Keseimbangan Dimensi Organisasi Peta Kerangka Pikir
organisasi baik untuk priode sebelum dan setelah 1998, sebagaimana dirinci dalam Tabel 22.
Tabel 22. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Bolman dan Deal 1984
Pendekatan Dimensi Catatan
Bolman and Deal 1984
Sebaran kata kunci baik untuk periode sebelum dan sesudah 1998
Lampiran 4 memperlihatkan kecenderungan kerangka lebih ke
dimensi simbolik
untuk kedua periodik.
Makna dimensi ini menegaskan beberapa hal terkait organisasi:
• Tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai;
• Peran manajemen menyeimbangkan ’strategi’ dan
’struktur’ dengan lingkungan eksternal kurang;
• Tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan
para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak
memadai tadi.
• Tidak merespon secara seksama kesenjangan kepentingan dan
kelangkaan sumberdaya hutan. Organisasi dimaksud lebih
tertuju kepada institusi kehutanan pemerintah cq
departemen yang mengurusi kehutanan lihat catatan kaki
21 Organisasi lebih
memosisikan diri secara dominan pada proses
pengambilan keputusan, yang tak ubahnya sebagai
arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari
putusan yang diambil.
Dalam keseimbangan yang lebih pada dimensi simbolik, baik untuk periode sebelum dan setelah 1998, organisasi kehutanan pada dasarnya
memperlihatkan beberapa makna, antara lain sebagaimana dikemukakan di bawah ini.
Pertama, sebagai organisasi, departemen yang mengurus kehutanan, sebagaimana juga tercermin dari narasi kebijakan yang ada, tidak berangkat
dari sebuah strategi yang memadai, sekalipun seolah ada peran manajemen untuk menyeimbangkan ’strategi’ dan ’struktur’ dengan lingkungan eksternal.
Kedua, dari narasi kebijakan yang sama tampak bahwa departemen tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak
dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. Ketiga,
departemen tidak merespon secara seksama persoalan kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan dan seolah lepas dari politik
organisasinya. Keempat, departemen lebih suka memosisikan diri bahkan secara dominan pada proses pengambilan keputusan, yang dengan
karakteristik yang ada – misal kuatnya kesan resistensi, maka berbagai langkah pengambilan keputusan tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik,
relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil. Salah seorang Menteri Kehutanan di era setelah 1998 ini kurang lebih berujar hal senada:
” Ya itu juga persoalan....bahwa semua yang muncul sekarang saya kira erat kaitannya dengan adanya kekeliruan cara pikir. Gejalanya, pembangunan
kehutanan tidak pernah fokus, ganti menteri ganti kebijakan.... ada anggapan kalau jadi menteri tidak merubah, tidak buat aturan, dia merasa tidak
melakukan apa-apa. Sehingga, istilahnya, tidak gatal pun digaruk. Padahal menurut saya tidak begitu.” Wawancara, Bogor, Mei 2011
Pandangan di atas memperoleh dukungan ”politis” dari Ketua Mahkamah
Konstitusi Machfud MD yang jauh sebelumnya juga berpandangan kurang lebih senada:
Saya melihat munculnya UU yang kadang kala tumpang tindih itu karena menteri-menteri genit. Artinya, kalau menjadi menteri harus membuat UU
meski UU sudah ada, ingin diubah. Pokoknya biar ada tandanya dia jadi menteri itu buat UU. Itu sebabnya Prolegnas Program Legislasi Nasional di
DPR jadi menumpuk. Karena setiap menteri usulkan UU ini, tanpa jelas urgensinya. Apa naskah akademiknya, bahwa itu perlu DetikNews, 23
Februari 2010: ”Ketua MK: UU Tumpang Tindih karena Para Menteri Kegenitan”. Diakses 14 Mei 2010
23