Kebijakan Usaha Kehutanan Setelah 1998

Perubahan PP 62007. Dengan UU dan serangkaian produk peraturan turunannya inilah usaha kehutanan selanjutnya diatur. Dengan berbagai perubahan itu, pergerseran kebijakan tampak antara lain pada ditempatkannya keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup. Namun, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian dengan upaya untuk memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi KPHP dan pencairan dana jaminan kinerja HPH. Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Latar kebijakan usaha kehutanan juga tidak begitu bergeser, kecuali adanya pengakuan bahwa hutan alam sudah cenderung menurun kondisinya dan karenanya diperlukan prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan. Hal ini diperlukan untuk menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai pergeseran yang muncul pada periode ini dapat dikaitkan sebagai simbol era reformasi kehutanan. Kegiatan usaha kehutanan sendiri mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan ini antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK. Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMND. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK. Pergeseran kebijakan usaha kehutanan pada periode ini juga dipengaruhi kebijakan seputar diserahkannya sebagian urusan kehutanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberlakuan PP 621998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah. Dengan PP ini maka PP 641957 sepanjang menyangkut ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam PP 621998 dinyatakan tidak berlaku lagi 16 . UU 4199 mengelaborasi penyerahan kewenangan ini dengan menegaskan bahwa pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan ini ditujukan bagi upaya meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 17 Di lapangan, berbagai pergeseran ini ditandai pula dengan menurunnya banyak hal, terutama jumlah unit dan luasan IUPHHK HA atau HPH sebagaimana telah diilustrasikan di atas. Adapun, dari sisi domain pengaturan, besar pergeseran sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Domain Substansi yang diatur UU 567 dan UU 4199 UU 51967 UU 411999 Ketentuan umum Ketentuan umum Status dan Fungsi Hutan Pengurusan Hutan Pengurusan Hutan Perencanaan Hutan Perencanaan Kehutanan Pengusahaan Hutan Perlindungan Hutan Pengelolaan Hutan LitbangDiklatLuh Pengawasan kehutanan Penyerahan Kewenangan Masyarakat Hukum Adat Peran serta masyarakat Gugatan Perwakilan Penyelesaian sengketa kehutanan Ketentuan pidana Ketentuan Pidana Ganti rugi dan sanksi administratif Ketentuan Peralihan Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup Ketentuan Penutup 16 Pasal 20 PP 621998 17 Pasal 66 UU 4199 Adapun skema pengaturan pengusahaan hutan alam menurut kedua UU Kehutanan ini, sebagaimana tampak pada Tabel 18. Tabel 18. Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan Aspek UU 567 UU 4199 Tujuan memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat Memperoleh manfaat optimal, bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari Azas Kelestarian hutan, perusahaan Keadilan, pemerataan, lestari, dan kepastian usaha Instrumen Rencana karyabagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan; pemanenan dan pengolahan hasil hutan Pelaksanaan Dilakukan Negara, dilaksanakan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasar Undang-undang yang berlaku; pemerintah dapat bersama pihak lain: Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan; Warganegara Indonesia, Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan; Dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti dan rimba pada TN; Dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dilaksanakan masing- masing melalui pemberian izin usaha. Para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya Para pihak terkait Pemerintah, perusahaan negara-swasta, badan hukum Indonesia Pemerintah pusat-daerah, perusahaan negara-swasta, koperasi.

3. Tonggak Kunci Kebijakan dan Implementasi

Memahami berbagai pergeseran di atas, pada dasarnya adalah memahami aspek historis kebijakan usaha kehutanan, untuk menarik pengetahuan sejauh mana kebijakan itu dikerangka dan bagaimana pendekatan kelestarian dalam usaha kehutanan itu dimaknai dan dioperasionalkan dan mendapat penyesuaian dari tataran konsepsi teoretik kedalam tataran praktis dalam kebijakan. Ini adalah akumulasi dari serangkaian kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam memosisikan sumberdaya hutan alam produksi. Dengan kerangka demikian maka kedua UU kehutanan sebagaimana telah disinggung di atas dan UU terkait lainnya yang dinilai sebagai penopang bagi berjalannya kedua UU kehutanan ini dapat dianggap sebagai tonggak kunci kebijakan. Salah satu pertimbangannya adalah, karena keseluruhan UU itu dapat merupakan sumber informasi awal dan sekaligus kunci masuk untuk mengetahui dan sekaligus memahami, bagaimana kemudian hutan diposisikan dan usaha kehutanan diatur yang dari kedua hal itu, dapat ditarik pengetahuan bagaimana sesungguhnya kerangka pikir dibalik historis pergeseran kebijakan itu. Sementara peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan setingkat PP dan Keputusan Menteri sebagai penjabaran masing-masing UU Kehutanan itu dalam penelitian ini ditempatkan sebagai upaya implementasi dari usaha kehutanan yang telah digariskan dalam UU di atasnya. Dalam hal ini, data dan informasi terkait kondisi dan situasi hutan alam produksi di Luar Jawa maupun dinamika usaha kehutanan yang telah terjadi diposisikan sebagai output dan sekaligus outcome dari kebijakan usaha kehutanan selama ini. Berbagai kecenderungan penurunan kondisi dan kualitas sumberdaya hutan alam dinilai sebagai dampak. Untuk tujuan penyederhanaan dan untuk memudahkan analisis, tonggak kunci kebijakan ini dipilah dalam penggalan kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab awal.

E. Ringkasan

Dalam empat kurun penguasaan dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan – termasuk otonomi daerah, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan. Sekalipun keseluruhannya sama-sama berpijak pada landasan konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD 1945. Dalam kurun empat periode ini, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan perhatian dunia internasional. Fluktuasi yang menurun itu, ditandai antara lain oleh besarnya penyusutan luas kawasan dan potensi hutan alam, maraknya pembalakan liar, multidimensi konflik dan meningkatnya angka deforestasi dan