu, khusus bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan.
Kesunnahannya menurut jumhur ulama adalah pergi dan pulang, yaitu dari Shafa menuju Marwah atau pun dari
Marwah menuju Shafa. Namun menurut Mazhab Al- Malikyah, kesunnahannya hanya sebatas dari Shafa ke
Marwah, sedangkan kembali dari Marwah ke Shafa tidak merupakan sunnah.
Di masa sekarang ini, bagian tertentu itu ditandai dengan lampu berwarna hijau sejauh beberapa meter.
Sepanjang beberapa meter itu, gerakan sa’i yang hanya dengan berjalan kaki biasa kemudian disunnahkan untuk
diubah menjadi berlari-lari kecil, hingga batas lampu hijau itu selesai, kembali lagi dengan berjalan biasa.
7. Al-Idhthiba’
Mahzab As-Syafi’iyah mensunnahkan al-idhthiba’ ketika melakukan sa’i. Yang dimaksud dengan al-idhthiba’
عﺎﺒﻄﺿﻻا
adalah mengenakan pakaian ihram dengan cara kain mengenakan baju ihram di bagian bawah ketiak kanan dan
dililitkan ke atas pundah kiri. Sehingga pundak kanan tidak
171
tertutup, yang tertutup adalah pundak kirinya. Kesunnahan ini sebenarnya berlaku pada saat
melakukan ibadah tawaf. Namun mazhab Asy-Syafi’iyah mengqiyaskannya dengan sa’i.
8. Shalat Dua Rakaat Sesudahnya
Mazhab Al-Hanafiyah mensunnahkan bagi mereka yang telah selesai menjalani ibadah sa’i untuk mendekati ka’bah
dan melakukan shalat sunnah 2 rakaat. Maksudnya agar sa’i itu diakhiri dengan shalat sunnah sebagaimana yang
disunnahkan pada tawaf.
43
Dalam masalah ini, para ulama di mazhab Asy-Syafi’iyah berbeda pendapat. Al-Juwaini menyatakan bahwa hal itu
hasan baik dan menambahkan ketaatan. Sebaliknya, Ibnu Shalah mengatakan justru hal itu kurang disukai karena
dianggap mengada-ada. Al-Imam An-Nawawi mengomentari bahwa apa yang
dikatakan Ibnu Shalah itu lebih kuat.
44
H. Larangan Sa’i dan Kebolehan
Larangan-larangan yang berlaku ketika sedang melakukan sa’i diantaranya :
1. Berjual-beli
Di masa sekarang ini tidak terbayang orang melakukan jual-beli ketika sedang melaksanakan ibadah sa’i, karena
secara fisik, semua tempat sa’i sekarang ini telah dijadikan satu tempat khusus, tidak ada pasar atau warung tempat
berjualan. Namun di masa lalu, tempat untuk melakukan sa’i
memang melewati para pedagang, dimana orang biasa berjual-beli. Maka sangat dimungkinkan orang-orang yang
43
Fathul Qadir, jilid 2 hal. 156
44
Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 8 hal. 84-85
172
sedang melaksanakan sa’i berhenti sejenak sekedar untuk berbelanja. Dan hal itu termasuk di antara larangan sa’i yang
banyak disebutkan oleh para ulama di masa lalu. 2. Menunda Sa’i
Di antara larangan dalam ibadah sa’i adalah menunda pelaksanaannya dari waktu yang utama, sehingga terpisah
jauh waktunya dari ibadah tawaf sebelumnya, yang seharusnya bersambung atau berdekatan.
Kecuali bila terputusnya karena ada keharusan untuk mengerjakan shalat fardhu yang sudah waktunya untuk
dikerjakan. Hal ini tidak membatalkan sa’i dan tidak perlu mengulanginya dari awal.
Adapun hal-hal yang dibolehkan dalam sa’i adalah semua hal yang dibolehkan dalam thawaf, seperti berbicara,
makan dan minum.
I. Jarak Shafa dan Marwah
Jarak antara Shafa dan Marwah tidak terlalu jauh, tidak sampai 400 meter jaraknya.
Kalau kita lakukan penelusuran di berbagai literatur, jarak antara Shafa dan Marwah memang berbeda-beda.
Disebutkan di dalam kitab mazhab Al-Hanafiyah, Al- Bahru Ar-Raiq Syarh Kanzi Ad-Daqaiq bahwa jarak antara Shafa
dan Marwah adalah 750 dzira’. Sedangkan di dalam kitab mazhab Asy-Syafi’iyah, Fathu
Al-Wahhab bi Taudhih Syarh Minhaj Ath-Tuhllab, disebutkan jaraknya adalah 777 dzira’.
Dalam kitab Akhbaru Makkah karya Abul Walid Muhammad bin Abdullah Al-Azraqi, disebutkan bahwa jarak
antara Shafa dan Marwah kurang lebih 766,5 dzira’ atau setara dengan 383,25 meter. Dan kalau tujuh putaran berarti
setara dengan 2.687,5 meter.