175
hendaknya dalam bentuk kredit lunak dan berasal dari pendanaan masyarakat melalui koperasi nelayan atau lainnya.
Tempat tinggal merupakan bagian penting dari kehidupan nelayan di Selat Bali, karena menjadi tempat bernaung bagi anak dan istrinya termasuk beberapa
kerabatnya yang menumpang. Secara umum, keadaan tempat tinggal nelayan dan fasilitas di Selat Bali termasuk kategori semi permanen skor indikator = 2,00.
Adapun upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dari aspek tempat tinggal ini adalah program pembangunan MCK umum, perbaikan parit dan
selokan, dan program kredit lunak rumah kecil sederhana bagi nelayan kecil. Pada Bab 4 dijelaskan bahwa tempat nelayan kebanyakan tidak memiliki skor 1,58 pada
skala 1-3, sehingga dengan pembangunan MCK umum diharapkan keperluan mandi, mencuci dan bagi buang air bagi kelaurga nelayan tidak kesulitan. Nelayan
yang baru berumah tangga umumnya menginap pada orangnya atau dan bahkan ada yang menginap hanya karena pertemanen terutama di Kabupaten
Banyuwangi, karena tidak sanggup mengontrak rumah. Bantuan kredit lunak perumahan dirasa dapat membantu nelayan kecil yang kesulitan tempat tinggal di
kawasan Selat Bali. Bila hal ini berjalan baik, maka bukan tidak mungkin kesejahteraan lebih meningkat, karena tempat tinggal ini termasuk komponen
signifikan terkait kesejahteraan di lokasi.
8.3.2 Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional yang terus meningkat merupakan harapan bangsa Indonesia dalam mengelola sumberdaya alam yang termasuk sumberdaya
perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan Selat Bali, harus bisa mencapai target pembangunan perikanan yang ada, sehingga terjadi keberlanjutan
kegiatan pengelolaan dan juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan nelayan serta masyarakat sekitar. Menurut Baiquni 2005, tujuan pembangunan
nasional harus menjadi target akhir dari semua aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh daerah dan masyarakatnya. Hal ini karena program pembangunan di era
otonomi ini khususnya yang berkaitan langsung pembangunan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat telah sepenuhnya dikelola oleh daerah. Terkait dengan
ini, maka tujuan pembangunan nasional tersebut juga perlu menjadi target dari kegiatan perikanan sebagai bentuk pengelolaan utama kawasan Selat Bali. Tabel
57 menyajikan beberapa hal yang diperhatikan terkait pembangunan nasional dalam pengelolaan kawasan Selat Bali.
176
Tabel 57. Koefisien pengaruh KP dan Probability P dalam interaksi pembangunan nasional
Interaksi KP
S.E. C.R.
P Label
X51 --
Pembangunan_Nasional 1
Fix X52
-- Pembangunan_Nasional
-2.6 1.635
-1.591 0.112 par-8
X53 --
Pembangunan_Nasional 1.583
1.062 1.491
0.036 par-10 OTDA --
Pembangunan_Nasional 0.032
0.285 0.113
0.91 par-29
Berdasarkan Tabel 57, pembangunan nasional dipengaruhi signifikan oleh sustainable X53 yang ditunjukkan oleh nilai P = 0.036 di bawah 0.05 sebagai
persyaratan signifikansi pengaruh, sedangkan pertumbuhan X51 dan daya saing tidak berpengaruh secara signifikan karena probility pengaruhnya di atas 0.05, yaitu
masing-masing fix dan 0.112. Hal ini menunjukkan bahwa harapan utama dari kegiatan perikanan di Selat Bali adalah terjadinya keberlanjutan sustainable pada
kegiatan perikanan tersebut sehingga menjamin terjadinya pembangunan nasional di bidang perikanan yang terus menerus di lokasi. Harapan ini dianggap lebih
penting daripada pertumbuhan meningkat dan daya saing tinggi, namun tidak bertahan lama dan tidak menopang kehidupan masyarakat nelayan secara jangka
panjang. Hal ini cukup wajar mengingat kegiatan perikanan termasuk dominan di lokasi dan sebagian besar masyarakat pesisir Selat Bali menggantungkan
kehidupannya pada kegiatan perikanan. Untuk Kabupaten Banyuwangi misalnya, sekitar 80 ekonomi Kabupaten Banyuwangi digerakkan oleh masyarakat pesisir
pada bidang perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2010. Di samping itu, Pemerintah Daerah baik dalam lingkup propinsi Propinsi
Jawa Timur dan Bali maupun dalam lingkup kabupaten Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Buleleng diberikan kewenangan penuh
melalui UU OTDA untuk mengatur dirinya sendiri, sehingga sangat mungkin dapat memenuhi harapan keberlanjutan tersebut.
Terkait dengan ini, maka Pemerintah terutama PEMDA harus selalu mengambil kebijakan yang bersesuaian dan mendukung keberlanjutan
pembangunan perikanan di kawasan Selat Bali. Kebijakan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam SKB No. 238 Tahun 1992674 tahun 1992 antara Propinsi
Jawa Timur dengan Propinsi Bali dapat menjadi rambu-rambu untuk menjamin keberlanjutan tersebut. Namun demikian, supaya dapat berjalan dengan baik,
maka PEMDA terkait perlu menertibkan kebijakan turunan yang lebih teknis dalam bentuk PERDA di tingkat kabupaten yang pelaksanaan diawasi terus-menerus.
177
Hal ini berjalan cukup baik di Kabupaten Banyuwangi dibandingkan dua Kabupaten lainnya, meskipun masih ada kekurangan terkait pembatasan fishing ground bagi
nelayan berdasarkan administrasi kabupaten. Menurut Wiranto 2005, pembangunan perikanan di era otonomi ini, harus menjadikan daerah sebagai
penggerak utama kegiatan pembangunan tersebut, oleh karena daerahlah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi perikanan yang dimililikinya dan daerahlah yang
lebih dekat dengan masyarakat nelayan. Namun demikian, sentimen kedaerahan tidak boleh dimunculkan dalam
pengelolaan tersebut apalagi sampai merugikan masyarakatnya sendiri. Menurut Tinungki 2005 potensi perikanan perairan Selat Bali menyebar melintasi batas
administrasi tiga kabupaten yang berbatasan di kawasan Selat Bali. Terkait dengan ini, maka
ketentuan PERDA yang terkesan membatasi nelayan asal kabupaten lainnya di Selat Bali perlu dihilangkan sehingga tidak mengganggu
produktivitas yang dilakukan oleh nelayan di ketiga kabupaten berbatasan tersebut. Pengaturan alokasi alat tangkap dalam SKB No. 238 Tahun 1992674 tahun 1992
sudah mengatur secara adil tentang pengelolaan potensi perikanan perairan Selat Bali bagi Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng.
8.4 Faktor Kunci Dalam Pengelolaan Kawasan Selat Bali