Menutup Aurat Syarat Tawaf 1. Niat

152 kunjungan di kota Makkah akan menjadi urusan yang sangat sulit. Karena terkait dengan jadwal rombongan jamaah haji. Lagi pula tidak mungkin meninggalkan wanita yang sedang haidh sendirian di kota Makkah sementara rombongannya meninggalkannya begitu saja pulang ke tanah air. Sehingga kalau ketentuannya seorang wanita haidh harus menunggu di Makkah sampai suci, berarti rombongannya pun harus ikut menunggu juga. Kalau satu wanita ikut rombonganyang jumlahnya 40 orang, maka yang harus memperpanjang masa tinggal di Makkah bukan satu orang tapi 40 orang. Kalau ada 10.000 wanita yang haidh, berarti tinggal dikalikan 40 orang. Tidak terbayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk masalah perpanjangan hotel, biaya hidup dan lainnya. Dan pastinya, tiap rombongan selalu punya anggota yang wanita. Otomatis semua jamaah haji harus siap-siap untuk menuggu sucinya haidh salah satu anggotanya. Dan artinya, seluruh jamaah haji akan menetap kira-kira 2 minggu setelah tanggal 10 Dzjulhijjah, dengan perkiraan bahwa seorang wanita yang seharusnya pada tanggal itu melakukan tawaf ifadah malah mendapatkan haidh. Dan karena lama maksimal haidh seorang wanita adalah 14 hari, maka setiap rombongan harus siap-siap memperpanjang masa tinggal di Makkah 14 hari setelah jadwal tawaf ifadhah yang normal. Semua ini tentu merupakan sebuah masalah besar yang harus dipecahkan secara syari dan cerdas. c. Pil Penunda Haidh, Bolehkah? Solusi cerdas itu adalah pil penunda haidh, di mana bila pil itu diminum oleh seorang wanita, dia akan mengalami penundaan masa haidh. Masalahnya, bagaimana hukumnya? Apakah para ulama membolehkannya? Dan adakah nash dari Rasulullah SAW atau para shahabat mengenai hal ini 153 Ternyata memang para ulama berbeda pendapat tentang hukum kebolehan minum obat penunda atau pencegah haidh. Sebagian besar ulama membolehkan namun sebagian lainnya tidak membolehkan.  Kalangan yang Membolehkan Di kalangan shahabat nabi SAW ada Ibnu Umar radhiyallahu anhu yang diriwayatkan bahwa beliau telah ditanya orang tentang hukum seorang wanita haidh yang meminum obat agar tidak mendapat haidh, lantaran agar dapat mengerjakan tawaf. Maka beliau membolehkan hal tersebut. Pendapat yang senada kita dapat dari kalangan ulama di mazhab-mazhab fiqih, di antaranya sebagai berikut: - Mazhab Al-Hanabilah Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah membolehkan seorang wanita meminum obat agar haidhnya berhenti untuk selamanya. Dengan syarat obat itu adalah obat yang halal dan tidak berbahaya bagi peminumnya. Al-Qadhi menyatakan kebolehan wanita minum obat untuk menghentikan total haidhnya berdasarkan kebolehan para suami melakukan azl terhadap wanita. Azl adalah mencabut kemaluan saat terjadi ejakulasi dalam senggama agar mani tidak masuk ke dalam rahim. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni berpendapat yang sama, yakni bolehnya seorang wanita meminum obat agar menunda haidhnya. Imam Ahmad bin Hanbal dalam nashnya versi riwayat Shalih dan Ibnu Manshur tentang wanita yang meminum obat hingga darah haidhnya berhenti selamanya: hukumnya tidak mengapa asalkan obat itu dikenal aman. - Mazhab Al-Malikiyah Ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah juga