Limitasi dan Validasi KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI A.

validitas masih belum optimal, dapat diterima, karena proses validasi memang belum dilakukan optimal. Misalnya, beberapa temuan awal tidak semua dikonfirmasi langsung dan konfirmasi ulang yang dilakukan beberapa tidak kembali kepada informan yang sama, tetapi kepada informan dari kelompok dan kualifikasi yang sama. Secara keseluruhan, validasi juga dilakukan terhadap hasil polling dengan pemetaan satu-satu sesuai kelompok para pemangku kepentingan yang teridentifikasi. Proses validasi ini tentu tidak sekuat bila metodanya diikuti secara kaku, misal dengan menggunakan koefisien Cohen’s Kaffa, yakni satu atribut statistik untuk ukuran kualitatif 12 . Dengan keterbatasan itu pula, peneliti memosisikan hasil riset kualitatif ini bukan hal final, tetapi analog dengan sebuah sketsa lukisan di sebuah kanvas yang cukup besar yang sudah mulai tampak gambar besarnya, namun perlu penyempurnaan di tingkat mikro. Harapannya, tentu para peneliti berikutnya di masa datang dapat masuk dengan topik di tingkat mikro untuk menggenapkan sketsa dimaksud. Sebagai gambaran, berikut peta jalan road map awal yang mungkin dapat ditempuh dengan beberapa topik penelitian lanjutan untuk menggenapi sketsa makro di atas. Tabel 5. Tabel 5. Peta Jalan Road-map Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Topik Riset Opsi Metoda Harapan atas hasil riset ini Kelestarian Posisi Hutan Alam Kebijakan Usaha Kehutanan Diskursus dan atau Diskursus analisi kritis dan atau teori hegemoni Konfirmasi sekaligus penguatan secara detail kehadiran dominasi dan hegemoni kekuasaan Sebagai gambaran, dalam Tabel 6 dapat dilihat beberapa riset kualitatif dengan pendekatan antara lain dengan berbagai analisis diskursus seputar kehutanan dan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah dilaksanakan di manca-negara yang beberapa diantaranya diacu dalam riset ini. 12 Smeeton 1985 dalam www.wikipedia.com diunduh 6 Maret 2010. Tabel 6. Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Reda 2004 Discourse Analysis on the Ethiopian Government’s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet, Sweden Analisis Diskursus dengan berbagai rujukan, termasuk Michel Foucault Dianalisis diskursus dibalik kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi pemerintah Etiopia dalam memerangi proses penggurunan. White 2002 A Discourse Analysis of Stakeholders’s understanding of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute State University. Analisis diskursus konstruktivitist Dianalisis pemahaman akan pengetahuan ilmiah yang diekspresikan dalam diskursus formal kebijakan pemulihan ikan salmon di Pasific Barat Laut Rova 2001 When Regulation Fails: Vendace Fishery in the Gulf of Bothnia. Marine Policy Vol. 25: 323-333 Analisis Diskursus Dianalisis hubungan tiga hal sekaligus: karakteristik sumberdaya, kondisi sosial para pihak pemangku kepentingan dengan ikan vendace Coregonus albula L di Teluk Bothnia untuk memperoleh gambaran penataan kelembagaan yang diperlukan. 13 Arts and Buizer 2009 Forests, discourse, institutions: A discursive- institutional analysis of global forest governance. Forest Policy and Economics. Vol. 11 2009: 340-347 Analisis Diskursif- Kelembagaan Dianalisis bagaimana dan seberapa jauh proses-proses tatakelola dapat dipahami lebih baik melalui analisis diskursus dan antar-muka dari ilmu pengetahuan- kebijakan. Berfokus hanya pada diskursus, tapi dilakukan dari perspektif kelembagaan. Blaikie dan Sussan 2001 Understanding Policy Processes: Livelihood- Policy Relationships in South Asia. Working Paper 2. Departemen for International Development, UK. Analisis kebijakan dan analisis proses kebijakan Memahami proses kebijakan, analisis proses kebijakan dan memahami cara- cara dimana pengaruh berbagai kebijakan pembangunan di Asia Selatan atas mata pencaharian si miskin. Lebih merupakan tinjauan atas pendekatan-pendekatan analisis kebijakan. Hewitt 2009 Discourse Analysis and Public Policy Research. Paper Series No. 24. Center for Rural Economy Discussion. Newcastle University, Analisis Diskursus sebagai instrumen dari analisis kebijakan Riset ini coba melacak berbagai perbedaan pendekatan dalam analisis diskursus yang telah dilakukan para analis kebijakan yang terinspirasi Foucault, seting dari sifat pendekatan pendekatan serta hal terpenting dari perbedaan itu dan menarik implikasi dari penerapan analisis diskursus pada proyek-proyek riset kebijakan pedesaan. 13 Telaah konseptual penulis atas makalah ini dapat di lihat pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Volume XIV No. 1 April 2008 Tabel 6. Lanjutan Sumber, Judul, Penerbit Metoda Sinopsis singkat Guzman tanpa tahun Focusing on Forest Not the Trees: A Critical Review of Knowledge and Learning Concepts. Griffit Business School, Griffith University. Australia. Analisis diskursus kritis Telaah kritis atas pengetahuan dan konsep pembelajaran. Yang ditelaah adalah aspek penting dari asumsi pilosofis yang menonjol seputar isu kekuasaan dan sifat ilmu pengetahuan. Hutan dan kayu, digunakan sekedar analogi dalam telaah. Wittmer and Birner 2005 Between Conservation, Eco- populism, and Developmentalism: Discourse in Biodiversity in Thailand and Indonesia. CGIAR Systemwide Program on Collective Action and Property Rights, IFRI, Washington DC, USA Diskursus analisis terkait konsep sistem nilai, story line dan koalisi Riset ini mengkaji peran diskursus dalam kaitan konflik seputar kegiatan konservasi di negara-negara tropis. Riset fokus pada pertanyaan kunci apakah dan seberapa jauh komunitas lokal dibolehkan hidup dan memanfaatkan sumberdaya di dalam areal yang dilindungi. Kasus: Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Indonesia dan Kehutanan Masyarakat di Areal dilindungi Thailand Philips et al 2004 Discourse and Institution. Academy of Management Review 2004 Vol.29 No. 4: 635-652 Analisis Diskursus Menelaah proses kelembagaan melalui diskursus dan kebahasaaan dengan pertimbangan bahwa bahasa penting bagi proses pelembagaan; pelembagaan terjadi karena aktor berinteraksi dan dapat menerima definisi bersama tentang realitas yang semuanya berlangsung melalui proses-proses berbahasa dalam mendefinisikan dan mengkonstruksi realitas. F. Ringkasan Merujuk pada sekumpulan konsep dan teori seputar kebijakan, analisis kebijakan, diskursus dan diskursus kelestarian hutan lestari, kerangka metodologi penelitian ini dirumuskan. Dari konsep dan diskursus kelestarian, telah pula disintesis kerangka teoretik kelestarian, termasuk di dalamya pemosisian hutan alam – sebagai instrumen penakar dalam keseluruhan analisis diskursus yang dilakukan. Peneliti mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif ex-post yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang telah terjadi empiris dan kesenjangan gap yang ada untuk menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu valuatif dan sekaligus menawarkan kerangka pembaruan termasuk aliran pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan. Asumsinya, pembuatan kebijakan terutama implementasinya tidaklah linear, dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” chaotic dari serangkaian tujuan dan kejadian. Dengan asumsi tersebut, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-konsep dan multi- disiplin yang dianggap tepat untuk mengurai kondisi chaotic. Diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-masalah yang rumit; berhubungan dengan cara berpikir, dengan nilai-nilai dan dengan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu. Diskursus juga merupakan upaya mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan. Analisis diskursus dalam penelitian ini berciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pertimbangannya lebih ke pragmatisme dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan; substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting terkait kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang, sekaligus untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I. Memilih kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir akan berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Analisis diskursus dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar disusul dengan analisis isi dan narasi. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dilakukan transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis- kuantitatif, termasuk dalam bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik dari fenomena atau pokok-pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya dilihat melalui pendekatan proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri. Ketiga arus ini mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan. Hasilnya digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Untuk hal ini secara khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan kini Bina Usaha Kehutanan, BUK 2005-2009. Disadari sepenuhnya, bahwa riset ini merupakan hal baru bagi peneliti dan karenanya tidak mungkin steril dari berbagai keterbatasan. Namun begitu, peneliti telah berupaya untuk tetap menjaga validitas hasil riset dimaksud dan memosisikan hasil riset ini sebagai temuan pendahuluan. Peneliti menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan riset ini disertai gambaran perkembangan riset serupa di mancanegara.

BAB III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA

A. Pendahuluan

Hutan alam di Indonesia secara historis telah mengalami setidaknya empat periode penguasaan, dari mulai penguasaan oleh para raja-raja, penguasaan oleh penjajah Belanda, penjajah Jepang, dan penguasaan pada masa kemerdekaan Lampiran 8. Masing-masing periode penguasaan memperlihatkan pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda Dephut, 1986 – SKI. Berbagai pendekatan dan orientasi itu menyiratkan keragaman dalam kerangka berpikir dan orientasi pengelolaan, dari mulai pengelolaan dengan basis kelestarian hasil, eksploitasi untuk alasan modal perang dan membiayai revolusi, sampai kepada menjalankan mandat keramat yang tertuang pada Pasal 33 UUD 1945 – untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam masa paska kemerdekaan diberlakukan Peraturan Pemerintah PP No. 641957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Provinsi. Pemberlakuan PP ini, dapat dianggap sebagai awal mula kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan di Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa. Melalui PP ini pula secara legal-formal usaha kehutanan di luar Jawa dimulai, ditandai dengan pelimpahan kewenangan pengurusan sumberdaya hutan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Apakah PP ini dapat dianggap pula sebagai tonggak kunci kebijakan yang memengaruhi keseluruhan kelanjutan kebijakan usaha kehutanan, menjadi salah satu poin bahasan di akhir bab ini. Selain itu, dalam bab ini pula diurai gambaran perkembangan kondisi hutan alam dan dinamika dan kinerja usaha kehutanan serta coba dilihat apa yang menjadi masalah kebijakan dibalik kemungkinan kesenjangan antara tujuan kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dengan realitas kinerja usaha kehutanan itu sendiri.

B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia

1. Kondisi Hutan Alam

Setelah lebih dari lima dekade pengusahaan pada paska kemerdekaan 1 , Hutan Alam Indonesia saat ini menghadapi situasi yang luar biasa suram. Secara kualitatif, situasi ini setidaknya dapat dilihat dari semakin menyusutnya luas kawasan hutan alam produksi dari tahun ke tahun. Data 2005 menunjukkan, bahwa dari 35,26 juta ha luas kawasan hutan alam produksi yang tersisa di Luar Jawa, areal yang masih tersisa dan berhutan hanya tinggal 20,62 juta ha; selebihnya berupa areal tidak berhutan 12,64 juta ha dan belum terdata 1,99 juta ha Dephut, 2006a. Untuk kawasan hutan yang lebih luas lagi, digambarkan bahwa di dalam kawasan hutan dengan luas total sebesar 133,6 juta ha, tutupan hutan atau areal berhutan mencapai 85,96 juta ha 64 dan areal yang tidak berhutan sebesar 39,1 juta ha 29 dan sisanya 8,52 juta ha 7 tidak terdefinisi karena data tidak lengkap Dephut, 2006a. Tutupan hutan ini oleh banyak pihak telah dijadikan indikator untuk menilai fungsi hutan. Dalam hal ini kawasan hutan tanpa tutupan hutan yang nyata – yang menurut Dephut 2006a luasnya mencapai 29 dari kawasan hutan tetap – tidak memperlihatkan kinerja terkait fungsi ekonomi sosial dan lingkungan sebagaimana yang diharapkan layaknya dari ”lahan berhutan”. Hal ini di lapangan sering menjadi peluang ”pembenaran” untuk melakukan realokasi wilayah-wilayah tak berhutan kepada penggunaan lain yang dianggap lebih produktif, misalnya perkebunan atau wana-tani agroforestry. Berbagai alternatif pemanfaatan ini bahkan dipandang telah memperluas tekanan dan ancaman atas hutan alam. Situasi ini jelas akan menambah unsur ketidakpastian akan usaha kehutanan. Keadaan ini diperparah oleh rendahnya kinerja realisasi penataan batas hutan alam yang oleh Hermosilla dan Chip Fay 2006 sampai awal 2005 diklaim 1 Dihitung dari sejak dikeluarkannya PP 641957