Latar Belakang KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN

annual allowable cut, ”kelestarian hasil” sustainable yield, dan sebagainya. Perdebatan tentang kelestarian karenanya disebutkan hanya berputar di seputar legitimasi berbagai aturan kerja itu, yang sering dikaitkan dengan kualitas informasi ilmiah atau tidak, data tentang sumberdaya akurat atau tidak, dan cara mencapai aturan kerja itu efisien atau tidak. Dengan pendekatan demikian, pembangunan kehutanan dinilai bersifat monolitik: setiap aspek lain dari proses pembangunan kehutanan adalah eksogen exogenous. Hal ini merepresentasikan hal negatif, berupa gangguan atas berjalannya hukum alam 2 . Masyarakat tercakup bagian dari gangguan itu. Penerjemahan pendekatan ini kedalam pembangunan ekonomi berupa pembuatan bagian-bagian departemen kehutanan yang kuat, dilengkapi perangkat dengan baik, dengan tenaga terlatih tahu aturan-aturan kerja itu, dan siap menegakkan aturan kerja itu kadang- kadang menggunakan kekuatan militer. Di banyak negara berkembang, departemen-departemen kehutanan tradisional secara harfiah bahkan berfungsi sebagai militer: melindungi hutan menghindari penyimpangan aturan kerja, menyiapkan instrument pemanenan hutan menurut aturan kerja itu rancangan konsesi, melakukan penelitian dan survey sumberdaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang legitimasi aturan kerja dan tanpa kecuali melaksanakan program dan proyek pembangunan. Dari pandangan kelembagaan, berbagai bagian departemen ini merupakan ”grand regulators” dari sistem, dan arbitrase tentang alam, pemanfaatan dan konservasi hutan hanya terjadi melalui mekanisme internal yang melekat pada bagian-bagian departemen itu. Pasar, harga dan insentif secara umum diposisikan sebagai eksternal exogenous terhadap sistem. Titik terlemah dalam pendekatan ini disebut kurangnya pengetahuan. Jadi, masalah muncul saat legitimasi dari aturan kerja yang diadvokasi, tentang kelestarian misalnya, dipertanyakan. Sementara, 2 Hal ini dilatari keyakinan Sfeir-Younis 1991, bahwa dalam paradigma ini kelestarian tergantung seberapa dekat hukum alam diikutidipatuhi dalam eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan. begitu banyak ekosistem hutan yang kompleks dimana tidak ada konsensus tentang bagaimana mencapai kelestarian. Dibutuhkan jauh lebih banyak lagi aturan kerja dan penelitian sebelum berbagai aturan kerja dibuat untuk melestarikan pembangunan kehutanan. Pendekatan kedua, paradigma ”the forest second”, secara eksplisit mengenali peran yang dimainkan manusia dan sistem sosial ekonomi, sebagai bentuk lain dari modal, dalam mencapai kelestarian. Ini semua yang diposisikan ”eksogen” oleh paradigma pertama. Dalam paradigma kedua ini sistem politik dan sosial ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang hakiki intrinsic dan penting bagi pembangunan kehutanan lestari. Disebutkan, bahwa berdasar pengalaman, tidak mungkin mencapai kelestarian dalam pembangunan kehutanan tanpa partisipasi nyata dari komunitas dan masyarakat pada umumnya. Ini berlaku tidak hanya kepada pengelolaan dan pemanfaatan hutan, tetapi juga kepada semua bagian suatu program kehutanan. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai diluar exogen dari berbagai anggapan pembangunan kehutanan, kini menjadi penting untuk diterjemahkan dan diimplementasikan dalam paradigma kedua. Dalam pendekatan kedua ini, modal manusia human capital dinilai sebagai objek dan modal alam natural capital sebagai subjek dari pembangunan kehutanan. Ini semacam penekanan, bahwa praktis tidaklah mungkin memahami apapun kegiatan kehutanan sekarang tanpa partisipasi semua para pemangku kepentingan potensial potential benefeciaries. Disebutkan, bahwa kelestarian bukan lagi sekedar penciptaan keseimbangan diantara alam dan lawas hutan yakni modal alam dimaksud. Pencapaian pembangunan hutan lestari mensyaratkan keseimbangan semua bentuk modal yang terlibat dalam proses: fisik, finansial, manusia, alam, kelembagaan dan bahkan budaya. Dalam pendekatan ini pula, ditunjukkan setidaknya ada dua tatanan aturan kerja untuk dioptimalkan: berkaitan dengan sistem alam dan sistem manusia. Tatanan aturan kerja terkait sistem manusia dinilai baru bagi para ahli ilmu alam dan pembangunan kehutanan karenanya memerlukan ahli ilmu sosial. Menjadi dilema penting adalah hadirnya satu mekanisme yang dapat memecahkan konflik bila ada antara dua tatanan aturan kerja tadi. Konflik yang terkenal adalah bahwa saat orang memanen lebih banyak pohon dari yang seharusnya diatur oleh aturan kerja dari paradigma pertama. Banyak alasan mengapa konflik ini muncul, antara lain dicontohkan karena insentif pasar, perambahan encroachment dan konflik pemanfaatan lahan serta property rights. Untuk memecahkan konflik ini diusulkan beberapa mekanisme: a kembali kepada paradigma pertama dan biarkan negara sebagai ”grand regulator” – pendekatan penegakan hukum; b gunakan mekanisme pasar yang diasumsikan mencerminkan kekuatan preferensi dan daya beli individu, dan c terima mekanisme kelembagaan berdasarkan hak-hak yang ada dan aturan kerja berbasis komunitas. Semua mekanisme yang disebutkan di atas bermasalah dengan berbagai keterbatasan yang serius. Pengalaman pembangunan sejauh ini dinilai cukup baik dan menyeluruh untuk merefleksikan secara serius berbagai keterbatasan kelembagaan dari paradigma kedua. Penempatan pasar sebagai mekanisme kelembagaan untuk memecahkan konflik antara dua tatanan aturan kerja terbukti tidak efisien dan, dalam banyak kasus, tidak diterima secara sosial. Sementara, kumpulan preferensi dan daya beli individu jarang menghasilkan aturan kerja yang secara sosial optimal. Hal ini dikaitkan dengan contoh yang dikenal sebagai ”tragedy of the common”, dimana diakhir persaingan individu menghancurkan sumberdaya alam bersama karena berbagai sinyal pasar tidak mengindikasikan pereferensi sosial 3 . Solusinya kemudian, disarankan untuk a memanfaatkan pasar sebagai mekanisme mengatasi konflik, sementara saat yang sama menetapkan hak-hak private atas hutan; dan bila mekanisme pasar tidak diterima, maka alternatifnya b penciptaan satu mekanisme konsensus yang dapat menghasilkan aturan kerja yang 3 Disebutkan, bahwa para ekonom sering merujuk kepada fenomena ini sebagai “eksternalitas” atau “kegagalan pasar” yang dalam kasus sumberdaya alam milik bersama – tidaklah selalu dapat diperlakukan dalam cara yang memuaskan. optimal: memberi masyarakat kekuatan untuk memutuskan aturan kerja yang mana yang paling diterima. Sampai disini, analisis Sfeir-Younis 1991 menegaskan, bahwa masing-masing kerangka pemikiran memiliki keterbatasan dan kendala yang pada dasarnya melahirkan tantangan baru untuk pembangunan kehutanan kedepan. Tanpa mendikotomikan secara kaku, kerangka pemikiran pertama digambarkan – bila dianut, akan berakhir dengan kerusakan hutan yang hebat dan bahkan tidak dapat balik irreversible, terutama bila upaya penegakan aturan kerjanya lemah. Gambaran ini sekaligus membuka rujukan, bahwa kerangka pemikiran kedua menjadi pilihan walau tetap dengan keterbatasan yang penuh tantangan. Bahwa kecenderungan manusia lebih menganut kerangka pemikiran pertama, ”the forest first”, daripada ”the forest second” menjadi perhatian dan keprihatinan Kaivo-Oja et al tt dan MacCleery tt 4 . Dengan keprihatinan itu, keduanya menekankan perlunya menyeimbangkan keseluruhan bentuk modal dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam mencapai dan bahkan dalam mendefinisikan kelestarian hutan yang tidak lain adalah esensi dari kerangka pemikiran kedua, ”the forest second”, yang ditawarkan Sfeir-Younis. Ruitenbeeck dan Cartier 1998 menegaskan hal senada, bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Gluck 1987 bahkan lebih tegas lagi, bahwa sejarah kehutanan diwarnai serangkaian kesemberonoan penanganan hutan, sehingga melahirkan empat doktrin yang secara ideologis identik dengan “the forest first” yang dipandang tidak lagi cocok dengan kekinian dunia kehutanan 5 . Akumulasi pengetahuan di atas bila dikaitkan dengan kinerja pembangunan kehutanan Indonesia sampai saat ini mengundang 4 Dalam bahasa mereka aliran pemikiran “the forest second” lebih menekankan perlu masuknya dimensi kemanusiaan bahkan sampai tingat global pada pendefinisian kelestarian. Lihat “diskursus kelestarian” pada Bab 3. 5 Keempat doktrin itu disebut: timber primacy, sustainable yield, long term, dan absolute standard pertanyaan, kebijakan pembangunan kehutanan Indonesia sejauh ini menggunakan atau menganut aliran kerangka pemikiran yang mana dan seperti apa? Lalu, apa implikasinya bagi pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan kedepan? Apakah, dengan demikian, persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan? kebijakan usaha an – fokus..

B. Konteks Penelitian

Hutan alam produksi Indonesia di Luar Jawa telah dikelola, diusahakan dan dieksploitasi, cukup lama, bahkan sejak zaman penjajahan. Periode 1967-1997 dapat merupakan kurun eksploitasi komersial secara besar- besaran. Dalam kurun itu, hutan alam produksi di Luar Jawa diusahakan dalam bentuk entitas Hak Pengusahaan Hutan HPH, terutama setelah keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan UUPK No. 51967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang kemudian disusul dikeluarkannya peraturan pemerintah PP No. 221967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH dan Iuran Hasil Hutan IHH. Kedua produk perundangan ini merupakan tonggak awal dari sejarah eksploitasi hutan, khususnya pada periode kemerdekaan. Alasan utama keluarnya kebijakan usaha kehutanan waktu itu lebih karena kebutuhan modal yang begitu besar untuk mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan nasional dan hutan dipandang sebagai sumberdaya alam yang relatif mudah cair liquid. Investasi di sektor kehutanan mengarus deras dalam kurun ini, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing UU- PMA UU No. 11967 tentang Penanaman Modal Asing. Arus investasi ini diikuti pula dengan semakin bergairahnya arus investasi di dalam negeri menyusul diterbitkannya Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri UU-PMDN UU No. 61968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya, pada 1970 diterbitkan pula dua peraturan pemerintah yang tergolong penentu kinerja usaha kehutanan selanjutnya, yakni PP No. 211970 tentang HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan HPHH dan PP No. 331970 tentang Perencanaan Hutan. Usaha kehutanan melalui HPH mengalami ”booming” pada awal 1980an. Tercatat ada sekitar 600an unit HPH beroperasi dengan luas rataan dari puluhan ribu hektar sampai jutaan hektar per unit usaha. Pada periode inilah para pemegang HPH memperoleh hasil finansial yang nyata, terutama melalui ekspor kayu bulat. Sementara, pemerintah memperoleh pendapatan, terutama dari iuran HPH dan HPHH, Dana Jaminan Reboisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan bertumbuhnya berbagai industri kehutanan dalam negeri berbasis kayu dari hulu log hingga ke hilir pengolahan kayu. Pada periode ini pula sektor kehutanan menjadi tulang punggung pemerintah dalam penyediaan dana bagi pembangunan. Pada periode inilah sektor kehutanan mencapai peringkat kedua terbesar kontribusinya dalam perekononomian nasional, setelah minyak dan gas. Dalam periode-periode selanjutnya berbagai capaian di atas mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun baik dalam hal jumlah unit dan luasan HPH maupun skala kontribusi dan peran sektor kehutanan pada perekonomian nasional. Dalam periode lanjutan ini, termasuk dalam era otonomi daerah, berbagai penurunan tersebut bertali- temali dengan fenomena deforestasi dan degradasi hutan alam. Hal ini berimplikasi luas, termasuk atas merosotnya lebih lanjut peran sosial- ekonomi dan lingkungan dari sumberdaya hutan dan akhirnya berujung pada penilaian tidak lestarinya hutan alam itu sendiri. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun ini seolah lepas dari adanya sejumlah proses pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk diterbitkannya UU No. 411999 dan turunannya sebagai pengganti UUPK No. 51967. Implikasi ketidak-lestarian hutan alam di atas mengundang beberapa pertanyaan terutama seputar apa, mengapa dan bagaimana sampai hutan alam produksi akhirnya berada pada jalur tidak lestari. Tiga pertanyaan ini penting mengingat landasan penetapan kebijakan usaha kehutanan baik di tingkat UU maupun produk turunannya, khususnya berupa PP, yang justru menempatkan kelestarian sebagai syarat dan bahkan pembatas constraint dalam memosisikan hutan alam sebagaimana selalu tercantum dalam diktum konsideran di hampir