PembalakanPenebangan Liar Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia

Tabel 8. Dugaan Tingkat Illegal Logging di Beberapa Negara di Dunia WilayahNegara Deskripsi Dugaan Sumber Malaysia Sepertiga lebih dari ekspor kehutanan pada 1990an adalah ilegal Dudley eta 1995 Kamboja 90 dari pembalakan diduga illegal Auer et al 2003 Laos, Kamboja, Thailand dan Filipina Hampir semua kayu ekspor pada awal 1990an illegal. Perkiraan lain antara 40 - 45 Dudley at al 1995 INDONESIA 95 ekspor kayu diperoleh secara illegal pada awal 1990an. Pada pertengahan 1990an hampir 84 pemegang konsesi HPH tidak patuh pada hukum dan aturan; diduga 70-80 produksi hasil hutan dan impor illegal Dudley et al 1995 Myanmar Lebih dari separuh ekspor hasi hutan negara tidak jelas undeclared: i.e illegal World Resource Institute, 1998 Papua Nugini Beberapa melaporkan penyuapan dan kehilangan moneter akibat illegal logging Glastra, 1999 Filipina 16 juta ha hutan telah berkurang menjadi 70 rb ha, terutama akibat illegal logging Environmental Investigation Agency, 2001 Bolivia Deforestasi illegal setidaknya 4 kali atau mungkin 8 kali deforestasi legal Contreras-Hermosilla, 1997 Brazil 80 pembalakan di Amazon illegal, dugaan lain berkisar 20-90, namun umumnya setuju bahwa kejadiannya merata di Amazon Brazil Dudley et al, 1995 Rusia Sekitar 20 pembalakan hutan di Rusia melanggar hukum. Rusia memiliki 20-50 produksi hasil hutan dan impor illegal Greenpeace, 2000 Tanzania Sekitar 500 ribu ha ditebang secara illegal setiap tahun Glastra, 1999 Kamerun Sekitar sepertiga kayu yang diolah untuk pasar setempat diperoleh secara illegal. Glastra, 1999 Liberia Kira-kira 80 pembalakan kayu adalah illegal Glastra, 1999 Ghana Sebanyak sepertiga dari kayu yang dipanen pada 1990an adalah illegal. Diduga 34- 60 pembalakan kayu adalah illegal Auer et al, 2003 Sumber: Seikh PA 2008. Namun, studi yang dilakukan Chatham House pada 2008 4 menunjukkan bahwa pada 2007 tercatat sekitar 1.439 kasus illegal logging di Indonesia dengan volume kayu illegal mencapai 1,5 juta m3 yang keseluruhan diperkirakan bernilai antara USD 30 juta – USD 110 juta. Data mentah terkait jumlah kasus illegal logging ini diperoleh Chatham House dari kerja Kepolisian RI dalam kurun 2007. Data yang sama diperolehnya dari Dephut hanya 467 kasus untuk tahun yang sama, tanpa 4 Brack, D. Sam Lawson, and MacFaul Larry. 2009. Illegal Logging and Related Trade: 2008 Assessment of The Global Response Pilot Study. Energy, Environment and Development Program. Chatham House. UK. ada penjelasan dan informasi terkait besaran kubikasi yang setara kayunya round wood equivalent, RWE serta perkiraan total nilai moneternya. Kegiatan illegal logging terindikasi pula bertali temali erat dengan korupsi dan salah urus mismanagement pengelolaan sumberdaya hutan sebagaimana ditelaah HRW 2009 5 . Disebutkan bahwa dengan menggunakan metodologi standar industri telah berhasil diduga bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar USD 2 M per tahun dalam kurun antara 2003 dan 2006 akibat illegal logging, korupsi dan salah urus sumberdaya hutan. Jumlah tersebut mencakup pajak dan royalty yang tidak terhimpun dari kayu illegal, kehilangan pendapatan dari besarnya subsidi semu atas industri perkayuan termasuk di dalamnya dasar penetapan pajak dari harga kayu dan nilai tukar yang dibuat rendah, serta kehilangan akibat praktek menghindari pajak yang dilakukan para ekportir nakal yang dikenal sebagai “transfer pricing”. HRW mengilustrasikan rincian kerugian ini secara lebih tegas dalam Gambar 6. Gambar 6 Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia 2003-2006 Sumber: HRW, 2009. Kerugian finansial dari akibat tali temalinya illegal logging dan korupsi serta kejahatan kehutanan lainnya telah pula dianalisis untuk tingkat dunia oleh Kelompok Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan 5 HRW.2009. “Wild Money”: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. Human Rights Watch. New York, NY 10118-3200 USA. Kishor, N and Tapani Oksanen 2009 6 . Disebutkan bahwa illegal logging dan beragam kejahatan kehutanan lainnya umum terjadi di banyak bagian lain di dunia dan umumnya melibatkan pemain baik dari negara-negara produsen maupun konsumen. Bank Dunia memerkirakan nilai pasar dari kerugian tahunan akibat illegal logging mencapai sebesar USD 10 M. Menurutnya, angka ini lebih dari 8 kali angka resmi dana bantuan pembangunan internasional yang dialirkan untuk program pembangunan hutan lestari. Disimpulkan, bahwa dibalik ini semua adalah korupsi; dan korupsi telah mendorong terjadinya berbagai kegiatan illegal, khusunya illegal logging skala besar, seperti ditunjukkan Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa dibanding negara lainnya, Indonesia berada pada posisi “paling tinggi” baik untuk tingkat korupsi, maupun jumlah angka kayu bulat yang dicurigai illegal. Gambar 7. Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal Sumber: Kishor, N and Tapani Oksanen, 2009 6 Kishor, N and Tapani Oksanen. 2006. Combating Illegal Logging and Corruption in the Forestry Sector: Strengthening Forest Law Enforcement and Governance. Enviroment Matters 2006 – Annual Review July 2005-June 2006 FY 06. The World Bank Group.

3. Multidimensi Konflik

Hutan alam produksi di Luar Jawa juga diwarnai gejala dan fenomena multidimensi konflik. Itu setidaknya digambarkan oleh FWIGFW 2002 dan Wulan et al 2004 7 sebagaimana diuraikan di bawah ini. FWIGFW 2002 berhasil memetakan sebaran konflik berdasarkan survey. Digambarkan, bahwa penyebab umum konflik antara lain terkait konsesi HPH, penebangan liar, penetapan kawasan lindung dan taman nasional, pembangunan hutan tanaman dan perkebunan sawit. Ditambahkan, bahwa konflik terjadi lebih sering karena akibat beda pandangan terkait hak atas lahan land rights issues, pelanggaran atas kontrak perjanjian, dan ketidak jelasan batas kawasan. Diperlihatkan, bahwa konflik menyebar terjadi di keseluruhan pulau utama di Indonesia. Sementara, Wulan et al 2004 memotret profil konflik ini berdasar survey media dalam kurun 1997-2003. Disebutkan, bahwa dari 359 konflik, lebih dari seperempat 27 diantaranya terjadi di areal HPH. Dari 359 konflik, 273 76,04 diantaranya terjadi di Luar Jawa. Adapun penyebab konflik teridentifikasi setidaknya lima hal: perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan akses, dan alih fungsi kawasan. Seperti halnya hasil FWIGFW 2002, Wulan et al 2004 juga menunjukkan bahwa konflik juga menyebar terjadi di hampir keseluruhan pulau utama Tabel 9. Sedangkan kecenderungan jumlah atau frekuensi konflik dari tahun ke tahun berfluktuasi, dimana konflik terbanyak terjadi pada 2000 sebanyak 153 kasus. Gambar 8 Beberapa kebijakan pemerintah terkait langsung dengan keberpihakannya atas kepentingan masyarakat, seperti hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan cadangan pangan, bina desa hutan BDH dan pembinaan masyarakat desa hutan PMDH yang telah berjalan sejauh ini dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Khan 1996 menunjukkan bahwa program BDH yang kini telah mengalami berbagai perubahan ditingkat aturan itu, misalnya, masih tetap sulit diimplementasikan, 7 Wulan et al 2004 Analisis Konflik Sektor Kehutanan 1997-2003. Center for International Forestry Research. Bogor. Tabel 9. Frekuensi Konflik Kehutanan per Provinsi 1997-2003 No. Provinsi Frekwensi Konflik Persentase 1 Nangroe Aceh Darusasalam 10 2,79 2 Sumatera Utara 36 10,03 3 Sumatera Selatan 12 3,34 4 Riau 19 5,29 5 Jambi 16 4,46 6 Kalimantan Timur 109 30,36 7 Kalimantan Tengah 10 2,79 8 Jawa Barat 25 6,96 9 Jawa Tengah 47 13,09 10 Jawa Timur 14 3,90 11 Provinsi lain 61 16,99 Total Jawa 86 23,96 Total Luar Jawa 273 76,04 TOTAL INDONESIA 359 100,00 Sumber: Wulan et al 2004 – data diolah ulang, urutan dimodifikasi Frekuensi Konflik per Tahun

14 29

52 153 45 31 35 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Jun-03 T a hun Frekuensi Konflik Gambar 8 Frekwensi Konflik Pertahun 1997-2003 Sumber: Wulan et al, 2004 – data diolah ulang antara lain karena program ini bagi pemegang HPH maupun HTI waktu itu pada akhirnya – dan dalam jangka pendek – lebih merupakan beban biaya tambahan disinsentive yang tidak ada kaitan langsung baik dengan upaya peningkatan efisiensi ataupun kapasitas produksi HPHHTI yang bersangkutan. Keadaan ini menguatkan dugaan, bahwa program semacam ini kurang memperhitungkan dan mengantisipasi kedudukan dan karakter HPHHTI sebagai institusi bisnis yang berorientasi pada perilaku memaksimalkan keuntungan.