Bentuk Analisis Kebijakan Kebijakan dan Analisis Diskursus

merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu, masih menurut Sutton 1999 merupakan hal terbaik atas pemahaman kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan, analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan management of change dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan. ”Model linear” disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream, common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu Gambar 1. Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear Sutton, 1999 Dibalik model linier ini Sutton 1999 beranggapan bahwa para pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses, dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan lainnya, bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali tidak dialamatkan kepada kualitas kebijakan itu sendiri, melainkan kepada kegagalan dalam pelaksanaannya Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999. Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam pengamatan Sutton 1999 ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya, bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini Sutton 1999, bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Selanjutnya, Sutton 1999 merinci bahwa dengan pendekatan antropologi, diskursus pembangunan menjadi tema penting. Disitu ”diskursus” diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah, membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain. Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusi- diskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe 1986 – dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997 melepas cara-cara dimana kebijakan mengalami depolitisasi dan derasionalisasi, serta menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai keputusan yang dibuatnya.

3. Diskursus dan Narasi Kebijakan

Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton 1999 menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalah- masalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana berbagai alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright 1997, yakni siapa yang memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan melalui penyusunan kerangka acuan TOR dengan tidak membolehkan atau mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo 1997 – dalam Sutton, 1999, yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. Sutton 1999 juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulianinterest tertentu untuk mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer 2009 yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaim- klaim paham diskursif-kelembagaan. Menurut Arts dan Buizer 2009 berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta.