123
6.5.2 Kelayakan Keuntungan Bagi Nelayan Buruh
Keuntungan yang diterima oleh nelayan buruh akan menjadi pendapatan dari nelayan buruh tersebut dari keterlibatannya dalam usaha penangkapan ikan
menggunakan purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, dan payang di kawasan Selat Bali. Keuntungan bagi nelayan buruh ini sangat tergantung dari sistem bagi
hasil yang diterapkan oleh pemilik usaha perikanan tersebut. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa sistem bagi hasil yang umum diberlakukan pada usaha
perikanan purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, maupun payang di kawasan Selat Bali adalah 50:50. Mengacu kepada sistem bagi hasil ini, maka
keuntungan usaha yang menjadi bagian kelompok nelayan buruh untuk purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, dan payang di kawasan Selat Bali berturut-turut
adalah Rp 332,231,500,- per tahun, Rp 739,381,000,- per tahun, Rp 200,331,000,- per tahun, dan Rp 202,286,250,- per tahun Lampiran 27-30. Menurut Alfred
1998, sistem bagi hasil dan jalinan komunikasi yang baik antar pelaku usaha perikanan, sangat menentukan keberhasilan usaha perikanan tersebut. Nelayan
buruh yang terlibat harus diberi bagian masing-masing secara adil berdasarkan keterlibatan dalam kegiatan penangkapan ikan.
Untuk mengetahui bagian keuntungan bagi individu nelayan buruh setiap tripnya sebagai pendapatan bagi keluarga setiap nelayan, maka nilai keuntungan
tersebut harus dibagikan dengan jumlah nelayan yang ikut serta dan jumlah trip penangkapan setiap tahunnya. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa rata-
rata jumlah nelayan yang ikut serta pada operasi penangkapan ikan menggunakan purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, dan payang di kawasan Selat Bali
berturut-turut adalah 34 orang, 17 orang, 12 orang, dan 15 orang. Rata-rata jumlah trip penangkapan untuk purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, dan payang di
kawasan Selat Bali berturut-turut adalah 220 triptahun, 220 triptahun, 200 triptahun, dan 190 triptahun. Terkait dengan ini, maka bagian keuntungan yang
kemudian menjadi pendapatan bagi setiap nelayan buruh di setiap tripnya adalah Rp 88,831.95,-, Rp 98,847.73,-, Rp 83,471.25,-, dan Rp 70,977.63,-.
Oleh karena trip tersebut bersifat harian, maka bagian keuntungan bagi individu nelayan buruhkecil termasuk “layak”. Bagian ini belum termasuk termasuk
ikan segar hasil tangkapan yang sengaja disisikan sebelum hasil tangkapan dijual setiap tripnya di jual. Menurut Djalal 2002, keuntungan yang layak bagi nelayan
kecil tradisional akan menentukan eksistensi kegiatan perikanan di suatu kawasan.
124
Hal ini, karena merekalah pelaku asli kegiatan perikanan dan secara hukum mereka mempunyai hak lebih terhadap kawasan dibandingkan dengan pelaku perikanan
lainnya. Terkait dengan ini, maka usaha perikanan yang dikembangkan di suatu lokasi harus dapat memberi pendapatan layak bagi nelayan buruhkecil, dan hal ini
telah dapat dilakukan pada usaha perikanan purse seine OBS, purse seine TBS, gill net, dan payang di kawasan Selat Bali. Disamping itu, keempat usaha perikanan
tersebut juga layak dari segi NPV, IRR, ROI, maupun BC Ratio, sehingga tidak ada keraguan untuk pengembangan lebih luas di masa datang.
125
7
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LESTARI BERBASIS OTONOMI DAERAH
Selama ini pengelolaan perikanan di Kawasan Selat Bali dikendalikan oleh setiap pemerintah daerah PEMDA terkait melalui lembaga teknis yang dibentuk
masing-masing daerah. Untuk wilayah Provinsi Jawa Timur misalnya, aktivitas penangkapan dan pengelolaan sarana dan prasarana perikanan Selat Bali
dikendalikan oleh Badan Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Muncar, sedangkan kegiatan pelelangan ikan dikendalikan oleh Tempat Pendaratan Ikan
TPI Muncar. Untuk wilayah Provinsi Bali, kegiatan perikanan di Pengambengan Kabupaten Jembrana dikendalikan oleh Tempat Pendaratan Ikan TPI
Pengambengan dan PPN Pengambengan. Kegiatan perikanan Selat Bali di wilayah Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, masih dilakukan secara tradisional dan tidak ada
lembaga khusus yang ditunjuk untuk menanganinya. Badan Pengelola PPP Muncar merupakan unit pelaksana teknis UPT yang
berada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Provinsi Jawa Timur. Badan Pengelola PPP ini diberi tugas menjalankan dan mengontrol kegiatan perikanan
dengan basis di pelabuhan Muncar terutama terkait persiapan penangkapan, tambat labuh, pendaratan ikan, dan pengelolaan sarana dan prasarana pelabuhaan.
Dalam menjalankan tugasnya, Badan Pengelola PPP Muncar mengontrol dan mendokumentasikan semua kegiatan terkait penyediaan BBM, tambat labuh, keluar
masuk kapal dari pelabuhan, serta perkembangan produksi semua kapal perikanan dengan basis di pelabuhan Muncar. Hasil kontrol dan dokumentasi tersebut
langsung diserahkan kepada DKP Provinsi Jawa Timur dan tidak ada koordinasi dengan stakeholders lainnya di lokasi, seperti DKP Kabupaten Banyuwangi, TPI
Muncar, Koperasi Perikanan Muncar, dan lainnya. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan di lapangan, dimana DKP Kabupaten Banyuwangi merasa mempunyai
kewenangan dalam kontrol alat tangkap dan lokasi tangkap di wilayah administrasinya, sementara laporan produksi tidak mereka dapatkan. Status
Muncar sebagai pelabuhan perikanan pantai, telah menyebabkan pengelolaan kegiatan perikanan di Muncar menjadi kewenangan penuh Pemerintah Provinsi.
Koordinasi yang kurang bahkan hampir tidak ada ini telah menyebabkan konflik tersendiri untuk kawasan Selat Bali wilayah Provinsi Jawa Timur. Konflik
antara lembaga ini terkadang berdampak buruk kepada nelayan dan pelaku perikanan lainnya, yang meningkatkan retribusi karena Tempat Pelelangan Ikan
126
TPI dan Koperasi Perikanan Muncar juga mengharapkan bagian dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di kawasan Selat Bali. Disamping itu
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan dalam melaut sering lambat dan bahkan tidak dapat diselesaikan karena lembaga terkait saling mengandalkan.
Hal ini juga terjadi di kawasan Selat Bali wilayah Provinsi Bali, TPI Pengambengan sering diandalkan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan PKL Kabupaten
Jembrana untuk menyelesaikan konflik perikanan yang ada di kawasan, seperti konflik antara nelayan, konflik nelayan dengan pedagangpengolah ikan, dan
dengan industri perikanan. Sedangkan tupoksi TPI terbatas pada kegiatan lelang dan juga secara personil mereka umumnya tidak pandai karena kebanyakan
berpendidikan rendah dan berusia senja. Pencatatan yang masih manual dan sering tidak lengkap oleh TPI ini juga menjadi permasalahan tersendiri dalam
melakukan koordinasi aktivitas pengelolaan sumberdaya ikan di lokasi, terutama kalau perannya diperbantukan pada banyak hal terkait konflik pengelolaan di lokasi.
Sentimen kedaerahan yang ada pada masyarakat di tiga kabupaten terkait Kabupaten Banyuwangi, Kabupten Jembrana, dan Kabupaten Buleleng telah
menjadi penghambat dalam koordinasi dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi bersama. Tidak adanya konsep pengelolaan yang terintegrasi di kawasan
Selat Bali, telah menyebabkan ketiga kabupaten terkait cenderung bertahan dengan prinsip dan kepentingan masing-masing. Nelayanlah yang paling dirugikan dari
kondisi ini karena mereka menjadi pelaku langsung dan utama dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan Selat Bali. Wilayah administasi
kabupaten yang juga melingkupi laut sering menjadi penyebab bagi nelayan mendapatkan ancaman dari nelayan lainnya bila melakukan kegiatan penangkapan
ikan di wilayahnya. Kesepakatan pertemuan berkala tahunan antara PEMDA terkait di Provinsi
Jawa Timur dan Provinsi Bali seperti yang dinyatakan dalam SKB No. 238 Tahun 1992674 tahun 1992 sering tidak terlaksana karena alasan kesibukan masing-
masing aparat PEMDA terkait. Kondisi ini menyebabkan permasalahan yang dihadapi bersama terutama terkait nelayan, alat tangkap, dan lokasi tangkap jarang
terselesaikan. Namun bila dicermati lebih lanjut, PEMDA terkait terkesan saling menunggu dan menutupi kekurangan masing-masing terutama terkait jumlah alat
tangkap yang dioperasikan. SKB No. 238 Tahun 1992674 tahun 1992 mengatur cukup jelas tentang kuota alat tangkapusaha perikanan bagi Provinsi Jawa Timur
dan Provinsi Bali yang boleh dioperasikan di perairan Selat Bali, tetapi tidak
127
mengatur bagaimana bentuk pengawasan dan penindakan terhadap konflik atau pelanggaran yang terjadi terutama yang berdampak langsung bagi nelayan, usaha
perikanan dan kelestarian sumberdaya ikan. Dalam lingkup yang lebih luas, pengelolaan kegiatan perikanan yang terlalu
mengandalkan kemampuan unit pelaksana teknis UPT di bawahnya telah menyebabkan penyediaan data dan informasi lambat dan bahkan terkadang tidak
akurat. Di TPI Pengambengan dan TPI Muncar misalnya, konversi jumlah produksi ke nilai jual sering salah dan bahkan ada praktek pencacatan yang kurang untuk
menghindari retribusi. Kondisi ini tentu tidak baik untuk iklim investasi terutama yang bersifat peningkatan nilai tambah. Investor perikanan tentu membutuhkan
data yang benar dan akurat untuk kegiatan investasinya di bidang perikanan. Selama ini, penyediaan data dan informasi perikanan belum maksimal, dan data
yang dikeluarkan dinas terkait terkadang berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh unit pelaksana teknisnya.
Hal ini memerlukan usaha sungguh-sungguh dari pemerintah otonomi, karena mereka yang mempunyai kewenangan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Pembinaan terhadap staf yang ditempatkan di unit pelaksana teknis UPT perikanan tidak banyak dilakukan baik di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Jembrana, maupun di Kabupaten Buleleng. Staf UPT terkadang dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan di Dinas Perikanan dan Kelautan. Kondisi ini tentu
kurang baik, sedangkan kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan dan pembinaan nelayan serta pelaku perikanan secara bertahap telah dilimpahkan kepada Dinas
Perikanan dan Kelautan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terkait dengan ini, maka strategi
kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan yang ditawarkan harus dapat mengakomodasikan berbagai kekurangan yang ada, bertindak cepat,dan menjamin
pengelolaan yang lestari sumberdaya ikan yang terdapat di perairan Selat Bali. Strategi kelembagaan ini diharapkan dapat mengontrol kegiatan pengelolaan,
memecahkan masalah yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan, menyediakan secara akurat data dan informasi perikanan Selat Bali termasuk informasi tenaga
kerja perikanan, dan lainnya. Bagian 7.1 - 7.4 akan mengulas tentang proses dan pengembangan strategi kelembagan yang dimaksud.
128
7.1 Rancangan Struktur Hierarki Strategi Kelembagaan