189
mengalami hambatan, karena tembok itu memanjang beberapa meter, sehingga pada jamaah bisa sambil terus
bergerak sambil melempar tujuh kali di tiap-tiap jamarat. Pemerintah Saudi Arabia juga membuat tempat
pelemparan itu menjadi tiga lantai, sehingga konsentrasi jamaah haji bisa dipecah tiga, tidak menumpuk di satu lantai.
3. Batu Kerikil dan Jumlahnya
Jumhur ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa benda yang boleh
digunakan untuk melempar adalah batu kerikil yang ukurannya kecil. Bukan batu koral sebesar kepalan tangan,
apalagi batu kali yang biasa digunakan untuk bikin pondasi. Mereka juga tidak membolehkan untuk melempar benda-
benda seperti batu permata, emas, perak, perunggu, besi, kayu, tanah liat, debu, dan lainnya.
49
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah membolehkan bila yang dipakai adalah benda-benda yang asalnya dari tanah,
seperti batu koral, tanah liat, dan sejenisnya. Ketentuannya jamaah haji harus melempar ketiga
jamarat itu selama tiga hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Namun khusus di hari pertama,
yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, yang dilempar hanya satu saja, yaitu jumrah aqabah. Sedangkan pada hari-hari berikutnya,
yang dilempar adalah ketiga-tiganya. Ketentuan yang lain adalah bahwa pada setiap jumrah ,
baik jumrah ula, jumrah wustha dan jumrah aqabah, masing- masing harus dilempar dengan tujuh kerikil.
Tgl ula
wustha aqabah
Jumlah 10
7 butir -
- 7 butir
11
7 butir 7 butir
7 butir 21 butir
49
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 426
190
12 7 butir
7 butir 7 butir
21 butir
13
7 butir 7 butir
7 butir 21 butir
TOTAL
70 butir Maka jumlah kerikil yang harus dipersiapkan sejak dari
Muzdalifah adalah 7 + 21 + 21 + 21 = 70 butir. Namun dibolehkan bagi jamaah haji untuk mempercepat
masa mabitnya di Mina dari empat hari menjadi tiga hari saja, yaitu tanggal 10, 11, dan 12 saja. Sehingga batu kerikil
yang dibutuhkan tidak harus sampai 70 butir, tetapi dikurangi 21 butir, hanya 49 butir saja.
4. Tata Cara Melempar
Dalam pelaksanaannya, melepar jumrah itu harus dikerjakan sesuai dengan ketentuan dan sunnah yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW. Berikut ini adalah beberapa ketentuan dan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan saat
melempar jumrah, agar mendapatkan keberkahan dalam mengikuti sunnah beliau SAW
a. Satu Kerikil Satu Lemparan
Ketentuan cara melempar kerikil itu adalah harus dilempar satu persatu sebanyak tujuh lemparan untuk tiap
jumrah, baik jumrah ula, wustha atau pun aqabah. Setiap satu lemparan menggunakan satu batu yang baru, hingga genap
tujuh lemparan untuk tiap jamarat. Bila jamaah haji melempar beberapa batu sekaligus, atau
melempar semua batu, maksudnya ketujuh buah batu sekaligus dilempar dalam satu gerakan, maka tetap dihitung
sebagai sekali lemparan saja. Jadi yang dihitung bukan jumlah batunya, melainkan jumlah lemparannya.
b. Dengan Menggunakan Tangan
Maksudnya melempar jumrah itu harus dengan menggunakan ayunan tangan, sebagaimana umumnya orang
191
melepar batu. Dalam hal ini tangan yang dimaksud adalah tangan kanan, kecuali seseorang yang punya udzur syar’i
tententu, dibolehkan melempar dengan tangan kiri. Tidak perlu dalam melempar jumrah itu jamaah haji
menggunakan alat alat bantu seperti ketepel, atau dengan menggunakan busur seperti melempar anak panah.
Disebutkan bahwa beliau SAW ketika melempar, sampai terlihat ketiaknya yang putih.
c. Yang Dilempar Adalah Kerikil
Umumnya para ulama mengharuskan pemelparan itu dengan menggunakan batu kecil atau kita biasa sebut dengan
kerikil. Mereka umumnya tidak merekomendir bila yang dilempar itu seperti sandal, patung, sepatu atau botol
minuman kemasan. Ukuran kerikil itu sendiri tidak boleh yang terlalu besar,
agar seandainya jatuh di kepala orang, tidak akan melukai secara berbahaya.
Para ulama umumnya menyatakan bahwa batu-batu didapat ketika sedang bermalam di Muzdalifah, karena
Muzdalifah memang terdiri dari pasir dan batu. Di luar hari- hari haji, sejauh mata memandang, yang kita lihat hanya
hamparan pasir dan batu kerikil saja. Namun mereka tidak mengharuskan batu-batu itu harus
didapat dari Muzdalifah. Boleh saja batu-batu itu didapat dari mana saja, yang penting bukan dari bekas orang
melempar jamarat. Maksudnya, agar jamaah tidak menggunakan batu
kerikil yang telah digunakan orang untuk melempar jamarat, sebagaimana yang disebutkan oleh mazhab Al-Hanabilah.
d. Bertakbir Saat Melempar
Disunnahkan bagi jamaah haji untuk melafadzkan takbir pada setiap lemparan. Dalilnya antara lain adalah hadits
berikut ini :