Pendugaan Produksi Ikan Layang

87 mendukung produksi perikanan dalam menyambut desentralisasi otonomi pengelolaan kawasan. Menurut Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan Kabupaten Jembrana 2009 setelah otonomi didengungkan di awal era reformasi, hampir semua sektor ekonomi digiatkan termasuk sektor perikanan. Hal ini dilakukan karena otonomi akan mengandalkan kemampuan sendiri dari daerah untuk membangun dirinya.

5.2.3 Pendugaan Produksi Ikan Layang

Selama ini, kontribusi produk ikan layang dari kegiatan perikanan di kawasan Selat Bali mencapai 4.22 Tabel 24. Produksi ikan layang ini termasuk urutan ketiga di lokasi setelah produksi ikan lemuru dan ikan tongkol. Menurut Tinungki 2005 ikan layang termasuk jenis ikan yang masih potensial untuk dikembangkan produksinya di perairan Selat Bali, dan dapat menjadi produksi perikanan alternatif bila produksi ikan lemuru kurang baik. Produksi ikan layang juga dapat dilakukan sepanjang tahun di perairan Selat Bali, dimana musim puncak produksinya terjadi pada bulan Oktober–Pebruari, musim sedang terjadi pada bulan Pebruari-Juli, dan musim paceklik atau hasil tangkapan ikan layang sedikit menurun terjadi pada bulan Agustus-September. Gambar 27 menyajikan fluktuasi produksi bulanan untuk ikan layang di perairan Selat Bali pada tahun 2009. 124.52 156.57 159.29 93.71 188.47 147.22 195.63 73.21 67.99 146.40 108.65 129.39 - 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan P ro d u k s i to n Gambar 27 Fluktuasi produksi bulanan untuk ikan layang di perairan Selat Bali tahun 2009 88 Seperti halnya ikan lemuru, ikan layang juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kesuburan perairan terutama klorofil dan oksigen terlarut. Hal ini karena ikan layang termasuk jenis ikan penghuni dasar rantai makanan, dimana perkembangannya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fitoplankton dan zooplankton sebagai sumber makanannya. Menurut Rossiter 1997 ikan pelagis terutama dari jenis yang kecil umumnya akan menetap dan berkembang biak di suatu kawasan selama sumber makanannya cukup. Migrasi dari ikan pelagis kecil tidak banyak terjadi pada suatu kawasan, karena sifatnya yang hidup bergerombol dan berkembang biak sesuai kesuburan perairan. Bila dibandingkan dengan produksi bulanan ikan lemuru, produksi bulanan ikan layang relatif lebih stabil. Hal ini memberi indikasi bahwa populasi ikan layang relatif lebih stabil di perairan Selat Bali, yang bisa dikarenakan kondisi perairan lebih sesuai bagi jenis ikan ini. Namun demikian, fluktuasi produksi tersebut termasuk cukup tinggi sehingga perencanaan produksi juga tetap sulit dilakukan. Tabel 27 menyajikan kinerja tiga jenis metode moving average simple moving average, moving average berbobot, dan exponential smoothing moving average dalam pendugaan produksi ikan layang di perairan Selat Bali. Tabel 27 Kinerja tiga jenis metode moving average dalam pendugaan produksi ikan layang di perairan Selat Bali No Metodel Peramalan Forecasts 2010 ton MSE 1 Simple Moving Average Produksi Forecasts Ordo 3 Y3 1,969.68 1729.97 Produksi Forecasts Ordo 5 Y5 1,833.21 1817.35 2 Moving Average Berbobot Produksi Forecasts w = 3 Y3 2,095.26 1794.21 Produksi Forecasts w = 5 Y5 2,047.13 1809.31 3 Exponential Smoothing Moving Average Produksi Forecasts a = 0.3 Y3 1,998.22 1649.54 Produksi Forecasts a = 0.5 Y5 1,901.29 1728.98 Kinerja metode exponential smoothing moving average berkonstanta 0.3 paling baik dibandingkan metode moving average lainnya, karena mempunyai MSE paling kecil 1649.54 Tabel 27. Metode exponential smoothing moving average berkonstanta 0.5 mempunyai kinerja terbaik kedua MSE=1728.98, metode simple moving average ordo 3 mempunyai kinerja terbaik ketiga MSE=1729.97, dan metode simple moving average ordo 5 mempunyai kinerja paling buruk 89 MSE=1817.35. Terkait dengan ini, maka metode exponential smoothing moving average berkonstanta 0.3 akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Gambar 28 menyajikan hasil analisis metode exponential smoothing moving average berkonstanta 0.3 dalam pendugaan produksi tahunan ikan layang di perairan Selat Bali. Moving Average Type : Exp. Smoothing Length : 0.3 Accuracy Measures MSE : 1649.54 - 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 5,000.00 6,000.00 7,000.00 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun P ro d u k s i to n Produksi Aktual X Produksi Forecasts a = 0.3 Y3 Gambar 28 Exponential smoothing moving average berkonstanta 0.3 pendugaan produksi tahunan ikan layang di perairan Selat Bali Gambar 28 menunjukkan bahwa produksi ikan layang di perairan Selat Bali cukup fluktuative, namun dengan kecenderungan lebih stabil dalam 10 tahun terakhir. Produksi ikan layang pada tahun 2010 menurut metode exponential smoothing moving average berkonstanta 0.3 diperkirakan mencapai 1,998.22 ton. Bila dibandingkan produksi aktual tahun 2009 1,591.05 ton berarti ada peningkatan, sedangkan bila dibandingkan produksi aktual tahun 2008 2,472.00 ton, maka ada penurunan. Fluktuasi ini masih relatif baik karena berada range yang cukup kecil. Menurut Bintoro 1995 fluktuasi produksi perikanan merupakan hal yang lumrah karena komponen utama produksi berupa sumberdaya ikan sepenuhnya ditentukan oleh alam, namun bila fluktuasi tersebut berada di bawah kisaran 75, maka termasuk baik dan kegiatan pemanfaatan akan lebih aman untuk dilakukan di kawasan perairan tersebut. 90 Secara ekologi, fluktuasi produksi ikan layang di perairan Selat Bali ini belum memperlihatkan efek yang negatif karena tanda-tanda pengelolaan destruktif pada sumberdaya ikan layang ini belum terlihat, seperti isu penggunaan bom dalam penangkapan dan hasil tangkapan dengan trend menurun terus. Menurut Yusron et.al. 2001 aspek ekologi menjadi hal penting dalam pengelolaan sumberdaya alam bila kegiatan pengelolaan tersebut ingin dibuat bertahan lama. Aspek ekologi harus diberi perhatian yang minimal sama dengan kegiatan pengelolaan. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi 2010, konflik pengelolaan yang terjadi selama ini bukan karena penggunaan bahan atau peralatan illegal dalam penangkapan ikan tetapi lebih berupa konflik perebutan fishing ground dan tambat labuh, namun hal ini juga jarang terjadi.

5.2.4 Pendugaan Produksi Ikan Lainnya