Walimah As-Safar Makalah Haji - Makalah

295 Semua ini adalah bentuk nyata dari kemunduran penyebaran dakwah Islam. Alih-alih mengajak semua umat Islam menyatukan langkah menuju tersebarnya agama Islam di negeri yang masih minoritas muslim, yang terjadi malah mengajak berkelahi sesama muslim. Halaqah pengajaran ilmu-ilmu keislaman di masjid Al- Haram yang dahulu terbuka buat semua mazhab, sekarang dilarang dan dimusnahkan secara sistematis. Saat ini hanya ulama yang mendukung logika paham kalangan Wahabi dan Salafi saja yang dibolehkan membuka pelajaran di masjid Al- Haram Mekkah dan Madinah. Maka kalau dahulu para ulama kita pernah bermukim di Mekkah kemudian pulang menjadi guru besar berbagai ilmu syariah, sekarang ini mereka yang pulang berguru dari hijaz tidak lain hanya sekedar agen-agen Wahabi saja, yang membawa pemikiran-pemikiran yang cenderung mengajak umat Islam berkelahi dengan sesamanya. Ilmu-ilmu syariah dengan masing-masing mazhabnya hanya bertahan di kampus-kampus formal seperti Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura di Mekkah, Universitas Al- Imam Muhammad Ibnu Su’ud di Riyadh atau Universitas Islam Madinah. Di kampus-kampus itu masih dibolehkan ilmu fiqih dari berbagai mazhab diajarkan, sedangkan di masjid Al-Haram Mekkah dan Madinah, semua ilmu itu boleh dibilang sudah terlarang. Maka sejak itu, kita kekurangan pasokan ulama dari dua tanah suci. Para ulama kita hanya datang dari negeri-negeri Islam yang lain, seperti Mesir, Syiria, Sudan, dan wilayah sekitarnya. 2. Kemunduran Jamaah Haji Sementara di sisi yang lain, kemunduran juga terjadi di kalangan jamaah haji. Kemunduran disini maksudnya bukan kemunduran dari segi jumlah jamaah, tetapi kemunduran dari segi kualitas dan kapasitas keilmuan para jamaah. 296 Kalau di masa terdahulu, tidak ada orang berangkat haji kalau bukan santri yang telah lulus mengaji berpuluh-puluh kitab di depan para guru agama dan ulama. Bahkan sebagian besar mereka yang berangkat haji adalah para guru dan ulama yang sudah mengenyam pendidikan tentang ilmu- ilmu agama secara mendalam, bahkan mereka sudah pandai berbahasa Arab sejak masih di pesantren. Maka di masa itu, bila orang sudah pernah berangkat haji, bisa dipastikan mereka adalah sosok para ulama dan ahli ilmu, karena sejak sebelum berangkat haji, mereka memang sudah punya dasar-dasar keilmuan dalam hukum- hukum agama. Kalau pun mereka berangkat haji, lebih sekedar simbol tanda kelulusan dan tamat belajar. Di samping itu, secara umum negeri kita masih mengalami masa sekulerisasi yang akut. Ibadah haji saat itu masih dianggap khusus domain milik para ulama dan santri saja, tapi tidak untuk orang-orang umum. Bahkan begitu banyak orang menolak pergi haji dengan alasan masih belum layak dan belum pantas, bukan karena tidak mampu. Namun di masa berikutnya, justru keadaan berbalik. Seiring dengan kesadaran beragama di negeri kita, maka jumlah jamaah haji setiap tahun mengalami lonjakan yang tidak terkira, sehingga pemerintah harus menerapkan sistem quota. Dan antrian untuk berangkat haji bisa sampai tiga atau empat tahun ke depan. Maraknya kesadaran bangsa muslim ini terhadap agamanya membuat semakin banyak saja orang-orang di luar kalangan ulama dan santri yang kebelet ingin berangkat pergi haji ke tanah suci. Maka kemudian ibadah haji menjadi domain publik, milik siapa saja yang penting punya uang. Di satu sisi kita tentu bahagia, karena umat Islam tidak lagi alergi dengan syiar agamanya. Bahkan para artis dan selebriti yang di masa lalu anti dengan agama, sekarang banyak yang bolak-balik ke Mekkah tiap tahun. Mereka pun