Latar Belakang Model pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Selat Bali

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Potensi perikanan laut Indonesia yang mencapai 6,4 juta tontahun memungkinkan Indonesia untuk mewujudkan kegiatan perikanan yang kokoh, mandiri, dan berkelanjutan serta memperluas kesempatan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan konsumsi ikan dalam negeri dan peningkatan penerimaan devisa negara yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009, tujuan pembangunan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Namun tujuan tersebut belum berjalan dengan baik, karena 60 dari 47 juta jiwa penduduk Indonesia yang miskin berasal dari kalangan nelayan. Menurut Dahuri 2001 dan Elfindri 2002, kemiskinan atau kesejahteraan rendah dari kalangan nelayan dalam perspektif otonomi daerah terjadi antara lain karena : 1 Kurangnya akses kepada sumber modal, kurangnya akses teknologi, dan kurangnya akses pasar di daerah otonomi. 2 Minimnya sarana dan prasarana umum pesisir di daerah otonomi, dan lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya program pada satu kawasan di daerah otonomi. 3 Timbulnya berbagai faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, berkembangnya kriminalitas di daerah otonomi. 4 Sifat alamiah sumberdaya perikanan yang sulit diramalkan, yang menyebabkan investasi modal dan teknologi penuh risiko, sasaran tangkap tergolong liar, sehingga pendapatan nelayan di daerah otonomi sulit direncanakan. 5 Struktur sosial nelayan yang umumnya dicirikan dengan kentalnya hubungan patron-klien. Hubungan ini menimbulkan kesenjangan 2 pendapatan yang cukup besar antara nelayan pemilik patron dan nelayan buruh pandega client di daerah otonomi. Kondisi tersebut akan semakin parah bila pemanfaatannya sudah overfishing, dimana nelayan kecil semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan dan beberapa upaya perikanan tidak layak dilakukan lagi. Food and Agriculture Organization FAO 2005 menyatakan bahwa sekitar 3 sumberdaya perikanan dunia pada tingkat eksploitasi optimum, 23 pada tingkat eksploitasi moderat, 52 pada tingkat eksploitasi penuh hampir overfishing, 16 sudah overfishing, 5 pada tingkat penurunan produksi secara terus menerus status deplesi dan hanya 1 pada tingkat dalam proses pemulihan melalui program konservasi. Kondisi ini umumnya terjadi pada perairan daerah tropis termasuk Indonesia. NOOA yang melakukan pemantauan terhadap kesuburan perairan seluruh Indonesia melalui citra satelite menyatakan bahwa perairan Indonesia masih kaya sumberdaya ikannya dan masih subur kandungan klorofil, meskipun bervariasi di seluruh kawasan. Namun demikian, kondisi sumberdaya ikan termasuk memprihatinkan, yang mengindikasikan tujuan pembangunan perikanan tentang pemanfaatan tidak diiringi dengan upaya menjaga kelestariannya. Dalam kaitan dengan perikanan tangkap, kebijakan pembangunan perikanan dititikberatkan pada upaya : 1 menjadikan perikanan sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke pengolahan dan pemasaran; 2 rasionalisasi, nasionalisasi, dan modernisasi armada perikanan secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan pada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan 3 penerapan pengelolaan perikanan fisheries management secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Kebijakan pembangunan perikanan ini tidak akan berjalan dengan baik bila lembaga dan komponen perikanan terkait mendahulukan kepentingan masing-masing dalam pengelolaan perikanan. Menurut DKP 2008, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pelaksanaan kebijakan yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan di suatu kawasan yaitu : terdapat keterkaitan kuat antara kegiatan pengelolaan tersebut dengan kegiatan lainnya di kawasan, ada unsur dari sumberdaya yang digunakan dalam pengelolaan tersebut yang menjadi kewenangan instansi yang lain; dan terdapat desentralisasi sebagian urusan perikanan pada lembaga daerah yang 3 berkompeten di kawasan. Di samping itu, isu-isu strategis yang berkembang di era otonomi daerah terutama menyangkut pendapatan asli daerah dan pajak harus diperhatikan dan diakomodasikan sehingga tidak terjadi konflik pengelolaan yang cenderung mengancam kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan. Kebijakan dan program pengelolaan, diharapkan mampu menjadi sebuah kesepakatan bersama dan sebagai pedoman dalam mengatur, mengarahkan serta mengendalikan berbagai aktivitas masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan terpadu integrated dan lestari. Bila hal ini dilakukan, maka dapat mampu menunjang kegiatan investasi dan perekonomian masyarakat nelayan di kawasan. Dalam konteks otonomi daerah, manfaat kebijakan perikanan bagi ekonomi dan kesejahteraan serta kelestarian sumberdaya ikan sangat ditentukan oleh cara mengelola potensi sumberdaya dan ekosistemnya yang dapat memastikan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan lestari dan tercapainya konservasi ekosistem di kawasan. Sering kali saat jasa ekosistem dibutuhkan untuk memulihkan kondisi lingkungan dan sumberdaya ikan yang overfishing, pada waktu yang bersamaan terjadi pula penurunan kemampuan berbagai ekosistem penunjang. Kondisi ini biasanya terjadi karena adanya kebijakan pemerintah otonomi dengan pertimbangan kurang matang dan cenderung melihat kepentingan sesaat dalam mengeluarkan berbagai kebijakan pemanfaatan. Hal ini juga terjadi di kawasan Selat Bali, dimana tindakan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak dapat dikendalikan sehingga overfishing, dan pemerintah otonomi dari 3 kabupaten dan 2 provinsi perbatasan cenderung berusaha mewujudkan program masing-masing tanpa memperhatikan kelestarian dan keberlajutan pengelolaan. Penelitian Co-Fish pada tahun 2000-2004 menyimpulkan bahwa sumberdaya ikan di Selat Bali berstatus overfishing berat. Kondisi tersebut membutuhkan penanganan serius dari para stakeholders baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Menurut Tinungki 2005 Selat Bali dikenal sebagai satu-satunya perairan di Indonesia yang produksi perikanannya didominasi oleh satu spesies, yaitu ikan lemuru Sardinella lemuru. Usaha perikanan lemuru di Selat Bali merupakan sumber pendapatan utama masyarakat setempat dan merupakan sumber pendapatan daerah Provinsi Bali dan Provinsi Jawa Timur, menunjang perkembangan industri lokal, serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat pesisir. Mengingat perannya yang sangat penting bagi masyarakat dan perekonomian daerah, usaha perikanan tersebut dan pengelolaan lainnya yang 4 potensial harus dipertahankan dan didukung pengembangannya. Pemerintah otonomi dari kabupaten dan provinsi yang berbatasan hendaknya dapat bekerjasama dan berkooordinasi dengan baik dan harmonis mewujudkan upaya pengelolaan tersebut demi menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya perikanan bagi kesejahteraan nelayan dan masyarakat sekitar, serta mendukung pembangunan perikanan yang berkelanjutan di kawasan Selat Bali.

1.2 Perumusan masalah