penetapan hutan, dan perencanaan kehutanan tetap berada pada Pemerintah Pusat.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 51967 tentang Kehutanan, desentralisasi urusan kehutanan sebagaimana
telah diatur dalam PP 641957 relatif dipersempit. Saat bersamaan, kewenangan Pemerintah Pusat semakin diperlebar, menandai kembalinya
sentralisasai urusan kehutanan. Pada periode inilah sektor kehutanan, dipacu usahanya dan dijadikan andalan bagi pembangunan ekonomi
nasional. Peran sentralisasi Pemerintah Pusat semakin menguat, setelah
dikeluarkannya paket kebijakan peningkatan investasi dengan pemberlakuan Undang-undang UU No. 11967 tentang Penanaman
Modal Asing PMA dan UU No. 61968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri PMDN serta penerbitan PP 2170 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, PP 221967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH dan PP 3370 tentang
Perencanan Hutan. Dengan serangkaian aturan ini pemerintah memberikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan HPH
14
secara besar-besaran pada kawasan hutan alam produksi dengan total alokasi, waktu itu, mencapai
lebih dari 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa inilah eksploitasi dan komersialisasi hutan alam produksi dilakukan besar-besaran. Tujuan
utama usaha kehutanan waktu itu adalah, memacu perolehan devisa sekaligus untuk mengatasi kondisi ekonomi nasional yang saat itu
dipandang begitu memprihatinkan. Upaya resentralisasi semakin menguat, karena pemerintah pusat mengendalikan hampir keseluruhan kebijakan
usaha kehutanan melalui berbagai isntrumen peraturan-perundangan dan perencanaan.
Kebijakan pemberian konsesi HPH secara besar-besaran dianggap telah mampu membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa
dan pembangunan industri kehutanan. Namun, tingkat ekstraksi hutan dan
14
Secara detail operasional pemberian HPH diatur melalui SK Mentan No. 571967 tentang Syarat-syarat dan Cara Penyelesaian Permohonan HPH dan SK Menhut No. 2541968 tentang Pelimpahan Wewenang
Penandatanganan Surat Keputusan Pemberian HPH kepada Direktur Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian
akumulasinya yang terjadi waktu itu telah merubah bentang alam secara nyata, dimana hutan alam yang semula perawan belantara banyak berubah
wujud menjadi hutan sekunder. Angka-angka dan data terkait deforestasi dan kerusakan hutan dan berbagai penurunan kondisi hutan alam
sebagaimana telah diuraikan di atas mengonfirmasikan hal ini. Kondisi di atas dikuatkan Gautam et al 2000 yang menekankan
bahwa hutan menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin utama ekspor kayu tropis dunia.
Namun, capaian dalam pertumbuhan ekonomi ini harus ditebus oleh kerusakan lingkungan akibat kerusakan hutan alam yang cepat dan terus
menerus.
2. Kebijakan Usaha Kehutanan Setelah 1998
Resentralisasi urusan dan usaha kehutanan sebagaimana digambarkan di atas terus berlangsung, sampai UUPK 567 kemudian digantikan UU
411999 tentang Kehutanan dan diberlakukannya UU 2299 tentang Pemerintah Daerah bersamaan dengan UU 2599 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dua undang-undang yang disebut terakhir ini kemudian diganti berturut turut dengan UU 322004
dan UU 332004. Dalam UU 411999 ini, istilah Hak Penguasahaan Hutan HPH berganti nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Alam IUPHHK-HA
15
. Adapun aturan turunannya adalah PP 699 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada
Hutan Produksi yang masih tetap merujuk UU567, yang diubah dengan PP 342002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP 342002 ini telah merujuk UU 4199, tapi kemudian diganti dengan PP 62007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. PP ini pun akhirnya diganti dengan PP 32008 tentang
15
Bersamaan dengan penggatian istilah HPH, diganti pula beberapa istilah. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman HPHT berganti menjadi IUPHHK-HT, Industri Pengolahan Kayu Hulu IPKH menjadi Industri
Primer Hasil Hutan Kayu IPHHK.
Perubahan PP 62007. Dengan UU dan serangkaian produk peraturan turunannya inilah usaha kehutanan selanjutnya diatur.
Dengan berbagai perubahan itu, pergerseran kebijakan tampak antara lain pada ditempatkannya keseimbangan fungsi hutan dan
lingkungan hidup. Namun, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan
bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian dengan upaya untuk memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan
Produksi KPHP dan pencairan dana jaminan kinerja HPH. Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan
membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur
kepemilikannya. Latar kebijakan usaha kehutanan juga tidak begitu bergeser,
kecuali adanya pengakuan bahwa hutan alam sudah cenderung menurun kondisinya dan karenanya diperlukan prinsip keterbukaan, profesionalisme
dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan. Hal ini diperlukan untuk menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya,
tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai pergeseran yang muncul pada periode ini dapat dikaitkan sebagai simbol
era reformasi kehutanan. Kegiatan usaha kehutanan sendiri mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan ini antara lain berupa
pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK. Izin ini diberikan kepada
perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMND. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang
IUPHHK. Pergeseran kebijakan usaha kehutanan pada periode ini juga
dipengaruhi kebijakan seputar diserahkannya sebagian urusan kehutanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberlakuan PP