Batas Wilayah Arafah Makalah Haji - Makalah

146

C. Syarat Tawaf 1. Niat

Setiap ibadah ritual mensyaratkan niat di dalam hati, tidak terkecuali tawaf di sekeliling ka’bah. Dan niat itu intinya adalah menyengaja untuk melakukan suatu pekerjaan. Niat tawaf berarti seseorang menyengaja di dalam hati bahwa dirinya akan melakukan ibadah tawaf. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW yang terkenal : ِّﻨﻟﺎِﺑ ﹸﻝﺎﻤﻋَﻷﺍ ﺎﻤﻧِﺇ ﻯﻮﻧ ﺎﻣ ٍﺀِﺮﻣﺍ ِّﻞﹸﻜِﻟ ﺎﻤﻧِﺇﻭ ِﺕﺎﻴ Sesungguhnya semua amal itu mensyaratkan niat. Dan setiap orang mendapatkan sesuatu berdasarkan apa yang dia niatkan. HR. Bukhari dan Muslim Memasang niat di dalam hati dijadikan syarat oleh Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Malikiyah. Bahkan mazhab As- Syafi’iyah mengharuskan untuk melakukan ta’yin, yakni penentuan secara lebih spesifik judul tawaf yang dilakukan. Mengingat bahwa tawaf itu ada banyak jenisnya, tidak asal sembarangan kita mengerjakan tawaf saja. Maka dalam mazhab ini, bila kita mau melakukan tawaf, di dalam hati kita harus kita jelas statusnya, tawaf apakah yang akan kita kerjakan, ifadhah, qudum, wada’ atau tawaf sunnah? Berbeda niat dan hasil akan membuat tawaf itu menjadi tidak sah. Namun terkait dengan urusan niat ini, mazhab Al- Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak menjadikannya sebagai syarat.

2. Menutup Aurat

Mazhab Asy-Syafi’iyah secara tegas mensyaratkan orang yang melakukan tawaf untuk menutup aurat, sementara mazhab lain meski mengharuskan tutup aurat namun tidak 147 secara eksplisit menyebutkannya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW yang melarang orang untuk melakukan tawaf dengan bertelanjang atau tanpa busana. ﺎﻧﺎﻳﺮﻋ ِﺖﻴﺒﻟﺎِﺑ ﻑﻮﹸﻄﻳ ﹶﻻ Janganlah seseorang melakukan tawaf di sekeliling Ka’bah dengan telanjang. HR. Bukhari Di masa lalu orang-orang Arab jahiliyah terbiasa melakukan tawaf di sekeliling Ka’bah di malam hari telanjang tanpa busana sambil bertepuk-tepuk dan bersiul- siul. ﹶﻥﺎﹶﻛ ﺎﻣﻭ ﹾﺍﻮﹸﻗﻭﹸﺬﹶﻓ ﹰﺔﻳِﺪﺼﺗﻭ ﺀﺎﹶﻜﻣ ﱠﻻِﺇ ِﺖﻴﺒﹾﻟﺍ ﺪﻨِﻋ ﻢﻬﺗﹶﻼﺻ ﺏﺍﹶﺬﻌﹾﻟﺍ ﹶﻥﻭﺮﹸﻔﹾﻜﺗ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﺎﻤِﺑ Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS. Al-Anfal : 35

3. Suci dari Najis dan Hadats

Syarat suci badan, pakaian dan tempat dari najis dan hadats, dimasukkan ke dalam syarat tawaf oleh para ulama. Hal itu lantaran kedudukan dan status tawaf ini nyaris mirip sekali dengan shalat yang juga mensyaratkan suci dari najis dan hadats. Selain syarat dalam tawaf, suci dari najis dan hadats ini juga merupakan syarat dari ibadah sa’i. Sedangkan ritual ibadah haji lainnya, seperti wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melontar Jamarat di Mina dan lainnya, tidak mensyaratkan kesucian dari najis dan hadats. Maka seorang yang sedang tawaf harus membersihkan 148 dirinya terlebih dahulu dari najis, juga harus mengangkat hadats seandainya dia sedang dalam keadaan hadats kecil atau hadats besar, dengan wudhu, manji janabah atau tayammum. Posisi suci dari hadats kecil dan besar ini harus terus menerus terjaga hingga usainya tawaf berlangsung. Bila di tengah-tengah tawaf seseorang terkena najis, maka batal dan terkena hadats kecil. Untuk itu dia harus membersihkan najis itu dan mengambil wudhu’ lagi. Demikian juga bila dia mengalami hal-hal yang membatalkan wudhu’, seperti kentut, kencing, tersentuh kulit lawan jenis tanpa penghalang menurut versi mazhab As-syafi’iyah, maka dia harus berwudhu’ ulang. Setelah suci dari najis dan hadats, kemudian dia boleh kembali ke tempat semula terkena najis, untuk meneruskan hitungan putaran tawaf. Dalam hal ini perbedaan tawaf dan shalat adalah bila batal wudhu’nya, tidak perlu mengulangi dari putaran awal, tetapi tinggal meneruskan yang tersisa. Sedangkan dalam ibadah shahat, bila seseorang kentut sesaat sebelum mengucapkan salam, maka shalatnya batal dan dia harus mengulangi lagi shalat dari takbiratul-ihram. a. Sentuhan Kulit Lawan Jenis Membatalkan Wudhu? Persoalan ini adalah wilayah ikhtilaf yang telah ada sejak dahulu, sehingga sampai hari ini masih saja menjadi titik perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram mazhab As-Syafiiyah termasuk hal yang membatalkan wudhu. Di dalam mazhab Asy-Syafiiyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian. 149 Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu : ﺀﺎﻣ ﹾﺍﻭﺪِﺠﺗ ﻢﹶﻠﹶﻓ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻣﹶﻻ ﻭﹶﺃ ﺎﺒﻴﹶﻃ ﺍﺪﻴِﻌﺻ ﹾﺍﻮﻤﻤﻴﺘﹶﻓ atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. QS. An-Nisa : 43  Pendapat Yang Membatalkan Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ hubungan seksual. Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’. Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’. Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan. Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium. Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya. Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan suami istri. Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.