Mindset behind Indonesian forest business policy: a discourse analysis

(1)

KERANGKA PIKIR

DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA:

SEBUAH ANALISIS DISKURSUS

Azis Khan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus

ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2011 Azis Khan E 061060172


(3)

AZIS KHAN. The Mindset behind Indonesian Forest Business Policy: A Discourse Analysis. Under supervision of HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO, and DUDUNG DARUSMAN

By using a discourse analysis, this qualitative research was aimed to better understand the flow of mindset adopted by far in forest utilization policy making processes, especially in the context of natural production forest in the outer island. The discourse drawn from both legal texts available and from the results of in-depth interviews as well as internet on-line polling, strongly indicated that the flow of mindset adopted dominantly by far was so called “the forest first”. This was shown by its characteristic, primarily putting the natural forest to be the first and main factor implying that forest are conceived as ecosystems that function on ways depending mainly on their nature and putting such human related aspects as social, politics and economic to be exogenous. As a result, any significant deviation resulted in great and serious damages some of which were irreversible. To avoid such a terrible consequence, some improvement and re-orientation in policy making processes are needed in terms of its quality of both substance and process. In line with this, the “quality” of the discourse needs also to be improved mainly for the purpose to increase people knowledge and experiences, as well as policy space and actor networks. Above all, as all findings are considered to be product and hegemony of power under both Foucault and Gramsci ideas, it is then necessary to collectively realize, break and end the power hegemony first, before executing all reforms identified in this research. To do so, all forest practitioners and foresters have to be out of their usual “box”.

Key words: discourse analysis, minds frame, sustainability, forestry utilization policy.


(4)

AZIS KHAN. Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus. Dibimbing HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO dan DUDUNG DARUSMAN

Riset kualitatif dengan pendekaatan analisis diskursus ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan – khususnya di hutan alam produksi di luar Jawa – untuk dapat memahami aliran pemikiran di sebaliknya. Sejumlah produk perundangan terkait usaha kehutanan setingkat UU, PP dan beberapa turunanya telah ditetapkan untuk kemudian dilakukan analisis diskursus, mencakup analisis isi dan narasi. Analisis yang sama juga dilakukan atas hasil dari serangkaian wawancara mendalam dan hasil internet on-line polling.

Hasil riset antara lain menunjukkan, bahwa peta diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first (FF) yang memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama, lepas dari aspek sosial ekonomi politik karena diposisikan sebagai faktor eksogen.

Lepasnya aspek sosial ekonomi politik dari aliran pemikiran itu menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Ini tampak dari teks kebijakan yang cenderung berkonsentrasi pada sistem alami hutan, dan lepas dari sistem atau persoalan manusia yang (akan) menjalankannya. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. Antara lain, ditunjukkan semakin meningkatnya biaya transaksi dan ekonomi biaya tinggi di lapangan yang berujung pada meningkatnya tekanan atas sumberdaya hutan.

Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF. Ini terutama diperlihatkan komponen kalangan pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang ”kalah” dalam kontestasi ide, terindikasi karena proses konstruksi kebijakan dan kualitas diskursus yang lemah. “Kekalahan” ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai.

Aliran pemikiran usaha kehutanan menjadi situasi masalah yang penting tapi luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya “kualitas” diskursus sebagai akibat rendahnya pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat.

Disarankan untuk segera melakukan reorientasi pembaruan kebijakan, termasuk atas hal-hal praktis operasional. Pembaruan perlu lebih diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi


(5)

Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan kejelasan tujuan yang ingin dicapai, perilaku siapa yang diharapkan harus berubah, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir.

Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan yang ingin dicapai, masalah yang ingin dijawab dan solusi yang ditawarkan. Proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan.

Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, dengan sasaran akhir ditekankan kepada memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai.

Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan dalam menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain serupa di masa datang perlu dilakukan dengan semangat “continuously improvement”. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling.

Di atas itu semua, dengan menempatkan hasil riset ini pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan dan Gramsci tentang dominasi dan hegemoni kekuasaan, maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk dari hegemoni kekuasaan. Hal tersebut perlu menjadi kesadaran kolektif. Oleh karena itu, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari “kotak pemikirannnya” yang biasa.

Kata kunci: analisis diskursus , kerangka pikir, kelestarian, kebijakan usaha kehutanan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KERANGKA PIKIR

DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA:

SEBUAH ANALISIS DISKURSUS

AZIS KHAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc.

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Djuara P Lubis


(9)


(10)

Bersyukur pada kuasaNya, bahwa kegiatan riset dan penulisan disertasi ini akhirnya dapat dirampungkan, setelah mengalami beberapa kali penundaan yang terpaksa sengaja diambil, lebih karena dorongan dan dilema “opportunity lost” di luar sana. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa penundaan akan berimplikasi pada percepatan penyelesaian masa sekolah doktoral penulis – mendekati pagar maksimalnya.

Disertasi ini memuat hasil riset kualitatif – melalui pendekaan diskursus, yang coba menghimpun pengetahuan empiris terkait kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di luar Jawa. Akumulasi pengetahuan ini menguatkan penulis untuk menawarkan kesimpulan, bahwa memang ada persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan yang terindikasi merupakan produk hegemoni kekuasaan selama ini. Apapun capaian kinerja usaha kehutanan sejauh ini menjadi bagian yang tidak lepas dari persoalan ini. Tawaran kesimpulan itu tidak berhenti disini, karena proses menghegemoni kerangka pikir itu ternyata juga tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun yang relatif lama, setidaknya dalam penggalan sebelum dan setelah 1998. Dari tawaran kesimpulan inilah dalam disertasi ini pula penulis menawarkan sejumlah rekomendasi yang menurut ukuran penulis cukup operasional dengan latar konsepsi dan argumentasi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Perhatian, kesabaran dan pengertian yang penuh dari ketiga pembimbing, yakni Prof Hariadi Kartodihardjo, Dr Sudarsono Soedomo dan Prof Dudung Darusman, merupakan kemewahan yang luar biasa dalam bantu proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada mereka penulis berterimakasih dan berutang budi, sehinga terimakasih saja rasanya sangat jauh dari cukup. Kemewahan juga diperoleh dari dan karenanya penulis berterimakasih kepada para penguji luar komisi, Dr Soeryo Adiwibowo, Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Djuara P Lubis dan Dr Iman Santoso yang telah turut memperkaya dan menggenapkan keyakinan penulis atas substansi disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan pula kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada istri dan anak-anak, Eti, Ziza, Afid dan Isal special big thanks to you all for your best supports ever!

Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat dan memiliki kontribusi dalam proses pembaruan kebijakan usaha kehutanan khususnya dan pembangunan kehutanan umumnya. Layaknya hasil riset, disertasi ini dengan segala keterbatasannnya di sana sini, tetap terbuka untuk masukan konstruktif dari siapapun.

Bogor, Desember 2011 Azis Khan


(11)

Lahir di Lampung 12 Agustus 1960 dari pasangan Dailami Sutan Nasir (alm) dan Widaningsih, penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara. Menyelesaikan Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB pada 1985. Lalu, atas dukungan Bank Dunia menyelesaikan Master bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Department of Forestry and Natural Resources, School of Agriculture, Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat pada 1995. Pendidikan doktoral pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana IPB ditempuh mulai Agustus 2006 atas biaya sendiri.

Setelah mengundurkan diri dan keluar dengan hormat sebagai peneliti pada Pusat Litbang Sosek Departemen Kehutanan pada 1999, selanjutnya bekerja sebagai konsultan sumberdaya alam dan lingkungan pada Natural Resource Management Program yang didanai USAID Jakarta sampai 2004. Terakhir (2005) tercatat sebagai konsultan lepas untuk isu-isu terkait kebijakan, ekonomi dan tata kelola lingkup pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada Bank Dunia, antara lain bertanggung jawab mengkoordinasikan Analyzing Pathway to Sustainability in Indonesia (APSI) Project, sebuah riset kolaborasi antara AUSAID, CSIRO, ANU (Australia) dengan Bappenas dan sektoral teknis terkait (Indonesia). Sebagai konsultan lepas, bekerja juga dengan beberapa lembaga dan konsultan kehutanan dan sumberdaya alam yang berbasis di luar, seperti AGRECO GEIE (Belgia), ITAD (Inggris) dan NEDWORC (Belanda), ENVIRO (Singapore), serta URS (Australia). Kerja serupa juga dijalin dengan ornop lingkungan Indonesia (WWF Indonesia, The Nature Concervancy, Latin dan Kehati).

Menikah dengan Dr Eti Rohaeti pada 1987 dikaruniai Nur Aziza Azis S.Komp (alumni IPB), Haidar Rafid Azis (Mahasiswa Unpad) dan Faishal Tahsiin Azis (Siswa SMP N 4 Bogor).


(12)

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Konteks Penelitian ... 6

C. Fokus: Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

E. Outline Disertasi ... 10

F. Ringkasan ... 11

II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI... 13

A. Pendahuluan ... 13

B. Kebijakan dan Analisis Diskursus ... 13

1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian ... 13

2. Bentuk Analisis Kebijakan ... 15

3. Diskursus dan Narasi Kebijakan ... 17

4. Diskursus dan Bahasa ... 19

5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir ... 20

C. Diskursus Kelestarian ... 22

1. Akar Diskursus ... 22

2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) ... 25

3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari ... 28

4. Kondisi Pemungkin Bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik ... 34

D. Metodologi ... 35

1. Kerangka Pendekatan ... 35

2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara dan online polling... 38

3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus ... 41

E. Limitasi dan Validasi ... 45

F. Ringkasan ... 48

III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA ... 51

A. Pendahuluan ... 51

B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia ... 52

1. Kondisi Hutan Alam ... 52

2. Pembalakan/Penebangan Liar ... 55

3. Multidimensi Konflik ... 59

4. Deforestasi ... 61

5. HPH/IUPHHK HA ... 63

6. Produksi ... 65

7. Kontribusi Kehutanan pada Perekonomian ... 70

C. Kesenjangan Tujuan dan Kenyataan ... 72


(13)

D. Kebijakan Usaha Kehutanan ... 79

1. Kebijakan Usaha Kehutanan sebelum 1998 ... 79

2. Kebijakan Usaha Kehutanan setelah 1998 ... 81

3. Tonggak Kunci Kebijakan dan implementasi ... 84

E. Ringkasan ... 85

IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR ... 87

A. Pendahuluan ... 89

B. Ikhtisar Kebijakan ... 90

1. Substansi ... 90

2. Proses ... 101

3. Fenomena: Sintesis Kencenderungan ... 105

C. Peta Kerangka Pikir ... 118

1. Keseimbangan Dimensi Organisasi ... 118

2. Kuadran Alvesson-Karreman ... 120

3. The Forest First vs The Forest Second ... 122

D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir ... 123

1. Posisi Atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa ... 123

2. Pandangan Atas Usaha Kehutanan ... 129

3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari ... 138

4. Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan ... 146

E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan ... 157

1. Makna lepas dari Diskursus ... 157

2. Tidak mengubah Perilaku ... 160

3. Teks lepas dari Interaksi Sosial ... 162

4. Perubahan Orientasi tidak nyata ... 167

F. Ringkasan ... 168

V. IMPLIKASI PENTING ... 173

A. Pendahuluan ... 173

B. Kebijakan: Perlu Pelurusan Kerangka Pikir ... 173

B. Tataran Praktis Operasional: Substansi dan Proses ... 176

C. Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan, dan politik ekonomi ... 180

D. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian ... 185

E. Ringkasan ... 187

VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN ... 191

A. Ringkasan Temuan ... 191

B. Kesimpulan ... 194

C. Saran ... 196

DAFTAR PUSTAKA ... 199

LAMPIRAN ... 201


(14)

Halaman

1. Bahan Empiris yang Digunakan dalam Analisis ... 39

2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling... 40

3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai ... 41

4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) ... 45

5 Peta Jalan (Road Map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan ... 46

6 Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara ... 47

7. Luas dan Sebaran Hutan Produksi 2009 (dirinci per Provinsi) ... 54

8. Dugaan Tingkat Illegal Logging di beberapa Negara di Dunia ... 56

9. Frekwensi Konflik Kehutanan per Provinsi (1997-2003) ... 60

10. Besar dan Laju Deforestasi dari Tujuh Pulau Utama Indonesia ... 62

11. Jumlah IUPHHK Aktif (sampai Mei 2010) ... 64

12. Jumlah dan Rataan Investasi IUPHHK 2005-2009 ... 66

13. Produksi Kayu berdasar Sumber Pasokan (%) ... 68

14. Volume dan Nilai Ekspor Produk Kayu Olahan (2008) ... 69

15. Volume dan Nilai Impor Produk Kayu (2008) ... 69

16 Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja ... 78

17 Domain Substansi yang diatur UU 5/67 dan UU 41/99... 83

18 Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan ... 84

19. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (sebelum 1998) ... 94

20. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (setelah 1998) ... 99

21. Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha ... 101


(15)

23. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan

Alvesson Kareman (2000) ... 121

24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak ... 127

25. Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak ... 136

26. Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak ... 144

27. Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak... 154

28 Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan ... 162

29. Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: 2009-2010) ... 178

30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga ... 182


(16)

Halaman

1. Proses Pembuatan Kebijakan Model Linear (Sutton, 1999) ... 16

2. Kerangka Pendekatan ... 38

3. Prosedur Analisis Diskursus ... 42

4. Proses konstruksi Kebijakan (Brikland, 2001) ... 44

5. Kondisi Hutan Alam Produksi 2005 ... 53

6. Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia 2003-2006 ... 57

7. Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal ... 58

8. Frekwensi Konflik per Tahun (1997-2003) ... 60

9. Perkembangan Unit dan Luas Konsesi IUPHHK HA dalam Dua Dekade Terakhir (1990-2010) ... 64

10. Sebaran IUPHHK Aktif (per May 2010) ... 65

11. Jatah Tebang Tahunan 2006-2008 ... 67

12. Produksi Kayu Bulat Nasional dari HA dan HT (2005-2009)... 68

13. Persen Kontribusi Kehutanan terhadap PDB ... 71

14. Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadran Alvesson-Karreman (2000)... 122

15. Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan ... 129

16. Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan ... 137

17. Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan ... 138

18. Paradoks kelestarian sebagai barang publik ... 145

19. Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan ... 156

20 Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro-Program ... 163

21 Tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan ... 174


(17)

23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris ... 183


(18)

1. Sintesis Kerangka Teoretik Kelestarian SDH ... 207

2. Panduan Wawancara ... 209

3. Screen-shot On-line Polling – Kebijakan Usaha Kehutanan ... 211

4. Kata Kunci dalam Dimensi Organisasi (Bolman and Deal) ... 213

5. Relasi Narasi, Diskursus dan Kecenderungan Kerangka Pikir ... 215

6. Contoh Analisis Isi – Kasus UUPK 5/67 ... 217

7. Contoh Hasil Analisis Narasi – Representasi Mana Kelestarian ... 221

8 Lintasan Sejarah terkait Usaha Kehutanan Indonesia ... 233

9. Analisis Narasi menurut hirarki perundangan (UU, PP dan lainnya) ... 239

10. Karakteristik Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi (sebelum dan sesudah 1998) ... 253

11. Intisari Makna Kelestarian ... 257

12. Kompilasi dan Sintesis Hasil Wawancara ... 259

13. Kompilasi dan Síntesis Hasil Internet On-line Polling ... 275

14. Gambaran Keseimbangan Hak dan Kewajiban Para Pemegang Hak Usaha Kehutanan ... 287

15. Contoh Transkrip Wawancara ... 289


(19)

A. Latar Belakang

Dua puluh tahun lalu, Sfeir-Younis (1991) telah menganalisis panjang lebar aspek ekonomi kelestarian pembangunan kehutanan yang didalamnya dicakup aspek usaha kehutanan. Ia menyinggung dua pendekatan pokok – sebagai kerangka pemikiran atau paradigma – yang berbeda dibalik rancangan program dan kebijakan pembangunan kehutanan1. Pendekatan pertama, paradigma ”the forest first”, yang dianggapnya sebagai paling tradisional, menempatkan sistem alami hutan sebagai faktor utama. Hutan dipahami sebagai ekosistem yang fungsinya tergantung terutama kepada sifat alaminya, kondisi lingkungan, dan sifat-sifat dari hubungan-hubungan sistem alam yang terlibat. Untuk mencapai kelestarian, praktek-praktek pengelolaan, tingkat laju pemanfaatan, dan upaya konservasi harus didefinisikan secara khusus, kedalam aturan kerja (working rules). Setiap penyimpangan dari sifat-sifat itu (yakni: hukum alam) menyebabkan berbagai kerusakan hutan yang hebat. Beberapa dari kerusakan itu bahkan tidak dapat balik (irreversible).

Pencapaian kelestarian dalam pendekatan ini direduksi menjadi sekedar mengikuti serangkaian “aturan kerja” terkait sifat-sifat dan cakupan pemanfaatan dan konservasi hutan. Aturan kerja ini didefinisikan sebatas pengetahuan ilmiah tertentu berbasis sumberdaya hutan, termasuk kapasitasnya untuk tumbuh kembali, laju pertumbutuhan dan laju pembusukan dari berbagai pohon dan vegetasi, interaksi dari spesies tanaman yang terlibat, dan sejenisnya. Karenanya, kelestarian pembangunan kehutanan akan tergantung kepada kemampuan masyarakat dalam mematuhi berbagai aturan kerja itu. Aturan-aturan kerja itu melekat dalam resep-resep kebijakan yang secara khusus diterjemahkan kedalam aturan pengelolaan optimal, atau laju maksimum pemanfaatan sumberdaya hutan, misal berupa ”jatah tebang tahunan maksimum yang dibolehkan”

1

Diakui Sfeir-Younis (1991) ada sekitar 600an kegiatan sektor dalam perekonomian termasuk di dalamnya 80an proyek- proyek pembangunan kehutanan yang berhasil dianalisis kinerjanya.


(20)

(annual allowable cut), ”kelestarian hasil” (sustainable yield), dan sebagainya. Perdebatan tentang kelestarian karenanya disebutkan hanya berputar di seputar legitimasi berbagai aturan kerja itu, yang sering dikaitkan dengan kualitas informasi (ilmiah atau tidak), data tentang sumberdaya (akurat atau tidak), dan cara mencapai aturan kerja itu (efisien atau tidak).

Dengan pendekatan demikian, pembangunan kehutanan dinilai bersifat monolitik: setiap aspek lain dari proses pembangunan kehutanan adalah eksogen (exogenous). Hal ini merepresentasikan hal negatif, berupa gangguan atas berjalannya hukum alam2. Masyarakat tercakup bagian dari gangguan itu. Penerjemahan pendekatan ini kedalam pembangunan ekonomi berupa pembuatan bagian-bagian (departemen) kehutanan yang kuat, dilengkapi perangkat dengan baik, dengan tenaga terlatih (tahu aturan-aturan kerja itu), dan siap menegakkan aturan kerja itu (kadang-kadang menggunakan kekuatan militer). Di banyak negara berkembang, departemen-departemen kehutanan tradisional secara harfiah bahkan berfungsi sebagai militer: melindungi hutan (menghindari penyimpangan aturan kerja), menyiapkan instrument pemanenan hutan menurut aturan kerja itu (rancangan konsesi), melakukan penelitian dan survey sumberdaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang legitimasi aturan kerja dan tanpa kecuali melaksanakan program dan proyek pembangunan. Dari pandangan kelembagaan, berbagai bagian (departemen) ini merupakan ”grand regulators” dari sistem, dan arbitrase tentang alam, pemanfaatan dan konservasi hutan hanya terjadi melalui mekanisme internal yang melekat pada bagian-bagian (departemen) itu. Pasar, harga dan insentif secara umum diposisikan sebagai eksternal (exogenous) terhadap sistem.

Titik terlemah dalam pendekatan ini disebut kurangnya pengetahuan. Jadi, masalah muncul saat legitimasi dari aturan kerja yang diadvokasi, tentang kelestarian misalnya, dipertanyakan. Sementara,

2

Hal ini dilatari keyakinan Sfeir-Younis (1991), bahwa dalam paradigma ini kelestarian tergantung seberapa dekat hukum alam diikuti/dipatuhi dalam eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan.


(21)

begitu banyak ekosistem hutan yang kompleks dimana tidak ada konsensus tentang bagaimana mencapai kelestarian. Dibutuhkan jauh lebih banyak lagi aturan kerja dan penelitian sebelum berbagai aturan kerja dibuat untuk melestarikan pembangunan kehutanan.

Pendekatan kedua, paradigma ”the forest second”, secara eksplisit mengenali peran yang dimainkan manusia dan sistem sosial ekonomi, sebagai bentuk lain dari modal, dalam mencapai kelestarian. Ini semua yang diposisikan ”eksogen” oleh paradigma pertama. Dalam paradigma kedua ini sistem politik dan sosial ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang hakiki (intrinsic) dan penting bagi pembangunan kehutanan lestari. Disebutkan, bahwa berdasar pengalaman, tidak mungkin mencapai kelestarian dalam pembangunan kehutanan tanpa partisipasi nyata dari komunitas dan masyarakat pada umumnya. Ini berlaku tidak hanya kepada pengelolaan dan pemanfaatan hutan, tetapi juga kepada semua bagian suatu program kehutanan. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai diluar (exogen) dari berbagai anggapan pembangunan kehutanan, kini menjadi penting untuk diterjemahkan dan diimplementasikan dalam paradigma kedua.

Dalam pendekatan kedua ini, modal manusia (human capital) dinilai sebagai objek dan modal alam (natural capital) sebagai subjek dari pembangunan kehutanan. Ini semacam penekanan, bahwa praktis tidaklah mungkin memahami apapun kegiatan kehutanan sekarang tanpa partisipasi semua para pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries). Disebutkan, bahwa kelestarian bukan lagi sekedar penciptaan keseimbangan diantara alam dan lawas hutan (yakni modal alam) dimaksud. Pencapaian pembangunan hutan lestari mensyaratkan keseimbangan semua bentuk modal yang terlibat dalam proses: fisik, finansial, manusia, alam, kelembagaan dan bahkan budaya.

Dalam pendekatan ini pula, ditunjukkan setidaknya ada dua tatanan aturan kerja untuk dioptimalkan: berkaitan dengan sistem alam dan sistem manusia. Tatanan aturan kerja terkait sistem manusia dinilai baru bagi para ahli ilmu alam dan (pembangunan kehutanan) karenanya memerlukan ahli


(22)

ilmu sosial. Menjadi dilema penting adalah hadirnya satu mekanisme yang dapat memecahkan konflik (bila ada) antara dua tatanan aturan kerja tadi. Konflik yang terkenal adalah bahwa saat orang memanen lebih banyak pohon dari yang seharusnya diatur oleh aturan kerja dari paradigma pertama. Banyak alasan mengapa konflik ini muncul, antara lain dicontohkan karena insentif pasar, perambahan (encroachment) dan konflik pemanfaatan lahan serta property rights. Untuk memecahkan konflik ini diusulkan beberapa mekanisme: (a) kembali kepada paradigma pertama dan biarkan negara sebagai ”grand regulator” – pendekatan penegakan hukum; (b) gunakan mekanisme pasar yang diasumsikan mencerminkan kekuatan preferensi dan daya beli individu, dan (c) terima mekanisme kelembagaan berdasarkan hak-hak yang ada dan aturan kerja berbasis komunitas.

Semua mekanisme yang disebutkan di atas bermasalah dengan berbagai keterbatasan yang serius. Pengalaman pembangunan sejauh ini dinilai cukup baik dan menyeluruh untuk merefleksikan secara serius berbagai keterbatasan kelembagaan dari paradigma kedua. Penempatan pasar sebagai mekanisme kelembagaan untuk memecahkan konflik antara dua tatanan aturan kerja terbukti tidak efisien dan, dalam banyak kasus, tidak diterima secara sosial. Sementara, kumpulan preferensi dan daya beli individu jarang menghasilkan aturan kerja yang secara sosial optimal. Hal ini dikaitkan dengan contoh yang dikenal sebagai ”tragedy of the common”, dimana diakhir persaingan individu menghancurkan sumberdaya alam bersama karena berbagai sinyal pasar tidak mengindikasikan pereferensi sosial3. Solusinya kemudian, disarankan untuk (a) memanfaatkan pasar sebagai mekanisme mengatasi konflik, sementara saat yang sama menetapkan hak-hak private atas hutan; dan bila mekanisme pasar tidak diterima, maka alternatifnya (b) penciptaan satu mekanisme konsensus yang dapat menghasilkan aturan kerja yang

3

Disebutkan, bahwa para ekonom sering merujuk kepada fenomena ini sebagai “eksternalitas” atau “kegagalan pasar” yang dalam kasus sumberdaya alam milik bersama – tidaklah selalu dapat diperlakukan dalam cara yang memuaskan.


(23)

optimal: memberi masyarakat kekuatan untuk memutuskan aturan kerja yang mana yang paling diterima.

Sampai disini, analisis Sfeir-Younis (1991) menegaskan, bahwa masing-masing kerangka pemikiran memiliki keterbatasan dan kendala yang pada dasarnya melahirkan tantangan baru untuk pembangunan kehutanan kedepan. Tanpa mendikotomikan secara kaku, kerangka pemikiran pertama digambarkan – bila dianut, akan berakhir dengan kerusakan hutan yang hebat dan bahkan tidak dapat balik (irreversible), terutama bila upaya penegakan aturan kerjanya lemah. Gambaran ini sekaligus membuka rujukan, bahwa kerangka pemikiran kedua menjadi pilihan walau tetap dengan keterbatasan yang penuh tantangan.

Bahwa kecenderungan manusia lebih menganut kerangka pemikiran pertama, ”the forest first”, daripada ”the forest second” menjadi perhatian dan keprihatinan Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt)4. Dengan keprihatinan itu, keduanya menekankan perlunya menyeimbangkan keseluruhan bentuk modal dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam mencapai dan bahkan dalam mendefinisikan kelestarian hutan yang tidak lain adalah esensi dari kerangka pemikiran kedua, ”the forest second”, yang ditawarkan Sfeir-Younis. Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menegaskan hal senada, bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Gluck (1987) bahkan lebih tegas lagi, bahwa sejarah kehutanan diwarnai serangkaian kesemberonoan penanganan hutan, sehingga melahirkan empat doktrin yang secara ideologis identik dengan “the forest first” yang dipandang tidak lagi cocok dengan kekinian dunia kehutanan5.

Akumulasi pengetahuan di atas bila dikaitkan dengan kinerja pembangunan kehutanan Indonesia sampai saat ini mengundang

4

Dalam bahasa mereka aliran pemikiran “the forest second” lebih menekankan perlu masuknya

dimensi kemanusiaan bahkan sampai tingat global pada pendefinisian kelestarian. Lihat “diskursus kelestarian” pada Bab 3.

5


(24)

pertanyaan, kebijakan pembangunan kehutanan Indonesia sejauh ini menggunakan atau menganut aliran kerangka pemikiran yang mana dan seperti apa? Lalu, apa implikasinya bagi pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan kedepan? Apakah, dengan demikian, persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan?

kebijakan usaha an – fokus.. B. Konteks Penelitian

Hutan alam produksi Indonesia di Luar Jawa telah dikelola, diusahakan dan dieksploitasi, cukup lama, bahkan sejak zaman penjajahan. Periode 1967-1997 dapat merupakan kurun eksploitasi komersial secara besar-besaran. Dalam kurun itu, hutan alam produksi di Luar Jawa diusahakan dalam bentuk entitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), terutama setelah keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang kemudian disusul dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 22/1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan IHH). Kedua produk perundangan ini merupakan tonggak awal dari sejarah eksploitasi hutan, khususnya pada periode kemerdekaan. Alasan utama keluarnya kebijakan usaha kehutanan waktu itu lebih karena kebutuhan modal yang begitu besar untuk mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan nasional dan hutan dipandang sebagai sumberdaya alam yang relatif mudah cair (liquid). Investasi di sektor kehutanan mengarus deras dalam kurun ini, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU-PMA) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Arus investasi ini diikuti pula dengan semakin bergairahnya arus investasi di dalam negeri menyusul diterbitkannya Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri (UU-PMDN) UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya, pada 1970 diterbitkan pula dua peraturan pemerintah yang tergolong penentu kinerja usaha kehutanan selanjutnya, yakni PP No. 21/1970 tentang HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan PP No. 33/1970 tentang Perencanaan Hutan.


(25)

Usaha kehutanan melalui HPH mengalami ”booming” pada awal 1980an. Tercatat ada sekitar 600an unit HPH beroperasi dengan luas rataan dari puluhan ribu hektar sampai jutaan hektar per unit usaha. Pada periode inilah para pemegang HPH memperoleh hasil finansial yang nyata, terutama melalui ekspor kayu bulat. Sementara, pemerintah memperoleh pendapatan, terutama dari iuran (HPH dan HPHH), Dana Jaminan Reboisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan bertumbuhnya berbagai industri kehutanan dalam negeri berbasis kayu dari hulu (log) hingga ke hilir (pengolahan kayu). Pada periode ini pula sektor kehutanan menjadi tulang punggung pemerintah dalam penyediaan dana bagi pembangunan. Pada periode inilah sektor kehutanan mencapai peringkat kedua terbesar kontribusinya dalam perekononomian nasional, setelah minyak dan gas.

Dalam periode-periode selanjutnya berbagai capaian di atas mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun baik dalam hal jumlah unit dan luasan HPH maupun skala kontribusi dan peran sektor kehutanan pada perekonomian nasional. Dalam periode lanjutan ini, termasuk dalam era otonomi daerah, berbagai penurunan tersebut bertali-temali dengan fenomena deforestasi dan degradasi hutan alam. Hal ini berimplikasi luas, termasuk atas merosotnya lebih lanjut peran sosial-ekonomi dan lingkungan dari sumberdaya hutan dan akhirnya berujung pada penilaian tidak lestarinya hutan alam itu sendiri. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun ini seolah lepas dari adanya sejumlah proses pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk diterbitkannya UU No. 41/1999 (dan turunannya) sebagai pengganti UUPK No. 5/1967.

Implikasi ketidak-lestarian hutan alam di atas mengundang beberapa pertanyaan terutama seputar apa, mengapa dan bagaimana sampai hutan alam produksi akhirnya berada pada jalur tidak lestari. Tiga pertanyaan ini penting mengingat landasan penetapan kebijakan usaha kehutanan baik di tingkat UU maupun produk turunannya, khususnya berupa PP, yang justru menempatkan kelestarian sebagai syarat dan bahkan pembatas (constraint) dalam memosisikan hutan alam sebagaimana selalu tercantum dalam diktum konsideran di hampir


(26)

berbagai produk UU dan turunannya itu. Bila dikaitkan dengan hasil analisis Sfeir-Younis (1991) sebagaimana dijabarkan pada latar belakang, maka pertanyaan ini mengerucut pada pertanyaan kritis: apakah fenomena ketidak-lestarian di atas adalah bukti bahwa kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dibangun menggunakan aliran kerangka pemikiran ”the forest first”? Lalu, apa makna dan implikasinya bagi pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan? Apakah persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan kebijakan usaha kehutanan?

C. Fokus: Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan kritis di atas ditarik sebagai pertimbangan awal penelitian ini untuk berfokus pada kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di Luar Jawa. Dalam bahasa sederhana, mempertanyakan aliran kerangka pemikiran dibalik sebuah kebijakan pada dasarnya identik dengan mempertanyakan diskursus seperti apa yang sesungguhnya telah berkembang baik dalam bentuk teks perundangan maupun percakapan dan interaksi sosial para pihak pemangku kepentingan kehutanan di sebalik proses konstruksi kebijakan itu. Meminjam salah satu ide Foucault dalam Arts and Buizer (2009) maka memahami diskursus identik dengan memahami relasi kekuasaan dan bahkan dinamika proses-proses politik.

Dalam bahasa Springate-Baginski dan Soussan (2002) pertanyaan sederhana di atas pada dasarnya adalah upaya untuk memahami (a) proses bagaimana kebijakan dikembangkan dan diterapkan, (b) tujuan-tujuan dan motif dibalik kebijakan – seberapa ia masuk dalam mendekati usaha kehutanan dan/atau fokus pada kelestarian, (c) pengaruh kebijakan atas pencapaian tujuan usaha kehutanan lestari, dan (d) ruang intervensi dalam memengaruhi proses konstruksi maupun implementasi kebijakan.

Dalam rumusan Sutton (1999) dan Arts and Buizer (2009) serangkaian upaya memahami berbagai hal di atas tergolong dalam telaah


(27)

kebijakan dengan pendekatan teori antropologi6. Pendekataan demikian fokus pada narasi kebijakan (policy narrative) dan diskursus (discource), terkait fenomena yang sedang (hangat) dibicarakan yang seringkali justru menjadi hambatan dalam melakukan agenda pembaruan kebijakan.

Dengan berfokus pada pendekatan analisis diskursus sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan penelitian yang coba ingin dijawab penelitian ini adalah: (a) dapatkah fenomena ketidak lestarian usaha kehutanan menguatkan penilaian bahwa aliran kerangka pikir di balik kebijakan usaha kehutanan sejauh ini adalah memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama atau ”the forest first”? (b) Seperti apa wujud atau peta diskursus yang menguatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan apa implikasinya? Adakah kecenderungan pergeseran atau bahkan perubahan aliran kerangka pikir?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan uraian mengenai konteks, fokus dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan untuk memahami aliran kerangka pemikiran di sebaliknya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (a) mengindentifikasi dan menetapkan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dari bahan empiris yang ada, (b) melakukan analisis diskursus yang mencakup isi (content analysis) dan narasi (narrative) serta analisis kesenjangan (gap analysis) atas berbagai kebijakan itu, (c) membaca, memetakan, dan menarik alur kerangka pikir baik dari teks perundangan maupun teks yang dibangkitkan dari komunikasi, kerangka pemahaman, maupun praktek sosial, yang diduga berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, dan (d) melakukan sintesis kerangka teoritik dan konsep kelestarian hutan dan usaha kehutanan sebagai penakar kunci dalam melakukan keseluruhan analisis.

6

Pendekatan teoritis lain dalam rumusan Sutton (1999) adalah pendekatan sosiologi politik, pendekatan hubungan internasional dan pendekatan manajemen. Sementara Arts and Buizer (2009) menegaskan bahwa teori diskursus itu merupakan cabang dari analisis kebijakan.


(28)

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat (a) sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya pembaruan aliran kerangka pikir – agar pemahaman pengetahuan berfokus tidak saja pada teks peraturan perundangan, tetapi juga pada komunikasi dan interaksi sosial dimana kebijakan itu direspon dan diimplementasikan, (b) menambah jumlah dan memperkaya khasanah penelitian kebijakan usaha kehutanan, khususnya dengan menggunakan analisis diskursus sebagai pendekatan, dan (c) memosisikan pentingnya perbaikan kerangka pikir yang mendasari diskursus yang berkembang di balik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan.

E. Outline Disertasi

Penulisan disertasi ini disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Setelah mengemukakan konteks dan latar belakang, menetapkan fokus atau pertanyaan penelitian, menjelaskan maksud dan tujuan serta menggambarkan kemanfaatan penelitian kualitatif ini (BAB I), dilanjut dengan menjabarkan konsep dan teori yang digunakan; mencakup kebijakan, analisis kebijakan, diskursus, hubungan diskursus dengan narasi kebijakan, hubungan diskursus dengan bahasa, hubungan diskursus dengan kerangka pikir dan dilanjut kemudian dengan diskursus kelestarian; yang dari berbagai konsep dan teori ini ditetapkan metodologi penelitian yang mencakup kerangka pendekatan, bahan empiris yang digunakan, dan penetapan prosedur analisis diskursus (BAB II). Potret atau snapshot situasi kondisi dan kinerja usaha kehutanan dan kesenjangannya dengan kenyataan serta informasi kebijakan usaha kehutanan itu sendiri disajikan pada BAB III. Selanjutnya disajikan kecenderungan kerangka pikir yang disintesa dari diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan; kerangka pemikiran ini kemudian dipetakan, sebelum membahas kontestasi persepsi para pihak yang dibangkitkan dari hasil wawancara mendalam dan internet online polling, sebelum akhirnya menakar kualitas kebijakan usaha kehutanan (BAB IV). Dari hasil tersebut dibahas berbagai implikasi pembaruan baik


(29)

dari sisi kebijakan, praktis-operasional, kualitas diskursus dan metodologis (BAB V). Intisari hasil, kesimpulan dan rekomendasi ditawarkan pada BAB VI. Untuk memudahkan penulisan intisari ini, di setiap Bab telah disiapkan pula ringkasan.

F. Ringkasan

Dua kerangka pemikiran yang pernah melandasi berbagai kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan dunia disebutkan Sfeir-Younis (1991), sebagai the forest first (FF) dan the forest second (FS). Dari telaahnya, FF telah menyebabkan kerusakan hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible), terlebih saat aturan kerja yang sangat bio-centris tidak berhasil ditegakkan. Sementara, ada fakta empiris menunjukkan bahwa kinerja usaha kehutanan kita, Indonesia, sejauh ini sangat rendah ditandai antara lain dengan merosotnya peran ekonomi, sosial dan lingkungan sumberdaya hutan alam produksi menyusul berbagai kerusakan hutan dan lahan dengan laju dan magnitude yang relatif tinggi. Mengaitkan dua pengetahuan empiris ini telah mengundang pertanyaan: apakah kebijakan usaha kehutanan kita selama ini dilandasi sepenuhnya dengan aliran FF?.

Pertanyaan itu menjadi fokus atau pertanyaan penelitian ini. Pertanyaan itu identik dengan mempertanyakan diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan, khususnya hutan alam produksi di Luar Jawa. Diskursus dimaksud mencakup baik yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan maupun hasil percakapan dan interaksi sosial para pemangku kepentingan usaha kehutanan. Melalui analisis diskursus itu pertanyaan penelitian ini coba dijawab.

Dengan tujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan, melalui penelitian ini diharapkan dapat dipahami aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan itu yang sekaligus menjawab pertanyan penelitian di atas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain


(30)

sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya bagi ihktiar pelurusan kerangka pikir.


(31)

A. Pendahuluan

Diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengonstruksi realitas sosial dalam sebuah konteks tertentu – dalam hal ini kebijakan usaha kehutanan lestari. Pada saat situasi hutan dipandang tidak lestari – yang indikasinya begitu kuat muncul dalam diskursus seputar deforestasi dan degradasi hutan, maka pertaruhan mengarah pada substansi dan proses konstruksi kebijakan serta interaksi sosial yang telah terjadi, sekaligus aliran pemikiran yang dominan disebaliknya. Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan serta tali temalinya dengan ”kualitas” kebijakan dan kinerja usaha kehutanan itu sendiri coba dipahami dan dianalisis dalam penelitian ini dengan berpegang pada konsep dan teori sebagaimana dijabarkan dalam beberapa sub-bab berikut ini. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengeksplorasi diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi di Luar Jawa. Esensi penelitian ini, antara lain menggali dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan usaha kehutanan yang telah ada (ex-post). Kecenderungan diskursus para pemangku kepentingan usaha kehutanan dieksplorasi melalui pendekatan analisis kebijakan, khususnya pendekatan antropologi yang fokus pada narasi kebijakan dan diskursus. Dari serangkaian kecenderungan narasi kebijakan dan diskursus dapat sekaligus diamati kecenderungan aliran pemikiran para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses konstruksi kebijakan.

B. Kebijakan dan Analisis Diskursus 1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian

Dalam IDS (2002) digambarkan betapa kata ”kebijakan” yang dikenal begitu saja secara luas ternyata tidak mudah untuk dikenali. Layaknya atas keberadaan seekor gajah, kita tahu saat melihatnya dan tidaklah mudah bagaimana kemudian mendefinisikannya. Digambarkan pula, dengan sederet testimoni, bahwa seorang pembuat kebijakan sekalipun tidak serta merta


(32)

menjadi kemudian mudah untuk memahami dan mendefinisikan kata ”kebijakan”. Observasi IDS (2002) ini berkaitan secara kuat dan lekat dengan sebuah perkembangan kerangka kerja terkait proses kebijakan. Kerja observasi ini antara lain menemukan adanya hubungan teori antara ilmu pengetahuan (science), keahlian (expertise) dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan jaringan aktor. Hal disebut terakhir ini memberikan pemahaman bahwa ”kebijakan” adalah proses jalin-menjalinnya dan interkoneksi berbagai hal tadi. Ini setara dengan landasan Sfeir-Younis (1991) saat menawarkan kerangka pemikiran keduanya ”the forest second”.

Dalam pemahaman Dunn (2000) analisis kebijakan dipandang sebagai aktivitas intelektual menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini dicapai melalui analisis sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program. Penekanan pada unsur ”tentang” dan ”dalam” mengandung pengertian terkait penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan sendiri dipahami Dunn (2000) sebagai kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel) ketimbang kepastian. Dalam pemahaman demikian probabilitas statistik, misalnya, diposisikan Dunn sebagai pendukung dalam menegakan klaim pengetahuan yang plausibel.

Masih menurut Dunn (2000), analisis kebijakan mengombinasikan dan meneransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin (sosial, politik, dll), dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. Tujuan analisis kebijakan melebar melampaui produksi ”fakta”, yakni memproduksi juga informasi mengenai nilai dan serangkaian tindakan yang dipilih. Dengan begitu, analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan. Sebagai ilmu terapan, analisis kebijakan diposisikan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan terkait nilai, fakta dan tindakan tadi. Nilai, berkaitan dengan pertanyaan apakah pencapaiannya merupakan tolok ukur utama dalam melihat apakah masalah telah teratasi. Fakta, apakah keberadaannya dapat mengatasi dan meningkatkan pencapaian nilai-nilai.


(33)

Sementara tindakan, apakah penerapannya menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Untuk menghasilkan itu semua, Dunn (2000) mengenalkan tiga pendekatan, yakni: empiris, valuatif dan normatif yang dapat digunakan salah satu, dua atau seluruhnya. Pendekatan empiris, fokus pada penjelasan sebab-akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pertanyaannya bersifat faktual (= apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskripsi. Pendekatan valuatif menekankan pada penentuan bobot kebijakan. Pertanyaannya berkaitan dengan nilai (= Berapa?) dan tipe informasi yang diperoleh bersifat valuasi. Pendekatan normatif fokus pada rekomendasi serangkaian tindakan di masa depan yang dapat menyelesasikan masalah publik. Pertanyaanya, tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskripsi (resep pengobatan). [see THH 671- PSL*.*]

2. Bentuk Analisis Kebijakan

Bentuk-bentuk analisis kebijakan dikelompokkan Dunn (2000) kedalam tiga kelompok besar: retrospektif (Ex-post), prospektif (Ex-ante) dan integratif. Restropektif fokus pada ”apa yang terjadi” dan ”perbedaan” (gap) apa yang dibuat. Prospektif lebih kepada ”apa yang akan terjadi” dan ”apa yang harus dilakukan”. Integratif merupakan kombinasi keduanya yang fokus pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan dieksekusi. Selain itu, Dunn (2000) meyakini analisis retrospektif mengutamakan hasil-hasil aksi, yang dapat menawarkan kerangka baru dalam memahami proses pembuatan kebijakan, memberi tantangan perumusan masalah, membalik berbagai mitos sosial dan bahkan membentuk opini publik.

Sementara itu, Sutton (1999) mengenalkan analisis proses kebijakan dengan sebuah argumen kunci. Dikatakan, bahwa pembuatan kebijakan ”model linier” sekalipun banyak digunakan, tidaklah cukup. Model linear diakui berciri analisis pilihan yang objektif dan adanya pemisahan antara kebijakan dengan implementasi. Sebaliknya, kebijakan dan implementasinya


(34)

merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu, masih menurut Sutton (1999) merupakan hal terbaik atas pemahaman kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan, analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan (management of change) dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan.

”Model linear” disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream, common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu (Gambar 1).

Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear (Sutton, 1999)

Dibalik model linier ini Sutton (1999) beranggapan bahwa para pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses, dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan lainnya, bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali tidak dialamatkan kepada (kualitas) kebijakan itu sendiri, melainkan kepada kegagalan dalam pelaksanaannya (Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999).


(35)

Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam pengamatan Sutton (1999) ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya, bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini Sutton (1999), bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan.

Selanjutnya, Sutton (1999) merinci bahwa dengan pendekatan antropologi, diskursus pembangunan menjadi tema penting. Disitu ”diskursus” diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah, membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain. Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusi-diskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997) melepas cara-cara dimana kebijakan (mengalami) depolitisasi dan derasionalisasi, serta menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai keputusan yang dibuatnya.

3. Diskursus dan Narasi Kebijakan

Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton (1999) menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana


(36)

berbagai alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright (1997), yakni siapa yang memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan melalui penyusunan kerangka acuan (TOR) dengan tidak membolehkan atau mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999), yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”.

Sutton (1999) juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulian/interest tertentu untuk mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik.

Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer (2009) yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaim-klaim paham diskursif-kelembagaan.

Menurut Arts dan Buizer (2009) berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta.


(37)

Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer (2009), yakni (1) diskursus sebagai komunikasi, (2) diskursus sebagai teks, (3) diskursus sebagai kerangka atau ”frame” dan (4) diskursus sebagai praktek-praktek sosial. Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan Arts dan Buizer (2009) dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi. Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial. Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi.

4. Diskursus dan Bahasa

Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton (1999). Hal ini disebut “analisis diskursus” tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda, yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato sebagaimana juga disebutkan Hawitt (2009). Dari sini berkembang pemahaman Sutton (1999) terkait pemberian label atas kelompok-kelompok (the labelling of groups), pengerangkaan isu yang akan diatasi (the framing issue to be tackled), pembuatan solusi-solusi kebijakan (agar) tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan (making policy solutions seem obvious and unquestionable), dan mende-politisasi berbagai keputusan kebijakan (depoliticising policy decisions).

Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan yang membuat secara berulang label-label ”kelompok sasaran”, seperti ”miskin pedesaan”, ”petani” atau ”miskin lahan” yang disebut secara berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan (Wood 1985 dalam Anthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1995). Pelabelan semacam itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan


(1)

289

Lampiran 15. Contoh Transkip Wawancara

Transkrip No. : 13 [BIR]

Tipe : Wawancara

Informan : STR (kesepakatan untuk tidak menyebut nama secara penuh) Waktu : 2 Mei 2011; 09.10-10.15 (Durasi: 65 menit)

Tempat : Kantor Informan di Jakarta

Setelah menjelaskan maksud dan tujuan wawancara, peneliti memulai dengan menggali reflek informan atas hutan alam produksi di Luar Jawa

Luas arealnya, potensi tinggi, tapi tak punya blue print pengelolaan. Tak punya konsep makro yang holistik dan diakui para pihak atau sektor lain. Sementara... intervensi luar sektor cukup tinggi, dan internal sektor bermasalah. Maka... masa depan kehutanan suram, sehingga perlu pembenahan. Untuk pembenahan, kita baru punya UU 41/99 dan PP Ppnya...itu saya kira masih kurang.

Peneliti memancing adanya pendapat bahwa masa depan Indonesia adalah HT, bukan lagi HA, informan menjawab singkat

Setuju saja kalau frame dan targetnya memang menghasilkan kayu dari tanaman cepat tumbuh. Tapi, tidak setuju sepenuhnya, karena HA masih cukup menjanjikan dan memiliki nilai komparatif yang tinggi yang tidak dapat dijumpai di HT...artinya HA masih dapat diandalkan, sejauh resiko dan ketidak pastian bisa ditangani dengan baik serta enabling conditions lainnya bisa dipenuhi.

Saat diangkat suatu situasi sulit, termasuk adanya EBT, tapi usaha kehutanan jalan terus, informan menjelaskan....

Yang dapat tetap jalan terus itu diduga lebih karena mereka terkait dan butuh dengan hal-hal ril terkait kepastian pasok bahan baku, misal untuk bahan baku pulp dan kertas atau untuk HTI karet...yang yang lainnya masih pertanyaan besar, saya tidak mau mengeneralisir. Soal EBT....lihat internal bisnis HPH lah. Ada unsur spekulasi tanah dan jual beli izin di sana. Bagaimanapun itu fakta. Ada yang menyebutnya sebagai land-banking ...ya spekulasi atas tanah dan macem-macem istilahnya di lapangan. Atau kalaupun ada yang betul serius, itu karena memang mereka fokus target pada HTI pulp dan kertas. Investasi terbesar di sana. Dalam situasi seperti itu, EBT bagi mereka bukanlah faktor...

Saat digambarkan adanya fenomena bangkrut dan berkurangnya jumlah HPH Itu lebih karena persoalan governance ya, dan itu tidak hanya terkait pemerintah. Namun memang dari sisi pemerintah sendiri dapat disebut antara lain ia terjebak dengan keinginan untuk selali mengatur, senang sekali mengatur, seolah-olah masalah bisa selesai dengan membuat aturan. Itu yang saya rasakan....sementara L T T In W T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T S S S S S S S S m m m m m m m m m m m m L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k i i in i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i ii i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b P P P P P P P P P P P P P P P b b b b b b S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S c c c c m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m d d S ja Y d p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p sa s s u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u m m m m m m m m m m m m m is is is i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m si si s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S I It I I I I I I I I I I I I N N N N N N N N N N N N N N N N d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m


(2)

di sisi lain, penegakkan dalam pelaksanaan aturan saya akui sangat sangat lemah. You tahu itu lah dilapangan...banyak contohnya.

Peneliti memohon konfirmasi, dengan begitu apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil...

Ya kalau melihat banyaknya indikator yang terus menurun, usaha kehutanan boleh dikatakan gagal atau halusnya kurang berhasil lah. Untuk kembali bangkit, saya kira kita, terutama pemerintah...perlu kembali ke pembenahan policy ....khususnya untuk menata ulang input-output-proses; dan dalam menata itu, bagaimanapun pembenahan atau bahkan menghadirkan kondisi pemungkin menjadi keniscayaan....ya diperlukan begitu.

Peneliti lalu menanyakan akar masalah dan opsi solusi dari informan

Saya melihat besarnya ketidakpastian, sehingga resiko di usaha kehutanan sangat tinggi, bisa jadi salah satu akar masalah. Mana ada orang mau invest pada entitas usaha yang resiko dan ketidakpastiannya tinggi? Betul ngga?. Ini bagaimanapun berkaitan dengan sejarah. Dulu kurun 70an hampir semua pengusaha dan birokrat terlena dan asyik dengan kenyamanan...dengan keenakan, dimana saat itu you tahu sendiri lah hasil kayu melimpah, sementara kendala tidak terpikir sama sekali .... atau sedikit sekali dipikirkan. Sehingga UU 5/67 itu, jelas semangat pelaksanaannya begitu ekstraktif. Jawa dengan PHT nya memiliki manajemen hutan yang lengkap baik unit maupun administrasinya. PHT bisa jadi contoh ya, kalau bicara solusi. Luar Jawa settingnya melulu tebangan, dan unsur pengelolaannya lebih pada administrasi atau tata usaha kayu (TUK), bukan pengelolaan hutan alam secara utuh dan menyeluruh. Jadi instrumen pengelolaan dari sisi pemerintah ya hanya TUK itulah di Luar Jawa. Jadi...KPH yang ada waktu itu ya sebatas menjalankan TUK, dan ada beberapa kasus, dimana KPH itu lintas kabupaten. Lalu...belakangan...KPH dihilangkan pemerintah, antara lain karena alasan adanya fenomena ”bupati penguasa tunggal” yang memaksa KPH untuk mengalah dan rela dihilangkan ... sesaat sebelum Kanwil bubar.

Saat dikonfirmasi apakah kelestarian dan melestarikan hutan alam masuk akal bagi HPH, informan menjawab singkat sekali

Ya masuk akal dong. Tapi ...dalam pelaksanaannya...itu tidak selalu berarti akan dilakukan. Masuk akal tapi tidak dilaksanakan ...ehmm.... ini lebih soal komitmen si pelaku, dalam hal ini si perusahaan ... dan iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung untuk si perusahaan melaksanakan kelestarian hutan konsesinya.

Lalu... kebutuhan siapa kelestarian itu...dan apa makna kelestarian bagi informan...

Pada hakekatnya, kelestarian itu kebutuhan semua pihak, kebutuhan bangsa ini lho. Tapi bahwa realisasinya lain, atau malah tampak sebaliknya, itu persoalan yang sama-sama berat kita hadapi saat ini. Perlu terobosan...yang saya sendiri di sssisi l

Youuu tah Pennnelit berrhhasi Ya kal boleeeh hhhhh hhhhhh h d sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa poliicyicycycycycycycycycycycycycycycycycycycyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy itu, bbbbbbbbbbbbbbbbbbbabbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaagaaaaaaaaaaaaa mennjnjjadjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjaaaaaaaaaaaaaadaaaaaaaaaaadaaaaaaaaaadaadaaaaadadadaaadadadadaadaaadaaadadaadaaadaaaaaaddd Penneneelieeeeeeeeeeeeeeeeeelllilililillllllililililililililililillillilililililililillililililillillllililililiiiitiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt Sayyyaaaaaaa m m m mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm tingggigggigigigigigiggigigigigigiggigigigigiggggggigigigigigigigigigigiggigigigigigggiggigigiiiiiiiiiiiii,, , ,, usahhha aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa y berkkaikaaaiaaaaiaaaiaiaaaiaaaaitaiaiaaaiaiaiaiaaaaiaiaiaiaaiaiaaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaaiaiaiaiaaiaiaiaaaaiaiiiiiiiiiiiiitattt terlennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa tahuuu sssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssse sekkalilililillillillililililililillilllilililililililillililililililililililililillililililililillliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii pelaaksakskkkskskskkskskskskskskkskskkskskkskskskskskkskskskkskskskskskskskskskkkssssssassssssssssssssssssssaa hutaaan nnnnnnnnnnnnnnnn nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn nnnn nn n nnnnn n nnnn nnnnnnnn nnnnnnnnnnnnnnn yyy kalaau auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu uuuuuuuuuuuuu uuuuu uuuuu pennngelo pennngelo dariii sis wakkktu i lintas k kareeena untuuuk m Saaatattttttttttttttttttt d d d d d ddikddddddddiiiiiiiiiiiiiiiiiiikii baggigiiiiiiiiiiiiii Hiiiiiiiiiiiiiiiiiii H H H H H H H H H H H HHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHPHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHPP Ya mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmammmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaaaaaa dilaaakukkukkkkukukkukukukkukkukukkkukkkukukukukukukukukukukukukukukukukukukukukukuuuuuukk si ppppppppppppppppppppppppppelppppppppppppppppppppppppppppppeleleeleleleleleleleleleleleleleleeeeleleleleeeleeeleleleleleeleleeleleleleleleleleleelelelelelelllllllllllaaa pemmemmemmemememememememememeereeeeeeeeerririrrrrrrrrrrrrrrrirrrrrrrirrrirrrrrrrririrrirrrrrrrirrrirrrrrn konnsnsssssssssssssssssssesssssssssssssssssssssssseeeeeseseeeeeeeeseeeeeeeseseseseseseseseseseseseseseeeseeseeseessssi Lalluluuuuuuuuuuuuuuuuuuuu..uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.............................. .. . infoormormrmrmrmrrmrmrmrmrrmrmrmrrmrmrrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrrmrmrmrmrmrrmrmrmrmrmmmmmmmmmmmmmmmmmmmma Padddaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa h hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh lho.. TTTTTTTaTTTTTTTTaTTTTTTTTaTaTaTTaTTTTaTTaTaTaTTTaTaTTaTTTTaTTTaTTaTTTaTTaTaTaa yanngngggggggggggggggggggggg gggggggggggggggggggggggggg s ssssssa


(3)

291

belum tahu persis apa. Adapun makna....makna kelestarian itu...yang pokok adalah memanfaatkan potensi yang ada....yang artinya tidak under-utilize ya... tentu dengan kepastian jangka panjang untuk usaha terus berlanjut, dengan tingkat untung terus meningkat, lalu pastikan juga ada bagian keuntungan yang dikembalikan ke hutan. Mau pake teori apa saja....itu maknanya saya kira.

Dengan makna itu, seberapa jauh informan menilai kelestarian HA Produksi di Luar Jawa...

Kalau melihat dan mendengar riuh rendahnya klaim angka kerusakan hutan, memang seolah benar bahwa hutan kita tidak lestari. Padahal kalau kita kembali telusuri potensi yang ada, dan apa yang ril kita panen, panenan kita itu masih dibawah skala lestari kok. Potensi standing stock kita ada 50 M m3 setara dengan 150 jt m3/tahun, sementara jatah tebang tahunan kita kan saat ini dibatasi hanya 9 juta m3/tahun itupun rilnya hanya tercerap antara 5-6 juta m3. Itu pengakuan dari beberapa pelakunya lho ya. Ini artinya ....secara keseluruhan...tingkat ekstraksi kita masih konservatif. Harusnya masih lestari lah. Sementara itu kok ngomong moratorium...ini benar benar politik.

Seputar hal kunci suatu kebijakan, informan menjawab relatif singkat...

Kalau ditanya faktor kunci dari suatu kebijakan....ya ia haruslah fokus, tidak kaku tentu saja, dan harus berangkat dari isu serta masalah yang benar dan yang benar-benar ingin dijawab. Tapi....masalahnya siapa...harus jelas pula.

Saat diberi ilustrasi antara resep dan diagnosa dalam analogi atas proses kebijaan kehutanan....

Menurut yang saya amati sejauh ini...resep salah, bahkan berantakan....dan ....karenanya diagnosa keliru. Makronyapun tak jelas: sistem atau regime pengelolaan kita ini mau ke mana, liberal alias private atau BUMN. Itukan sampai sekarang ini kan tidak jelas. Disebut mau dukung private, tapi juga tidak kondusif...terbukti banyak private yang bergelimpangan. Sementara saat yang sama....BUMN tidak begitu diperhatikan, malah terkesan dipreteli atau malah dimatikan...saya ngga tahu persis. Jadi tidak jelas lagi....Soal keterkaitan semua ini dengan klaim bahwa menteri jabatan politis, boleh-boleh saja, karena bagaimanapun itu tidak bisa dipungkiri, setidaknya untuk saat ini, tapi ya sebaiknya pertimbangkan menteri dengan kompentensi yang baik.

Informan lalu menjelaskan, terkait pihak dan masalah yang paling berpengaruh dalam pembuatan dan atau perubahan kebijakan

Jujur saja....forester atau rimbawan termasuk yang tidak diuntungkan dengan situasi yang berkembang sekarang ini, termasuk dengan beragam isu lingkungan yang memperoleh posisi politik di ruang publik. Sementara ... leadership dari pimpinan birokrasi kondisinya lemah; nah sementara itu hampir semua pihak terjebak dengan kenyamanan booming kayu yang saya sebut tadi, sehingga banyak yang lupa untuk memperhatikan ”rumahnya” sendiri. Masalah kebijakan b a te u d D L L L L L L K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K m m m m m m m m m m m m m m m m m te t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t d d d 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 j j j j j j j j j ju j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K t te t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t b b b b b b S k M b a It ti y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m m se s s b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b se s s I In I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d Ju J Ju J J J J J si s s s y y y y y y y y y y y p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p t te te t t t t t t t t t t t t t te t te t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b


(4)

tak jelas, sehingga perlu diperjelas dan dipertegas dan perlu terlembagakan secara baik dulu, sebelum yang lain lain. Jadi yang paling memengaruhi ....ya isu yang mencuat dan mendapat tempat secara politis di ruang publik. Begitu saya kira ya. Terkait adanya kemungkinan kekeliruan cara pikir...

Kemungkinan kekeliruan, bagaimanapun, tetap ada saja. Misalnya saja, keterjebakan dengan sekedar menjalankan aturan...walau sadar bahwa substansi aturannya secara objektif tidak tepat ... atau bahkan keliru. Sementara lucunya, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan...tidak dibuat aturannya.... karena alasan klasik....tidak ada aturan di atasnya dan sebagainya. Keterjebakan seperti ini bukan saja menghambat proses pelaksanaan kebijakan, tetapi juga kualitas akhir kebijakannya itu sendiri.

Dalam hal ada tidaknya perbaikan kebijakan selama ini, informan menilai... Ada. Setidaknya dari adanya usaha untuk mendefine dan memastikan tujuan. Dulu tidak ada.

Saat mau ditutup....diujung wawancara...informan melepas sejumlah isu yang menurutnya masih terkait erat dengan berbagai jawabannya tadi...

Tunggu...melengkapi jawaban-jawaban tadi....sebenarnya harus diakui...pemerintah tidak tahu dan tidak punya konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dari dulu sampai sekarang. Tidak jelas arah utama kemana: swasta atau BUMN. Swasta bergelimpangan, BUMN seperti saya sebut tadi ....apa ...dipreteli atau bahkan sengaja dimatikan, sehingga akibatnya di lapangan banyak kawasan hutan menjadi sumberdaya terbuka....no body’s properties begitu orang-orang bilang. Jadi kehutanan kita mau kemana? Itu satu hal...

Sementara peraturan perundangan jelas mengatur mandat baik nasional...provinsi...maupun kabupatan, bahkan sampai inventarisasi sampai tingkat UM. UM harusnya fokus pada pembentukan KPH, jadi tidak hanya sistem hutannya....dan ini semua menjadi dasar untuk PHL. Jadi, sekali lagi, andalan kita apa, swasta atau BUMN... itu harus clear dulu di awal.

KPH sebagai unit manajemen terkait sebenarnya telah diatur dalam PP6/1999 dan telah pula didukung aspek legal ini oleh Keputusan Permendagri, namun memang belum selesai dilakukan dan perlu dilanjut...karena itu saya yakin...menyelesaikan ini (KPH maksudnya) dapat menyelesaikan banyak hal lainnya....thus....KPH adalah harapan terakhir, setelah jelas di awal kita ini mau kemana....mau pake regim apa....

Selanjutnya informan menambahkan penjelasan sebelum wawancara benar-benar diakhiri...

tak jela baikkk du mennncua Terrrkait Kemmmun keteerjerjrjrjrjrjrjrjrjrjrjjjjjjjjjjjjebjjjjjjjjjjjjjjeeeeeeeeeeee aturrrranrrrrrrrrrrrrrrrranananananaanaanaaaanananaanaanaanananaaanaaanananaanananaananananaaanananananananaananannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn untuuuk kkkkkkkkkkkkkk kkkkkkkkkkk k kkkkk k kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk dilaakuakukkukkukukkukukukukukukukukukukukkukukukkukkukukukukukukkuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuukkkkkkkk atassnysnynnynnnynynnynynynnynynnnynynnynynynynynnynynynnynynynynynynynynynynynynynynynynynynynynynyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyya pelaaakskskkskskkkkskskskskskskkskskskkskkkkkkkskskkskkkkskkskskkskskskkkkskkskskkskskskskskskskkskkskkkskkskkkkskskkkskskkssssssssa Dallalaamaaaaaaaaaaaaaaaaaammmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm mmmmmmmmmmmmm Adaa.a. S S S S S S S SSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSe tidaak akkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk kkkkkkkkkkkkkk k kaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaadaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Saaaatt mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm mennunuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrurrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr Tunngngggggggggggggggggggggggggggugggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg diakkkuiuiuuiuuuiuuuuuuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuuuiuuiuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuiuiuuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiuiiiiiiiiiiiii.. hutaaan,n,nnnnnn,n,n,nn,n,n,n,n,nn,nn,n,nnn,nn,n,nn,n,n,n,nn,n,nn,n,n,n,n,n,nnnn,n,n,n,n,n,nn,n,nnn,n,n,n,n,,,,,,, BUUUMN atauuu ba hutaaan m bilaaang. Semmment nasiona tingggkat hutaaaannaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnyyyy apaa,a,, s sssssssssssssssssssssssssswssssssssssssssssssssssssssssswwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww KPHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH H HHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHsssssssssssssssssssssssessssssssssssssss telaah ahhhhhhhhhhhhhhhhhh hhhhh h hhhh h hhh hhhhhh ppppppppppppppppppppppppppppupuppppppppppppppppppppp beluuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuum uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuummmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm yakikikiiiiin.iiiiiiiinnnn.n.n.nnnnn.n.n.n.n.nn.n.nn.nn.n.n.nnn.n.n.nnnnnnn.n... lainnnynnynynynnynynnynynynnnynynynynnnnynnynynnnynynnynynynynynynynynynynynynynynynynynynynnynynynynynynynnnnyyayyyyyyyyaa kemmammamammmmamamammamamammamamamamamaaanaaaananannnnnannnnnannnannnannanannnna Selaaaanjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanjnjnjnnjnjnnjnnjnjnjnnjnjnnnjnjnjnjnjnjnjnjnjnnnnjnjnnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjnjjjjjujjjjjju diakkkkhikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkhhhihhhihihhihhihhihhihhihhhrrrrr


(5)

293

KPH merupakan kebijakan di bawah Ditjen BUK ....dulu BPK ya...yang mengundang ulang pemastian pilihan yang sata sebut tadi: swasta vs BUMN atau sama saja, atau kombinasi keduanya. Mari kita lihat kondisinya....

Kondisi swasta saat ini....daya saing drop, banyak capaian menurun, kecuali pulp dan kertas, total kontribusi kepada GDP negatif. Negatif artinya apa?....Sehingga nyaris tidak ada investasi baru untuk sektor kehutanan. Hal ini terkait setidaknya dengan empat hal...pertama benefit dan risk tidak terfasilitasi dengan baik, sehingga ROI kecil, daya saing rendah, sekalipun masih memiliki keuntungan komparatif yang tinggi; singkatnya tidak ada manajemen resiko, dan peraturan perundangan yang ada hampir tidak ada yang mengatur ini semua.; sementara itu ... ini kedua.... persaingan antar komoditas (hutan vs sawit vs tambang, misalnya) sangat luar biasa; dalam persaingan ini komoditas kehutanan atau bisnis di kehutanan dikenali perlu modal besar, tapi untung kecil sehingga opprtunity costnya besar; sementara bisnis di sawit atau tambang kondisinya sebaliknya, terutama karena dukungan kebijakan yang jelas, ada instrumen pendanaan semacam KUR dan sebagainya...ehmmm ketiga ya....ketiga... permainan mafia komoditi non kehutanan sangat marak dan ini tidak dapat dijangkau oleh peraturan perundangan yang ada

Peneliti menyelipkan pertanyaan ...atau ini justru marak, karena peraturan perundangan yang lemah?

....bisa juga...sehingga jaminan dukungan bahan baku kayu dalam jangka panjang terhadap industri kehutanan menurun drastis; keempat...ini terakhir....pemerintah tidak sanggup menegakkan property rights (PR) karena tidak ada penegakan hukum yang langsung dan mampu mendasari PR – sebagai pengakuan sosial di lapangan, sekaligus sebagai representasi sinergi pemerintah-masyarakat-dan dunia usaha. Antara lain menimbang keempat hal ini, posisi KPH sebetulnya menjadi faktor daya ungkit ...leverage factor...yang baik untuk melakukan pembenahan, terutama dalam menata PR, karena saat PR tak terdefinisi dengan baik, seperti saat ini, artinya resiko usaha meningkat, tak ada orang tertarik untuk melakukan investasi. Di Cina, usaha sawit sudah berkembang bahkan sampai ada pasar sekundernya.

Hal lain....yang masih relevan dengan jawaban-jawaban tadi ya...terkait pasar dan pengelolaan hutan....pemerintah perlu penguatan dalam hal legality dan CoC (maksudnya lacak balak), dibarengi dengan penyederhanaan aturan terkait – peraturan di luar ini, yang tak perlu, dihapus saja, untuk menurunkan biaya transaksi. Lalu...harus jelas juga siapa yang paling kompeten dalam memastikan legalitas, apakah pihak ketiga? Yang tahu dengan persis barang dan asal-usulnya itu pastilah pemilik konsesi atau KKPH, dari mulai RKU, petak tebang, sampai ukuran diamater...ibarat dokter, dia paling syah untuk mengatakan penyakit seorang pasien. Begitulah posisi pemilik konsesi dalam hal legalitas. Jadi soal kompetensi, dia yang paling kompeten untuk mengatakan legalitas, bukan yang lain...nah persoalannya...bagaimana sistem mewadahi ini....

K m sa K d n d d d d s s s s s s se s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s s k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k p p p p p p p p p p p p p p p p it i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i i m m m d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d d c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c t t t t t t te t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t t s se s s s s s s s s s s s s s s s s s s s k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p .. . . p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p te ti p m se m te o b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b H H H H H H H H H H H H H H H H p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( (m p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p p tr tr t t t t t t t t t t t t t t tr t t tr t t t t t t t t t t t t t t t le l l l l l l l l l l l l it it i it it it it it it it i i i i i i ittt ittt u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u se s s s k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k k la la la l l l l la l l laa l l l la laa la l l la la


(6)

TUK itu terus terang hanya mempermudah manajemen internal, persis seperti Palu Tok di Perhutani, untuk menuju SFM dan membuka pasar, termasuk pasar di luar sana. Namun dalam pelaksanaanya ini justru menambah ketidakpastian, sehingga menurunkan gairah berinvestasi. Dalam kaitan ini SVLK itu pun secara filosofis salah, karena SVLK itu lebih sebagai internal (maksudnya Kemenhut) demand kepada masyarakat internasional, terkait penanganan kegiatan illegal di kehutanan, khusunya illegal logging.

Belajar dari kasus Cina...tampak segalanya jelas: sistem dan leadership jelas dan mendukung, reformasi agraria 1990an dilakukan di bidang kehutanan pun jelas dan tegas, ada kebijakan subsidi untuk menekan resiko usaha, masyarakat jelas kalau buka usaha atau jual beli konsesi, jelas harus berurusan dengan siapa. Jadi banyak kejelasan...terutama dalam pelaksanaannya...Nah menarik pelajaran dari itu semua, untuk usaha kehutanan kedepan...perlu dipertimbangkan alternatif HTR dalam kawasan menjadi semacam HGU Kayu Rakyat; perlu diperjelas pendefinisian bahwa hasil hutan itu harus legal, dasarnya apa? SKAU itu dasarnya apa? P 55? P 55 dasarnya apa? Hapus sajalah SKAU itu, karena hanya sekedar urusan administrasi yang malah membebani.

Informan akhirnya menegaskan kesimpulannya...

Jadi ...kalau boleh saya simpulkan kira-kira begini....Kebijakan harus direform, harus ikut dan memenuhi momentum perubahan...iya dong...ya ngga. Lalu, perlu perbaikan leadership untuk setiap pimpinan unit kerja dari bawah sampai ke atas...selain itu...perlu disain waktu proses planologi, terutama masalah kawasan, misalnya terkait konflik Kalteng dan Riau dengan isu perkebunan sawit besar-besaran. Ini perlu ditangani secara khusus. Artinya ...perlu win-win solution baik terkait dengan sektor lain, maupun dengan pemerintah daerah; sehingga ini menjadi momentum yang baik untuk melakukan penataan pengelolaan hutan dan sekaligus usaha kehutanan...sehingga diharapkan bisa bersinergi dengan sektor lain. Terus terang hal ini pernah di rekomendasikan oleh Tim Terpadu, bahkan kepada DPR, dan mendapat persetujuan Kejaksaan Agung, namun terbentur di Dephut-1....katanya karena pertimbangan perspektif Presiden...Nah ini contoh persoalanleadership tadi. Gitu ya...cukup untuk hari ini ya...

TUKK it Paluuu To luarrr sa sehingg filooosofi demmmand kehhhutan Belllaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaajaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaajajajajjajajajajajajajajajajjjajajajajajjajajajajjjjajjajajajjajajajjajajajajajajajajajajajajajajajajajajajajajajajajaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr menndunduddududduddududududdududduddudududddudddddudududududddududdudddududududududududududududududuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuk dann ten tetetettetetttttetetettetetettetetetetttetettetttetetetetttettetetetetetetetetttettetetetetetetteteteteteeeeeeeeeeeeeeeeeg kalaau auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu u uuuu uuuuu uuuuuuuuuuuuuuuuu bbbbbbbbbbbbbbbb bannynyyyyakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakaaaaaaaaaaaaaaaaaakaakaaaaaakaaaakaaaaaaaaaaaaaaaaaaa itu seseseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm HTRR RRRRR RRRRRRRRRRRRR R RR RR RRR RRRRR dddd pennndddddddefeefeeeefeeefeeefeeeefefefeeeefeefeefeeeeeefeeeeefeefeefeeefeefefefefeefeefefefefeefefefeefefefefefefefefefefefeefeeefefeefefefefefefefiffffff apaa?a??? P???? P P P PPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPPP uruusanaanaanananaaananananaanananananaaanananananaanaaaaanananananananananananananaanananananaaananananannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn Infoormormrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmrmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmma Jaddi ...k haruus usssssssssssssssssssss ssssssssssss siiiiiiiiiiiki perbbaibaaiaaiaaaiaaaaaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaaaaaiaaiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaaiaiaiaiaiaiaiaiaiaaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaiaaiiiiiiiiiiiiikkk atass..s...s...s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s.s...s.s.s.s.s.ssssssssssssssssssssssssssse misssalny besaran terkkkait mennnjad sekkalig lainnn. Te kepppada Deppphut perssssoasoaooaoaoaoaooaoaoooaoaoaooaoallllllllllllllllll