Capaian Kinerja: Tidak Lestari, Tidak Menyejahterakan, Tidak
dikatakan peran ekonomi sumberdaya hutan alam menurun. Kedua, berbagai perolehan di sektor ini baik pada saat booming di awal usaha
kehutanan 1970an maupun saat ini 2010 dalam kecenderungannya yang terus menerus menurun, peran sosial sektor kehutanan atas upaya
pengentasan kemiskinan tampak tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan, antara lain oleh masih tingginya angka kemiskinan, terutama di dalam dan
di sekitar hutan serta semakin berkurangnya daya serap tenaga kerja sektor ini sejalan dengan berbagai kecenderungan penurunan tadi. Disisi lain,
berbagai penurunan itu sendiri bisa dipastikan justru menambah jumlah angka pengangguran yang ada. Dengan begitu semakin beralasan, bila
muncul penilaian bahwa peran sosial ekonomi sumberdaya hutan alam tidak nyata, terlebih saat dikaitkan dengan konteks ”sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Artinya, tujuan usaha kehutanan untuk menjalankan mandat konstitusional Pasal 33 UUD 45 dapat dikatakan tidak berhasil.
Ketiga, sementara dari sisi lingkungan, gambaran menurunnya kondisi fisik botanis hutan yang tercermin dari berbagai penurunan jumlah luasan
dan kualitas hutan alam sebagaimana disinggung di atas dapat dikatakan berujung pada menurunnya peran lingkungan dari sektor ini. Hal ini
dikaitkan, misalnya, dengan fenomena ketidakseimbangan alam, antara lain berupa keadaan iklim yang semakin tidak menentu. Keadaan ini dapat
dipahami dari situasi anomali lingkungan, dimana iklim yang tidak menentu tadi, sering memperlihatkan fenomena banjir di musim hujan dan
kekeringan serta kekurangan air di musim panas. Saat banjir, tak jarang pula disertai erosi tinggi dan pendangkalan sungai bahkan sampai longsor.
Periode banjirpun secara alami menjadi lebih sering. Sebaliknya, saat musim kering dimana kekurangan air melanda, di beberapa tempat sering
pula terjadi kebakaran hutan. Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan hampir seluruh Kalimantan, merupakan tempat-tempat langganan kebakaran hutan
yang pernah terjadi hampir setiap tahun di sana. Keempat, bila berbagai kecenderungan kondisi di atas dipahami secara
pragmatis sebagai representasi sebuah capaian kinerja usaha kehutanan dalam hal kesejahteraan, maka dapat pula ditarik pengetahuan bahwa
secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal – dalam menjalankan mandat
keramatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 45: ”....bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kekurang berhasilan ini dapat
dianggap sebagai indikasi bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan. Bahwa
sektor kehutanan pernah memiliki posisi yang baik dalam hal perolehan devisa negara dan kontribusinya atas perekonomian nasional; dan itu
berlangsung di tengah tetap miskinnya masyarakat, terutama mereka yang berada di dalam dan di sekitar hutan mengindikasikan, bahwa ada
persoalan ketimpangan dalam hal distribusi manfaat dari hutan alam. Artinya, kinerja usaha kehutanan yang dicapai sejauh ini, selain tidak
lestari dan tidak mensejahterakan, juga tidak adil.