Trombosit 50.000 HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

13 Stadium Klinis 4 Wasting, stunting tanpa penyebab jelas dan berat atau malnutrisi berat dan tidak respon • terhadap terapi standar Penumosistis pneumonia • Infeksi bakteri berat dan berulang empyema pyomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis • tidak termasuk pneumonia Infeksi herpes simpleks kronik orolabial, atau kutaneus selama lebih dari satu bulan, atau • viseral TB Ekstraparu • Sarkoma kaposi • Kandidiasis esofagus atau kandidiasis trakea, bronki atau paru • Toksoplamosis sistem saraf pusat setelah periode neonatus • Ensefalopati HIV • Sitimegalovirus CMV, retinitis atau infeksi CMV yang mengenai organ lain, pada umur kurang • dari satu bulan Kriptokokosis ektraparu termasuk meningitis • Mikosis endemik meluas histoplasmosis ekstraparu, koksidiodomikosis, penisiliosis • Kriptospori diosis jronik dengan diare • Isosporidiosis kronik • Infeksi mikrobakterium non-TB meluas • Limfoma non-Hodgkin sel B atau serebral • Leukoensefalopati multifokal progresif • Nefropati atau kardiomiopati terkait-HIV • Beberapa keadaan spesiik tambahan dapat juga dimasukkan di dalam klariikasi regional misal, penisiliosis di Asia, istula rektovagina terkait-HIV di Afrika Selatan, reaktivasi tipanosomiasis di Amerika Latin Ref: http:www.who.inthivpubguidelinesHIVstaging150307.pdf

4. Imunopatogenesis Infeksi HIV Bagaimana HIV menyerang sel

Human immunodeiciency virus menyerang sel yang mempunyai molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini pada dasarnya adalah subset sel limfosit T helper, yang sangat penting dalam respon imun yang dimediasi sel. Sel-sel ini disebut limfosit-T CD4+. Beberapa tahun belakangan juga diketahui bahwa HIV memerlukan molekul lain yang dikenal sebagai kemokin yang terdapat 14 pada permukaan sel dan berguna untuk masuk ke dalam sel. Pasien yang tidak memiliki beberapa kemokin spesiik ini misalnya CCR5 lebih resisten terhadap infeksi HIV. Pada pasien lain yang memiliki perubahan molekul pada reseptor kemokin ini akan lebih lambat mengalami progresivitas menuju AIDS. Bagaimana HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh Akibat paling penting dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah limfosit-T CD4+ yang progresif. Di samping itu limposit-T CD4+ yang tersisa tidak mempunyai kinerja yang sama seperti ketika belum terinfeksi. Dengan demikian infeksi HIV yang progresif akan mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh yang progresif pula. Transmisi HIV Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual lainnya terutama yang menyebabkan ulkus genital akan meningkatkan risiko penularan HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam. Penularan HIV di sub Sahara Afrika terutama adalah melalui hubungan seksual, darah dan dari ibu ke bayi. Di sebagian besar negara dengan pendapatan perkapita yang rendah, kira-kira jumlah laki-laki dan perempuan yang terinfeksi HIV seimbang. Virus ini juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, injeksi dengan alat suntik yang terkontaminasi dan penggunaan peralatan tindik yang tidak steril, serta penggunaan napza suntik. Sekitar sepertiga bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi juga terinfeksi HIV dengan cara penularan yang terjadi terutama pada saat proses kelahiran. Risiko penularan pada saat menyusui tetap ada namun lebih kecil. Meskipun demikian, di banyak negara dengan pendapatan perkapita yang rendah ASI dianggap lebih aman dibandingkan susu formula. Tidak ada bukti bahwa HIV menular melalui kontak yang terjadi sehari-hari seperti berpelukan, berciuman, makanan atau minuman, gigitan nyamuk atau serangga lain.

C. KO-INFEKSI TB-HIV

1. Pengertian

Pandemi HIVAIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signiikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA sekitar 40-50. Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB Mycobacterium tuberculosis tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10 orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; 15 sedangkan pada ODHA, sekitar 60 ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat. Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80 pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notiikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

a. Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV

Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh.

b. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis

Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notiikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70.

c. Dampak pada pengendalian TB

Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-infeksi TB-HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB. Konsekuensinya sebagai berikut: Overdiagnosis TB paru BTA negatif karena kesulitan dalam diagnosis. • Underdiagnosis TB paru BTA positif karena beban kerja petugas laboratorium. • Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat. • Angka kesembuhan yang rendah. • Angka kesakitan tinggi selama perawatan. • Angka kematian tinggi selama perawatan. • Angka kegagalan tinggi karena efek samping. • Tingginya angka pasien TB yang kambuh. • Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang terinfeksi HIV pada • lingkungan yang padat seperti lapasrutan.