Arahan Implementasi Model Pengelolaan Kawasan Selat Bali

180 Menurut Soenarno, et.al 2007 sinergi menjadi pendorong usaha perikanan untuk berkembang dan gender menjadi penentu keberlanjutannya. Pengelolaan industri pengolahan dapat mengakomodasikan faktor kunci antara lain dengan pemerintah daerah mengintensifkan berbagai kegiatan pembinaan pelatihan dan bimbingan teknis masyarakat sekitar sehingga tetap kompeten dengan kebutuhan industri. Program pendidikan gratis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait perlu dipertahankan di lokasi. Pemerintah daerah juga mempersingkat jalur birokrasi izin pengiriman, menyederhanakan sistem karantina barang, dan membasmi pungutan liar oleh oknum aparat. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka produksi biaya tinggi dapat dihindari pada industri pengolahan, dan alokasi pajak dapat disediakan dengan mudah. Bila hal ini berlanjut, maka industri pengolahan dapat menjadi tulang punggung ekonomi dan optimalisasi pembangunan kawasan Feeny, 1995. Faktor kunci terkait peningkatan kesejahteraan nelayan, seperti pendapatan, tempat tinggal, pendidikan dan kesempatan kerja dapat diakomodir antara dengan pengembangan usaha pengolahan ikan di tingkat nelayan sehingga dapat meingkatkan nilai tambah produk, bantuan pemodalan, program pembangunan MCK umum, program kredit lunak rumah kecil sederhana bagi nelayan kecil, dan prioritas pelibatan masyarakat nelayan lokal pada semua kegiatan bisnis perikanan. Untuk sustainable keberlanjutan kegiatan perikanan yang merupakan faktor kunci tujuan pembangan nasional di kawasan Selat Bali dapat diakomodir dengan menjamin konsistensi pelaksanaan SKB No. 238 Tahun 1992674 tahun 1992 antara Propinsi Jawa Timur dengan Propinsi Bali. Untuk lebih menjamin hal ini, PEMDA terkait perlu menertibkan kebijakan turunan yang lebih teknis dalam bentuk PERDA di tingkat kabupaten yang pelaksanaan diawasi terus-menerus.

8.5 Arahan Implementasi Model Pengelolaan Kawasan Selat Bali

Dalam upaya mengimplementasikan model pengelolaan perikanan tangkap di kawasan Selat Bali yang melibatkan Pemerintah dan beberapa Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, maka lembaga khusus bentukan bersama Bab 7 yang dalam penelitian ini diusulkan bernama Badan Pengelola Perikanan Selat Bali BP2SB perlu mengakomodasikan kepentingan stakholderskomponen terkait yang dalam interaksinya menghasilkan faktor kunci faktor berinteraksi signifikan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan konsep 181 co-management dalam pengelolaan sumberdaya dan komponen perikanan yang ada. Co-management telah diimplementasikan di Filipina dan berhasil baik dalam membangun ekonomi masyarakat kawasan. Co-management ini juga relevan dengan program kawasan minapolitan yang digagas KKP yang mengintegrasikan peran semua komponen perikanan terkait. Untuk mendukung suksesnya co-management perikanan sebagai implementasi model pengelolaan kawasan Selat Bali ini, maka minimal ada empat pilar yang harus diperhatikan Hartoto et al, 2009, yaitu: 1 tersedianya kebijakan dan perangkat hukum yang mendukung, 2 tersedianya partisipasi dan keinginan masyarakat, 3 interaksi yang efektif antar stakeholders, dan 4 tersedianya sumberdaya baik sumberdaya manusia, pendanaan dan lainnya. Pengembangan sosial ekonomi dan pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan sejumlah inisiatif dan kegiatan, sebagaimana halnya proses pembelajaran dan penggunaan pengalaman. Dalam kenyataannya, proses negosiasi dan implementasi rencana dan kesepakatan tak pernah berakhir dan beberapa organisasi bertanggung jawab dalam merencanakan, melaksanakan, mengkaji dan menjamin pelaksanaan kesepakatan bersama untuk pengelolaan secara berkelanjutan. Penting pula digarisbawahi bahwa konsep pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat plural diinternalisasi ke dalam masyarakat ketimbang dipinggirkan. Dengan kata lain, adalah sangat penting mengorganisasikan proses pengelolaan sumberdaya perikanan yang selaras dengan praktek dan kebutuhan lokal Pomeroy dan Pido, 1995. Sehubungan dengan hal itu, organisasi co-management yang berhasil ditandai oleh beberapa hal, antara lain: adanya masalah dengan sumberdaya yang ditangani, spesifikasi dan peneguhan hak kepemilikan, pengaruh nelayan dalam kegiatan dan partsipasi pihak yang terkena dampak, dukungan dan kerjasama pemimpin lokal, pemahaman terhadap tujuan kegiatan pengelolaan, dukungan kebijakan dan perangkat hukum, tingkat kepuasan berusaha bagi nelayan, ketergantungan terhadap kegiatan perikanan, keuntungan nyata dari pelaksanaan co-management, skema pengendalian dan evaluasi swadaya, adanya insentif bagi suksesnya kerjasama modifikasi dari Katon et al, 1997 dalam Brown, Staples and Funge-Smith 2005. Terkait dengan ini, Badan Pengelola lembaga khusus bentukan bersama ini bertugas mengkaji, merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Bali menggunakan konsep partisipatif 182 co-management. Keberadaan berbagai peraturan daerah dan institusi pengelolan sumberdaya perikanan yang ada di wilayah sekitar Selat Bali telah membuat sulitnya koordinasi di lapanganan dan meminggirkan karakter perikanan Selat Bali yang common property dimiliki bersama. Disamping itu, sistem pengelolaan yang telah lama ada juga kurang mengakui sifat saling ketergantungan pelaku usaha penangkapan. Hal-hal seperti tersebut di atas kemudian menghasilkan tata kelola sumberdaya yang kurang efektif dari aspek perencanaan, pengelolaan hingga penegakkan hukum. Dalam operasional Badan Pengelola Perikanan Selat Bali BP2SB, perlu diformulasikan secara hukum keterlibatan komunitas nelayan lokal, LSM, dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan perikanan. Pelibatan yang dijustifikasi aturan hukum dipercaya akan menambah bobot kontribusi stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Bali. Dalam proses pembentukannya, BP2SB didahului proses negosiasi berjenjang yang melibatkan komponen pemangku kepentingan formal dan informal guna penyamaam persepsi dan peneguhan komitmen. Pada level pertama, negosiasi melibatkan kalangan legislatif, eksekutif dan lembaga swadaya masyarakat bidang perikanan yang mempunyai akses organisasi ke daerah pengelolaan. Dalam hal ini organisasi yang terlibat seperti: Kementerian Kelautan dan Perikanan RI sebagai leading agency, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Negara RI, Kementerian Keuangan, Kementrian Pendidikan Nasional, Bappenas dan kalangan akademisi. Dari kalangan LSM dapat diundang organisasi seperti: HNSI, Gappindo, dan sebagainya. Di samping itu, juga perlu dilibatkan Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional guna mendapatkan informasi mengenai ketersediaan sumberdaya ikan yang ingin dikelola. Keberadaan pemangku kepentingan di level pertama atau pusat ini berfungsi sebagai lembaga pengarah dengan tugas pokok me-review dan bila perlu merevisi kerangka hukum pelaksanaan co-management. Pada level ini akan turut dikaji pula potensi konflik zonasi pengelolaan sumber daya ikan sesuai UU No. 27 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Tahun 2007. Dukungan kebijakan dan kerangka hukum nasional akan sangat membantu implementasi kegiatan co- management pada level yang lebih rendah serta dapat menjustifikasi kebutuhan angggaran yang dibutuhkan. Pada level kedua di tingkat provinsi, negosiasi implementasi co- management melibatkan kalangan legislatif DPRD, Gubernur berikut jajarannya 183 Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, aparat penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan, jajaran LSM HNSI daerah serta akademisi lokal. Fungsi utama pelibatan pemangku kepentingan di level ini adalah mengkaji dan memberi persetujuan bentuk pengelolaan yang diusulkan, menjamin pelaksanaan melalui perangkat hukum daerah Perda serta membuat panduan pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan. Pada level ketiga, negosiasi impementasi co-management melibatkan kalangan legistaltif di kabupaten DPRD Kotakabupaten, jajaran eksekutif kabupaten Bupati dan jajarannya serta penegak hukum setempat, serta kalangan LSM HNSI Kabupaten dan akademisi. Fungsi pelibatan pemangku kepentingan di level ini adalah membuat rencana pengelolaan tingkat kabupaten, melaksanakan kegiatan pengelolaan dan menggali usulan spesifik dari masyarakat. Pada level selanjutnya atau level keempat, negosiasi berlangsung antar komunitas perikanan dan struktur pemerintahan terendah desa, kecamatan. Pemangku kepentingan pada level ini adalah jajaran pemerintahan desa, perwakilan dari pelaku usaha perikanan, serta tokoh informal lokal adat, agama yang mempunyai fungsi sebagai pengusul dan pelaksana konsep pengelolaan yang diinginkan. Untuk lebih jelas, struktur pemangku kepentingan yang terlibat dalam Badan Pengelola Perikanan Selat Bali BP2SB disajikan pada Tabel 59. Tabel 59. Struktur pemangku kepentingan yang terlibat dalam Badan Pengelola Perikanan Selat Bali BP2SB Level Penanggung jawab Fungsi Instansi Terkait Peran dan Output Yang Dibutuhkan Nas. • KKP RI • Kemendagri • Komisi Pengarah co-management • Mengkaji dan merevisi bilamanaperlu perangkat hukum dan kebijakan mendukung konsep co- management • Penghubung dengan organisasi perikana regional, donor, LSM internasional • Penghubung lintas Kementerian • Mengarahkan aktivitas penelitan co-management • HNSI Pusat • Kementerian LH • Bappenas • Kementerian Keuangan • Kepolisian dan kejaksaan Agung RI • Balitbang • Kementerian PU • Kementerian BUMN • Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional • Komisi Pengarah tingkat Nasional • Konsep dasar co- manegement • Diseminasi informasi tingkat nasional • Benchmarking co- management Success story • Kepedulian terhadap isu-isu lokal 184 Level Penanggung jawab Fungsi Instansi Terkait Peran dan Output Yang Dibutuhkan yang diperlukan • Alokasi anggaran • Koordinasi dukungan keuangan • MoUKesepakatan dengan instansi lain Prov. • Dinas KP Provinsi • Komisi Pengarah co-management tingkat provinsi • Mengkaji dan memberi persetujuan pada konsep pengelolaan yang diusulkan • Panduan pelaksanaan rencana pengelolaan • Monitoring dan evaluasi co- management • Jajaran Dinas tingkat provinsi yang terkait seperti: Lingkungan hidup, Bappeda, Dinas PU, • Aparat penegak hukum • Akademisi • Konsep co- management • Aspek hukum di tingkat daerah Perda • Perecanaan dan pengendalian • Isu lokal • Resolusi konflik • Diseminasi, ToT Kab. • Dinas KP Kabupatenkota • Pengembangan rencana, pengusulan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan tingkat kabupatenkota • Jajaran eksekutif dan legislatif tingkat kabupaten • Aparat penegak hukum • LSM • Konsep pengelolaan co- management • Kepedulian isu isu lokal • Resolusi konflik • Diseminasi dan pelatihan ToT level kabupaten • Penguatan, pemberdayaan masyarakat • Formulasi rencana pengelolaan • Mobilisasi kelompok pengelola Local Comm. • Perangkat pemerintahan desa • UMKM Perikanan • Kelompok pelaku lainnya berbasis jender, organisasi kepemudaan • Lembaga adatagama awig awig, pesantren • Pengembangan rencana dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan tingkat lokalkomunitas • Tenaga pendampingfasi -litator • LSM • Pengguna dan penerima manfaat • Forum lokal • Kebutuhan pelatihan Sumber: Dimodifikasi dari Brown, Staples and Funge-Smith 2005 185 9 KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan