Konsep Implementasi Untuk Perubahan Kriteria Yang Sensitif

145 supaya alat tangkap yang digunakan nelayan tetap sesuai dengan ketentuan dan mempunyai selektifitas yang tinggi. Pengontrolan alat tangkap ini dapat dilakukan baik pada musim puncak, sedang, maupun paceklik dan tidak akan mengganggu aktivitas penangkapan yang dilakukan nelayan tidak ada RK sensitif terkait selektifitas alat tangkap, Tabel 43.

7.4.2 Konsep Implementasi Untuk Perubahan Kriteria Yang Sensitif

Berdasarkan Tabel 43, pengembangan pengelolaan dilakukan oleh lembaga khusus yang dibentuk bersama oleh PEMDA terkait PPLKB mempunyai range sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada kriteria pendapatan asli daerah meningkat PAD, yaitu pada kisaran 0,672 – 1. Hal ini menunjukkan bahwa bila PEMDA terlalu berorientasi pada peningkatan pajak dalam semua kegiatan pengelolaan perikanan di kawasan Selat Bali RK PAD ditingkatkan dari 0,081 menjadi 0,672 atau lebih, maka tugas pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga khusus bentukan bersama PEMDA terkait menjadi tidak efektif. Terkait dengan PAD ini, maka konsep yang bisa diacu dalam implementasi strategi PPLKB ini, yaitu : a. Lembaga khusus yang dibentuk bersama oleh PEMDA terkait dapat menjadi fasilitator dalam perencanaan pendapatan asli daerah pada bidang perikanan di kawasan Selat Bali. Berdasarkan acuan pada Bagian 7.4.1, lembaga khusus bentukan bersama PEMDA ini nantinya akan memiliki data dan informasi terkait pemanfaatan sumberdaya ikan, harga jual, kapasitaskuota industri, penyerapan tenaga kerja pada kegiatan pengolahan karena diberi peran dalam pengaturan dan pengkoordinasiannya. Terkait hal ini, maka lembaga khusus ini dapat memberikan masukan tentang potensi PAD perikanan yang tepat dan wajar bagi PEMDA terkait. b. Dalam koordinasi perencanaan PAD dengan lembaga khusus bentukan bersama PEMDA ini, PEMDA terkait hendaknya menerapkan prinsip saling percaya dalam artian PEMDA menetapkan besaran PAD berdasarkan potensi yang mungkin di kawasan Selat Bali dan telah didata oleh lembaga tersebut. c. PEMDA sebaiknya menghindari pemungutan retribusi berlapis dan tidak lazim dalam pengelolaan perikanan. Bila hal ini dipaksakan, maka akan 146 timbul konflik dengan nelayan dan masyarakat sekitar, sehingga memacu mereka untuk melanggar kesepakatan pengelolaan seperti melakukan penangkapan ikan destruktif guna menutupi besarnya biaya, menjual hasil tangkapan secara illegal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dan lainnya. Bila hal ini berlanjut, maka kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan lestari berbasis otonomi daerah tidak akan bertahan lama. Terkait dengan hal tersebut, maka untuk masalah pencapaian PAD tinggi, PEMDA terkait hendaknya lebih berhati-hati dan mencegah pungutan-pungutan yang tidak lazim. Lembaga khusus yang dibentuk bersama, harus diminta masukannya dalam perencanaan PAD, dan data pengelolaan yang dimiliki oleh lembaga tersebut hendaknya menjadi acuan dalam setiap upaya memperbesar kontribusi PAD di bidang perikanan di kawasan Selat Bali. Mengacu kepada Tabel 43, PAD sebenarnya dapat juga ditingkatkan asal tidak terlalu signifikan dan dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan kegiatan pengelolaan perikanan di kawasan Selat Bali. 147 8 MODEL PENGELOLAAN KAWASAN SELAT BALI Pengelolaan sumber daya perikanan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan menjaga keberlanjutan pembangunan perikanan di masa mendatang. Kawasan Selat Bali memiliki potensi sumber daya perikanan yang potensial. Tingginya potensi ini sudah seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan di daerah terkait. Bab 4 dari disertasi ini mengkaji tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di kawasan Selat Bali. Dari sini, dapat diketahui profil kesejahteraan masyarakat nelayan di kawasan itu. Terkait dengan sumber daya perikanan, perlu dilakukan suatu prediksi tentang produksi ikan pada tahun mendatang. Peramalan produksi dituangkan dalam Bab 5. Diharapkan bahwa produksi ikan akan semakin meningkat sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Memprediksi jumlah produksi ikan juga penting dalam rangka membentuk “benchmark“ tentang hasil perikanan yang potensial di kawasan Selat Bali. Untuk meningkatkan produksi ikan hasil tangkapan produksi ikan, perlu dilihat kondisi kelayakan usaha perikanan tangkap di kawasan. Bab 6 selanjutnya mengkaji kelayakan beberapa usaha perikanan tangkap yang selama ini dijalankan. Ini penting untuk memberikan alternatif pilihan usaha perikanan tangkap yang bisa digunakan sehingga dapat dilakukan pengelolaan usaha perikanan tangkap yang efektif dan efisien di kawasan. Pada kenyataannya, penggunaan atau pemilihan usaha perikanan tangkap yang efektif dan efisien bukan satu-satunya faktor yang berkontribusi terhadap upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Peranan lembaga pemerintah daerah atau pusat menjadi sangat penting dalam rangka menjalankan fungsi kontrol terhadap mekanisme pasar, sehingga nelayan tidak menjadi pihak yang dirugikan. Terlebih lagi di era otonomi daerah seperti sekarang, pemerintah daerah seharusnya bisa memaksimalkan berbagai potensi yang ada untuk kepentingan bersama. Terkait dengan ini, perlu dipelajari beberapa hal atau kebijakan yang seharusnya menjadi prioritas dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Selat Bali. Hasil penelitian pada Bab 7 memberikan beberapa rumusan tentang strategi kebijakan yang bisa dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah, yang dihasilkan melalui AHP. Dalam scope yang lebih luas, model pengelolaan perikanan tangkap 148 yang dalam hal ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan keberlanjutan pembangunan perikanan merupakan permasalahan yang kompleks, yang tidak hanya dipengaruhi oleh baik tidaknya tata pengelolaan dari lembaga terkait, melainkan melibatkan banyak faktor seperti pasar, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya sebagaimana dibahas di Bab 8 ini. Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mengkaji sejauh mana faktor-faktor yang ada saling berinteraksi sehingga bisa menjamin keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali. Untuk itu, pada Bab 8 ini akan dikembangkan suatu model yang bisa menjelaskan kompleksitas interaksi antar masing-masing faktor yang dianalisis, dan ini bisa dijawab dengan menggunakan analisis SEM.

8.1 Pengembangan Model Pengelolaan Kawasan Selat Bali