The Forest First vs The Forest Second

diupayakan pergeseran dari aliran the forest first ke the forest second, dimana perhatian dan orientasi tidak sekedar pada fisik-botanis-ekosistem hutan saja, tetapi seimbang dengan situasi kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan. Bagaimana ini dapat dilakukan, perlu masuk pada soal perbaikan proses konstruksi kebijakan yang benar-benar ditopang unsur governance yang baik.

D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir

Persepsi para pihak telah dijaring melalui dua pendekatan, yakni wawancara mendalam dan internet on-line polling. Sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, penjaringan perspesi didekati dengan empat kelompok pertanyaan seputar a Hutan Alam Produksi di Luar Jawa, b Usaha Kehutanan, c Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi, dan d Kebijakan Usaha Kehutanan. Khusus untuk internet on-line polling, selain keempat kelompok ini ditambahkan pula kelompok untuk mengetahui identitas singkat para peserta polling. Seperti apa dan seberapa jauh persepsi para pihak pemangku kepentingan ini 24 mengonfirmasikan, menegasikan dan menambah-kurangkan berbagai kecenderungan dan pemetaan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada rincian hasil dan sintesis pada Lampiran 12 Wawancara dan Lampiran 13 Polling. Kedua lampiran ini sekaligus merupakan bagian dari wujud interaksi sosial sebagaimana dimaksud Birkland 2001. Secara ringkas peta posisi dan persepsi para pihak ini dijelaskan di bawah ini.

1. Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa

Diskursus seputar hutan alam produksi luar Jawa lebih memperlihatkan refleksi atas situasi, kondisi, faktor penyebab dan alternatif solusi. Dari kelompok birokrat teridentifikasi antara lain bahwa hutan tidak termanfaatkan dan tidak terkelola secara optimal; tidak ada konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan; pemanfaatan yang tidak terkontrol uncontrolled use, undervalued, 24 Yang diwawancarai dan mengisi internet on-line polling dalam penelitian ini sebagaimana dimaksud kan pada Tabel 2 dan 3. penghamburan wasting assets dan masih kentalnya masalah ketidakpastian kawasan. Adapun penyebabnya teridentifikasi kelompok ini, antara lain kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain non- kehutanan dengan kehutanan. Kehutanan bahkan dinilai telah menyudutkan sektor kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan bagi sektor lain. Muncul opsi solusi dari kelompok ini, antaralain perlunya moratorium usaha kehutanan secara ketat, penataan ulang pengeoloaan mulai di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. Dengan refleksi demikian kelompok ini masih melihat hutan alam memiliki keunggulan dalam banyak hal, terutama dari sisi sifat khas, manfaat multi fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu – yang tidak dapat begitu saja tergantikan hutan tanaman. Dengan begitu, diyakini hutan alam dapat tetap dimanfaatkan, tanpa perlu didikotomikan dengan hutan tanaman, karena dianggap dapat berjalan seiring. Ditekankan, hutan tanaman lebih sebagai jalan keluar – antara lain dalam mengurangi tekanan atas hutan alam. Pembenahan kebijakan perlu terutama untuk memastikan bisa bersinerginya kebijakan kehutanan dengan sektor lain, terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Saat dikaitkan dengan fenomena masih jalannya beberapa pelaku usaha ditengah sulitnya situasi usaha kehutanan, kelompok ini berkeyakinan bahwa hal itu lebih karena korsa rimbawan – disebut berkait erat dengan profesionalisme, integritas, konsistensi dan keterbukaan; lalu institusi dan manajemen usaha kehutanan – dikaitkan dengan efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipatif dan inovasi yang keseluruhannya diakui dapat mengatasi kesulitan dimaksud. Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain yang oleh kelompok ini disebut sebagai faktor dibalik upaya mengatasi situasi itu saat korsa rimbawan dan persoalan-persoalan institusi dan manajemen usaha kehutanan dimaksud tidak tersedia secara memadai.