Hukum Al-Halq dan At-Taqshir

182

4. Durasi Mabit

Para ulama berbeda pendapat ketika menetapkan berapa minimal lama durasi bermalam mabit di Musdalifah itu.

a. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa minimal masa durasi bermalam di Muzdalifah adalah sekadar hathtu ar-rihal لﺎﺣﺮﻟا ّﻂﺣ . Maksudnya adalah sekedar mampir sejenak saja, tidak berlama-lama apalagi sampai menginap. Yang penting, sudah menjejakkan kaki di Muzdalifah, maka sudah dianggap sah. Tambahan lagi buat mazhab Al-Malikiyah, bahwa mabit di Muzdalifah ini hukumnya bukan rukuk dan bukan wajib haji, melainkan bagi mereka hukumnya hanya sunnah saja. b. Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa bermalam di Muzdalifah sudah sah cukup dengan berada di lokasi itu setelah melewati tengah malam. Artinya, bila jamaah haji telah berada disana pada malam hari, lalu begitu lewat tengah malam, jamaah haji itu bergerak keluar meninggalkan Muzdalifah, sudah sah hukumnya tanpa ada ketentuan membayar denda atau dam. Sebaliknya, bila bergerak keluar dari Muzdalifah sebelum tengah malam, maka mabitnya itu tidak sah, dan untuk itu diharuskan membayar dam.

c. Mazhab Al-Hanafiyah

Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan waktu untuk bermalam di Muzdalifah adalah antara terbit fajar atau masuknya waktu Shubuh hingga matahari terbit. Maka jamaah haji yang bisa berada di Muzdalifah pada waktu Shubuh hingga terbit matahari, dianggap telah sah melaksanakan mabit, walau pun malamnya tidak menginap di Muzdalifah. 183 Sebaliknya, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah ini, apabila jamaah haji luput dari waktu tersebut, maka mabitnya tidak sah dan ada kewajiban membayar dam. 5. Shalat Maghrib Isya’ di Muzdalifah Salah satu amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW ketika beliau bermalam di Muzdalifah adalah mengerjakan shalat Maghrib dan Isya, dengan cara dijamak ta’khir dan diqashar menjadi dua-dua rakaat. Dasarnya adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini : ﻦﻋ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲِﺿﺭ ٍﺪﻳﺯ ِﻦﺑ ﹶﺔﻣﺎﺳﹸﺃ ﻊﹶﻓﺩ ﻝﻮﺳﺭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ  ﻦِﻣ ﹶﺔﹶﻓﺮﻋ ﻝﺰﻨﹶﻓ ﺐﻌﺸﻟﺍ ﺒﹶﻓ ﻝﺎ ﻢﹸﺛ ﹶﺄﺿﻮﺗ ﻢﹶﻟﻭ ِﻎِﺒﺴﻳ َﺀﻮﺿﻮﹾﻟﺍ ﺖﹾﻠﹸﻘﹶﻓ ﻪﹶﻟ : ﹸﺓﹶﻼﺼﻟﺍ ؟ ﻝﺎﹶﻘﹶﻓ : ﹸﺓﹶﻼﺼﻟﺍ ﻚﻣﺎﻣﹶﺃ َﺀﺎﺠﹶﻓ ﹶﺔﹶﻔِﻟﺩﺰﻤﹾﻟﺍ ﹶﺄﺿﻮﺘﹶﻓ ﹶﻎﺒﺳﹶﺄﹶﻓ ﻢﹸﺛ ِﺖﻤﻴِﻗﹶﺃ ﹸﺓﹶﻼﺼﻟﺍ ﻰﱠﻠﺼﹶﻓ ﺏِﺮﻐﻤﹾﻟﺍ ﻢﹸﺛ ﺥﺎﻧﹶﺃ ﻞﹸﻛ ٍﻥﺎﺴﻧِﺇ ﻩﲑِﻌﺑ ﻲِﻓ ِﻪِﻟِﺰﻨﻣ ﻢﹸﺛ ِﺖﻤﻴِﻗﹶﺃ ﹸﺓﹶﻼﺼﻟﺍ ﻰﱠﻠﺼﹶﻓ ﻢﹶﻟﻭ ﻞﺼﻳ ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ Dari Usamah bin Zaid radliallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bertolak dari Arafah dan beliau singgah di Syiib, dan beliau buang air kecil dan berwudhu dengan wudhu yang ringan tidak sempurna. Lalu aku bertanya,”Apakah kita akan shalat?. Beliau menjawab,”Shalat nanti saja”. Maka Rasulullah SAW sampai di Muzdalifah dan berwudhu’ dengan menyempurnakannya dan beliau melakukan shalat Maghrib. Kemudian setiap orang menambatkan untanya masing-masing pada tempat tambatannya, kemudian iqamat shalat dikumandangkan, maka Beliau shalat dan tidak shalat diantara keduanya. HR. Bukhari Mazhab Asy-syafi’iyah mengatakan bahwa yang disunnahkan adalah menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ di waktu Isya’ jama’ ta’khir. Dalam pandangan mereka, 184 kebolehan menjama’ shalat itu semata-mata karena jamaah haji adalah musafir, bukan karena ritual ibadah haji itu sendiri. Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan sebelum shalat Maghrib, sedangkan untuk shalat Isya’nya tidak perlu adzan lagi, kecuali hanya iqamah, baik sebelum shalat Isya’ atau pun shalat Maghrib, sesuai dengan hadits berikut ini : ﻦﻋ ٍﺮِﺑﺎﺟ ﻲِﺿﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ : ﱠﻥﹶﺃ ﻲِﺒﻨﻟﺍ  ﻰﺗﹶﺃ ﹶﺔﹶﻔِﻟﺩﺰﻤﹾﻟﺍ ﻰﱠﻠﺼﹶﻓ ﺎﻬِﺑ ﺏِﺮﻐﻤﹾﻟﺍ َﺀﺎﺸِﻌﹾﻟﺍﻭ ٍﻥﺍﹶﺫﹶﺄِﺑ ٍﺪِﺣﺍﻭ ِﻦﻴﺘﻣﺎﹶﻗِﺇﻭ ﻢﹶﻟﻭ ﺢﺒﺴﻳ ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﻢﹸﺛ ﻊﺠﹶﻄﺿﺍ ﻰﺘﺣ ﻊﹶﻠﹶﻃ ﺮﺠﹶﻔﹾﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻﻭ ﺮﺠﹶﻔﹾﻟﺍ ﻦﻴﺣ ﺗ ﻦﻴﺒ ﻪﹶﻟ ﺢﺒﺼﻟﺍ ٍﻥﺍﹶﺫﹶﺄِﺑ ٍﺔﻣﺎﹶﻗِﺇﻭ Dari Jabir radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW tiba di Muzdalifah, kemudian beliau shalat Maghrib dan Isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah, tanpa bertasbih di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga terbit fajar dan shalat fajar shubuh ketika sudah jelas datang waktu shubuh dengan satu adzan dan dua iqamah. HR. Muslim

6. Wukuf di Masy’aril Haram

Para ulama menyunnahkan buat jamaah haji untuk berada di Masy’aril Haram pada saat shalat Shubuh hingga terbit matahari. Dasarnya adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem : ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ ﻢﺘﻀﹶﻓﹶﺃ ﻦِﻣ ٍﺕﺎﹶﻓﺮﻋ ﺍﻭﺮﹸﻛﹾﺫﺎﹶﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﻨِﻋ ِﺮﻌﺸﻤﹾﻟﺍ ِﻡﺍﺮﺤﹾﻟﺍ ﻩﻭﺮﹸﻛﹾﺫﺍﻭ ﺎﻤﹶﻛ ﻢﹸﻛﺍﺪﻫ ﹾﻥِﺇﻭ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﻦِﻣ ِﻪِﻠﺒﹶﻗ ﻦِﻤﹶﻟ ﲔﱢﻟﺎﻀﻟﺍ ﻢﹸﺛ ﺍﻮﻀﻴِﻓﹶﺃ