Arisan Haji Makalah Haji - Makalah

296 Kalau di masa terdahulu, tidak ada orang berangkat haji kalau bukan santri yang telah lulus mengaji berpuluh-puluh kitab di depan para guru agama dan ulama. Bahkan sebagian besar mereka yang berangkat haji adalah para guru dan ulama yang sudah mengenyam pendidikan tentang ilmu- ilmu agama secara mendalam, bahkan mereka sudah pandai berbahasa Arab sejak masih di pesantren. Maka di masa itu, bila orang sudah pernah berangkat haji, bisa dipastikan mereka adalah sosok para ulama dan ahli ilmu, karena sejak sebelum berangkat haji, mereka memang sudah punya dasar-dasar keilmuan dalam hukum- hukum agama. Kalau pun mereka berangkat haji, lebih sekedar simbol tanda kelulusan dan tamat belajar. Di samping itu, secara umum negeri kita masih mengalami masa sekulerisasi yang akut. Ibadah haji saat itu masih dianggap khusus domain milik para ulama dan santri saja, tapi tidak untuk orang-orang umum. Bahkan begitu banyak orang menolak pergi haji dengan alasan masih belum layak dan belum pantas, bukan karena tidak mampu. Namun di masa berikutnya, justru keadaan berbalik. Seiring dengan kesadaran beragama di negeri kita, maka jumlah jamaah haji setiap tahun mengalami lonjakan yang tidak terkira, sehingga pemerintah harus menerapkan sistem quota. Dan antrian untuk berangkat haji bisa sampai tiga atau empat tahun ke depan. Maraknya kesadaran bangsa muslim ini terhadap agamanya membuat semakin banyak saja orang-orang di luar kalangan ulama dan santri yang kebelet ingin berangkat pergi haji ke tanah suci. Maka kemudian ibadah haji menjadi domain publik, milik siapa saja yang penting punya uang. Di satu sisi kita tentu bahagia, karena umat Islam tidak lagi alergi dengan syiar agamanya. Bahkan para artis dan selebriti yang di masa lalu anti dengan agama, sekarang banyak yang bolak-balik ke Mekkah tiap tahun. Mereka pun 297 sekarang bergelar haji dan hajjah. Tetapi di sisi lain, justru kita prihatin, sebab ada begitu banyak jamaah haji yang berangkat ke tanah suci, namun mereka belum pernah belajar agama sedikit pun sebagai bekal awal. Maka tidak aneh kalau hari ini banyak jamaah haji yang pandai bagaimana caranya bisa mencium hajar aswad, tetapi belum bisa bagaimana caranya berwudhu’ dan tayammum yang benar. Banyak dari jamaah haji yang pandai bertawaf di sekeliling Ka’bah dan bersa’i dari Shafa ke Marwah, tetapi sedikit sekali dari mereka yang tahu bagaimana tata cara shalat lima waktu dengan paham perbedaan antara syarat, rukun, wajib dan yang membatalkan. Banyak dari jamaah haji yang hafal pusat-pusat belanja di kota Mekkah untuk menghabiskan uang, tapi sedikit sekali bahwa tentang kewajiban zakat atas harta dengan tata aturan yang benar dan tepat, dan lebih sedikti lagi yang mengerti tentang hukum riba yang diharamkan. Banyak jamaah haji yang pandai melantunkan talbiyah dan kalimah tayyibah, tapi sedikit sekali yang mampu membaca Al-Quran dengan tartil dan makhraj huruf yang tepat. Banyak jamaah haji yang pandai berkomunikasi serta tawar menawar harga barang dengan para pedagang Arab di Mekkah, tetapi nyaris tidak ada yang mampu membaca kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih dan ushul fiqih yang kita wariskan dari para ulama dalam bahasa Arab. Bahkan apa yang mereka baca saat mengerjakan shalat, rasanya hanya sedikit yang tahu maknanya.

C. Upaya

Untuk itu sederhananya, harus ada upaya yang bisa dilakukan demi mengembalikan kualitas jamaah haji seperti