secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal – dalam menjalankan mandat
keramatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 45: ”....bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kekurang berhasilan ini dapat
dianggap sebagai indikasi bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan. Bahwa
sektor kehutanan pernah memiliki posisi yang baik dalam hal perolehan devisa negara dan kontribusinya atas perekonomian nasional; dan itu
berlangsung di tengah tetap miskinnya masyarakat, terutama mereka yang berada di dalam dan di sekitar hutan mengindikasikan, bahwa ada
persoalan ketimpangan dalam hal distribusi manfaat dari hutan alam. Artinya, kinerja usaha kehutanan yang dicapai sejauh ini, selain tidak
lestari dan tidak mensejahterakan, juga tidak adil.
3. Kesenjangan: Masalah Kebijakan
Sementara, baik UU 567 maupun penggantinya, UU 4199, menetapkan tujuan usaha kehutanan sebagai upaya mencapai tujuan pembangun
ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat dengan berdasar pada berbagai azas, termasuk azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas perusahaan
UU 567; agar diperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari UU 4199. Dari kedua versi UU
kehutanan ini ”kemakmuran rakyat” dan ”kesejahteraan seluruh masyarakat” menjadi kata kunci pertama dari setting tujuan kebijakan
usaha kehutanan yang telah ditetapkan. ”Kelestarian hutan” dan ”adil dan lestari” menjadi kata kunci kedua yang merupakan predikat yang
dikerangka harus melekat pada setting tujuan kebijakan usaha kehutanan itu.
Bila berbagai kecenderungan capaian kinerja usaha kehutanan sebagaimana digambarkan diatas ditakar oleh kedua kata kunci terkait
setting tujuan kebijakan usaha kehutanan dimaksud, maka tampak adanya kesenjangan gap antara tujuan kebijakan yang telah digariskan dalam
perundangan dengan capaian kinerja usaha kehutanan. Kesenjangan ini secara kualitiatif disarikan dalam Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja
Setting Tujuan Kebijakan Realitas Kinerja Usaha Kehutanan
Pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat;
Azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas
perusahaan UU 567 Manfaat optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan
lestari UU 4199. Kata kunci I : ”kemakmuran
rakyat” dan ”kesejahteraan seluruh masyarakat”
Kata kunci II: ”Kelestarian hutan” dan ”adil dan lestari”
x Kualitas produk, produksi dan luas hutan produksi,
jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun jumlah unit usahanya, perolehan devisa dan kontribusi
sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional – terus menurun.
x Peran sosial sektor kehutanan atas upaya
pengentasan kemiskinan tidak signifikan; angka kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan
tetap tinggi, daya serap tenaga kerja kurang.
x Secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha
kehutanan kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal – dalam menjalankan mandat keramat pasal 33
UUD 45.
x Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa
tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil.
Ini mengundang pertanyaan terkait bagaimana kesenjangan ini bisa terjadi, bahkan dalam kurun yang begitu lama, atau setidaknya dalam lima dekade.
Pertanyaan ini berkaitan setidaknya dengan dua hal terkait masalah kebijakan usaha kehutanan: kegagalan kebijakan itu sendiri dalam
mencapai tujuan kebijakan dan bagaimana cara atau kerangka pikir para pihak yang berperan dalam merumuskan kebijakan. Hal pertama lebih
berkaitan dengan ”kualitas” kebijakan usaha kehututanan dan hal kedua lebih kepada dinamika diskursus para pihak yang berperan dalam proses
konstrruksi kebijakan yang telah berkembang dan mengkristal kedalam teks peraturan perundangan yang mengatur usaha kehutanan. Dengan
demikian, menarik pengetahuan tentang dua aspek ini dari bahan empiris yang ada, terutama dari dokumen kebijakan usaha kehutanan, diharapkan
dapat sekaligus menjawab pertanyaan ”mengapa” kesenjagan itu hadir untuk waktu yang begitu lama, dan bahkan sampai hari ini.
D. Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Kebijakan Usaha Kehutanan Sebelum 1998
13
Kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa, ditandai dengan diberlakukannya Peraturan
Pemerintah PP No. 641957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet
Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I provinsi. Pada Bab 2 Pasal 10 PP 641957 ini, diatur bahwa pemerintah di
tingkat provinsi memberikan ijin pemanfaatan kayu dalam bentuk: a konsesi hutan sampai luasan 10.000 ha dengan jangka konsesi 20 tahun,
b persil tebangan sampai luasan 5.000 ha selama lima tahun, dan c ijin tebang kayu dan dan pemungutan non kayu sampai batas tertentu selama
dua tahun. Dengan kewenangan ini Pemerintah Provinsi lalu memungut pajak dan royalti atas hasil panen kayu dan hasil lainnya berdasarkan luas
tebangan dan volume pemungutan. Sekalipun tidak disebutkan besarannya dalam PP ini secara pasti, sebagian besar dari pungutan itu
disetor ke Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Setidaknya sampai 1960an pelaksanaan PP tersebut relatif masih
belum menimbulkan akibat atau kerusakan berarti pada lahan dan sumberdaya hutan. Kemungkinannya, karena jumlah dan luas areal yang
diberikan melalui tiga macam konsesi di atas masih kecil, relatif atas luas hutan yang ada dan tersedia waktu itu, yang sebagian terbesar kondisinya
masih perawan virgin forests. Dengan kata lain, pemberian konsesi saat itu tergolong belum begitu berdampak negatif, termasuk terhadap
kehidupan keseharian masyarakat sekitar hutan. Demikian pula, keberadaan konsesi belum secara nyata memperlihatkan konflik yang
serius dengan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran konsesi itu justru lebih membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Meski tergolong
banyak kewenangan telah dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi melalui PP ini, beberapa kewenangan lain, seperti pengalokasian hutan,
13
Pada masa paska kemerdekaan, khususnya setelah 1950an.
1 13
1