Diskursus dan Narasi Kebijakan

berbagai alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright 1997, yakni siapa yang memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan melalui penyusunan kerangka acuan TOR dengan tidak membolehkan atau mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo 1997 – dalam Sutton, 1999, yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. Sutton 1999 juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulianinterest tertentu untuk mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer 2009 yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaim- klaim paham diskursif-kelembagaan. Menurut Arts dan Buizer 2009 berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta. Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer 2009, yakni 1 diskursus sebagai komunikasi, 2 diskursus sebagai teks, 3 diskursus sebagai kerangka atau ”frame” dan 4 diskursus sebagai praktek-praktek sosial. Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan Arts dan Buizer 2009 dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi. Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial. Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi.

4. Diskursus dan Bahasa

Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton 1999. Hal ini disebut “analisis diskursus” tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda, yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato sebagaimana juga disebutkan Hawitt 2009. Dari sini berkembang pemahaman Sutton 1999 terkait pemberian label atas kelompok-kelompok the labelling of groups, pengerangkaan isu yang akan diatasi the framing issue to be tackled, pembuatan solusi-solusi kebijakan agar tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan making policy solutions seem obvious and unquestionable, dan mende-politisasi berbagai keputusan kebijakan depoliticising policy decisions. Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan yang membuat secara berulang label-label ”kelompok sasaran”, seperti ”miskin pedesaan”, ”petani” atau ”miskin lahan” yang disebut secara berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan Wood 1985 dalam Anthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1995. Pelabelan semacam itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan mereka, rentang kepedulian yang mereka wakili dan keragaman pengalaman mereka. Terkait pengkerangkaan, Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999 menyarankan bahwa ”bingkai” digunakan untuk mengaitkan cara pendefinisian masalah-masalah kebijakan, yang menganalisis secara khusus pertimbangan apa yang dicakup dan tidak dicakup. Hajer 1993 - dalam Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999 menyarankan bahwa pengkerangkaan bekerja untuk membedakan beberapa aspek dari sebuah situasi daripada yang lainnya. Dalam hal ini Apthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999 menegaskan, bahwa analisis diskursus kebijakan harus menguji pengkerangkaan masalah yang akan ditangani dan hubungannya dengan penyiapan jawaban-jawaban yang ditawarkan. Dalam hal pembuatan solusi kebijakan, Apthrope 1996 – dalam Sutton, 1999 menarik aspek penting lain dari penggunaan bahasa dalam pembuatan kebijakan. Ia menganalisis berbagai dokumen kebijakan tertulis dan menekankan cara kebijakan di tuliskan terkait kegiatan pemecahan masalah agar diperoleh sejumlah langkah pemecahan yang jelas. Digambarkan dimana dokumen menata secara jelas apa-apa yang “yang tak terelakan harus dilakukan”, apa-apa “sebagai alasan” dan tidak dapat dinegosiasikan atau untuk ditawar-tawar. Kebijakan yang mengklaim untuk dicontoh dalam beberapa cara ”terwakili dalam bahasa yang dipilih terutama untuk menarik dan membujuk salah satunya. Hal ini biasanya tidak mengundang atau menerima bantahan, terutama ketika sikap moral tertinggi yang diambil, melainkan oleh setiap trik dan kiasan, yang cirinya bersifat tidak dapat dibantah” Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999 5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir Dalam pengamatan Hawitt 2009 policy-discourse-ina-plus ak.doc , sebagaimana juga dijelaskan Arts dan Buizer 2009 ada banyak aliran dari analisis diskursus yang mencakup beragam pendekatan metodologis. Menurutnya, beberapa analis yang meneliti bidang-bidang kebijakan publik telah mengembangkan mode-mode pelaksanaan analisis diskursus yang diinspirasi