61
Pemberian ARV bukan merupakan langkah segera. Oleh karena itu, dalam konteks ko-infeksi TB-HIV maka harus dipastikan OAT dimulai terlebih dahulu sebelum ARV dipertimbangkan.
F. Pemberian ART
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien
mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu lebih disukai adalah 8 minggu untuk mengurangi terjadinya IRIS dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting
diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.
Pilihan obat ARV lini pertama yang digunakan pada anak TB-HIV
Anak umur 3 tahun :
2 NRTI Zidovudin dan Stavudin Efavirenz
Anak umur 3 tahun :
2 NRTI Zidovudin dan Stavudin Nevirapin
Anak semua umur :
3 NRTI Zidovudin+Stavudin+Abacavir Pemberian ART dapat bersinergi dengan INH proilaksis. Dengan demikian pemberian ART dapat
dimulai bersama dengan pemberian INH proilaksis.
PETUNJUK PRAKTIS
Pilihan ARV untuk pasien TB-HIV anak usia ≥3 tahun adalah 2 NRTI Zidovudin dan Stavudin ditambah Efavirenz, anak usia 3 tahun adalah 2 NRTI Zidovudin dan Stavudin ditambah
Nevirapin. Pada semua usia dapat pula diberikan 3 NRTI.
62
BAB V
DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB DEWASA
A. FAKTOR RISIKO HIV PADA PASIEN TB
Sebagian besar orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tersebut
dikenal sebagai infeksi TB laten.Hanya sekitar 10 orang yang non HIV akan berkembang menjadi TB aktif selama hidupnya. Namun pada orang-orang dengan
sistem imunitasnya menurun, misalnya pada ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi TB aktif sekitar 60. Dengan demikian
epidemi HIV akan meningkatkan jumlah kasus TB di masyarakat. Pasien TB dengan HIV atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada ODHA sekitar 50 dibandingkan dengan penyakit oportunistik lain, misalnya
kandidiasis, PCP, Toksoplasmosis, Kriptosporidiosis. Seseorang dengan kedua penyakit ini memiliki masalah kesehatan yang serius dan dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang tepat dan cepat sangat diperlukan.
Dari data-data yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa epidemi HIV sangat berpengaruh pada peningkatan kasus TB sehingga pengendalian TB
tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Petugas TB perlu mengetahui faktor risiko HIV agar dapat menunjang upaya pencegahan dan
perawatan HIV. Faktor risiko HIV adalah:
Berganti-ganti atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual. •
Pengguna Napza suntik. •
Memiliki tindih berlebihan dan tato permanen. •
Memiliki riwayat Infeksi Menular Seksual IMS. •
Memiliki jenis pekerjaan berisiko tinggi, misalnya orang yang karena •
pekerjaannya berpindah-pindah tempat supir, pelaut, migran, tuna wisma,
63
pekerja bar salon, pekerja seks. Memiliki riwayat transfusi darah dan produk darah, transplantasi organ tubuh.
•
B. PENGENALAN TANDA KLINIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB
Tabel berikut menunjukkan gambaran klinis kemungkinan terdapatnya infeksi HIV pada pasien TB.
Tabel 10. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien TB Riwayat kesehatan
Infeksi menular seksual Herpes zoster penyakit ruam saraf yang seringkali
meninggalkan bekas luka Saat ini menderita pneumonia atau pneumonia kambuh kembali
Infeksi akibat bakteri sinusitis, bakteremia, piomiositis Saat ini menjalani perawatan TB
Gejala Penurunan berat badan 10 kg atau 20 dari BB sebelumnya
Diare 1 bulan Sakit tenggorokan ketika menelan diduga Kandidiasis esofagus
Sensasi terbakar pada kaki sensori neuropati perifer
Tanda Bekas luka herpes zoster
Pruritus gatal ruam popular pada kulit Sarkoma Kaposi
Generalisasi limpadenopati simetris Oral kandidiasis
Angular cheilitis Oral hairy leukoplakia
Necrotizing gingivitis Giant aphthous ulceration
Bisulborok pada alat kelamin yang sakit terus menerus
PETUNJUK PRAKTIS
Pada pasien yang dicurigai lihat kelainan pada mulut. Luka yang banyak di mulut meningkatkan dugaan terdapatnya infeksi HIV.
64
Pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV adalah anemia, leucopenia atau thrombocytopenia yang tidak terjelaskan penyebabnya
Diagnosis pasti infeksi HIV didapatkan dari hasil tes HIV 3 metode yang positif.
C. KONSELING DAN TES HIV KTS dan KTIPK
1. Konseling dan Tes HIV
Dalam proses Konseling dan Tes HIV dapat dilakukan melalui dua pendekatan,yaitu: a. Pendekatan tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan KTIPKProvider Initiated Testing
and Counseling = PITC. b. Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV
sukarela KTS-Voluntary Counselling and TestingClient Initiated Counseling and Testing = CICT.
Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan KTIPK – PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling.
Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan kebijakan Pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan menginisiasi tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV lihat tabel 10, pasien kelompok berisiko penasun, PS-pekerja seks dan LSL – lelaki
seks dengan lelaki, pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi
yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga konidensial prinsip 3C – counseling, consent, conidentiallity.
Konseling dan tes HIV pada dasarnya merupakan tes sukarela. Pada pasien TB konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan pendekatan KTIPK maupun KTS.
Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan layanan yang terintegrasi di Fasyankes. Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien datang
berobat ke Fasyankes dan terindikasi terkait infeksi HIV. Apabila dijumpai pasien TB yang menunjukkan terdapatnya gejala yang mengarah ke AIDS seperti di atas maka petugas kesehatan di unit TB menginisiasi
tes dan dilanjutkan dengan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis.
Inisiasi tes HIV oleh petugas kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan kesehatan dan pengobatan pasien. Untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti dan
mampu mengambil keputusan menjalani tes HIV secara sukarela. Selain itu juga perlu diinformasikan bahwa konidensialitas terjaga, terhubung dengan rujukan ke Pelayanan Dukungan dan Perawatan
yang memadai. Tujuan utama KTIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan