Dampak pada pengendalian TB

17

2. Strategi Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia

Indonesia berada pada tingkat epidemi HIV terkonsentrasi concentrated epidemic kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik penasun, hetero dan homoseksual WPS, waria. Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus 49. Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia diperkirakan sekitar 3; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk populasi di LapasRutan angkanya diperkirakan lebih tinggi. Strategi pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Membentuk mekanisme kolaborasi

Membentuk kelompok kerja. • Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB. • Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV. • Melaksanakan monitoring dan evaluasi. •

b. Menurunkan beban TB pada ODHA

Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya. • Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul • rutanlapas, panti rehabilitasi napza.

c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

Menyediakan konseling dan tes HIV. • Pencegahan HIV dan IMS. • Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol PPK dan IO lainnya. • Perawatan, dukungan dan pengobatan PDP ARV untuk HIVAIDS. •

2.1. Kegiatan membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV

Kolaborasi TB-HIV di Indonesia diinisiasi pada tahun 2004 oleh kelompok ahli TB dan HIV. Dengan berkembangnya isu terkait TB-HIV, pada tahun 2007 dikeluarkanlah buku Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV yang menjadi acuan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Sejak tahun 2008 sampai saat ini telah dilakukan sosialisasi Kebijakan Kolaborasi TB-HIV ditandai dengan terbentuknya kelompok kerja TB-HIV di tingkat Pusat, Provinsi bahkan sampai tingkat KabupatenKota. Koordinasi di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan fasyankes dijalankan sesuai dengan model kolaborasi yang telah disepakati bersama. Beberapa rumah sakit RS menerapkan model pelayanan 18 kolaborasi secara paralel dan beberapa menggunakan model pelayanan secara terintegrasi pelayanan satu atap. Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas diawali dengan disusunnya Modul Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas KTS dan PDP. Menyusul kemudian dengan pelatihan untuk petugas TB dengan menggunakan modul pelatihan kolaborasi TB-HIV yang telah disusun bersama. Konselor, manajer kasus HIV dan kelompok penjangkau dari LSM yang bekerja pada komunitas risiko tinggi misalnya pengguna napza suntik, waria, penjaja seks telah mendapatkan pelatihan untuk mengenali dan mencari gejala dan tanda TB serta membantu mengawasi kepatuhan pengobatan TB pada ODHA melalui pelatihan TB-HIV dengan menggunakan modul khusus yang telah dikembangkan. Perencanaan bersama antara program pengendalian TB dan program pengendalian AIDS juga telah dilaksanakan yang menghasilkan luaran rencana kegiatan TB-HIV tahunan. Namun kegiatan monitoring evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV hingga saat ini belum dilaksanakan secara rutin di setiap tingkatan. Sebagai bahan edukasi kepada pasien TB dan ODHA maka telah dikembangkan dan didistribusikan media KIE TB-HIV berupa lembar balik, poster dan brosur. Pelaksanaan pemberian KIE TB-HIV dilaksanakan di masing-masing fasyankes.

2.2. Kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA

Kegiatan intensiikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela KTS dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 63 ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB; 9,2 di antaranya didiagnosis TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit KTSPDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTSPDP sudah dapat memulai dan atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB.01. Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid preventive therapy IPT pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA yang dilaporkan. Tetapi mulai bulan Mei 2012 telah dilaksanakan kegiatan pendahuluan pemberian INH proilaksis untuk ODHA di 2 Provinsi Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, 4 RS RS Persahabatan, RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin dan RS Marzuki Mahdi. Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTSPDP dilakukan melalui penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi PPI RS melalui pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin. Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan LapasRutan dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan. Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada waktu batukbersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa fasyankes.