Pendahuluan KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI A.

B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia

1. Kondisi Hutan Alam

Setelah lebih dari lima dekade pengusahaan pada paska kemerdekaan 1 , Hutan Alam Indonesia saat ini menghadapi situasi yang luar biasa suram. Secara kualitatif, situasi ini setidaknya dapat dilihat dari semakin menyusutnya luas kawasan hutan alam produksi dari tahun ke tahun. Data 2005 menunjukkan, bahwa dari 35,26 juta ha luas kawasan hutan alam produksi yang tersisa di Luar Jawa, areal yang masih tersisa dan berhutan hanya tinggal 20,62 juta ha; selebihnya berupa areal tidak berhutan 12,64 juta ha dan belum terdata 1,99 juta ha Dephut, 2006a. Untuk kawasan hutan yang lebih luas lagi, digambarkan bahwa di dalam kawasan hutan dengan luas total sebesar 133,6 juta ha, tutupan hutan atau areal berhutan mencapai 85,96 juta ha 64 dan areal yang tidak berhutan sebesar 39,1 juta ha 29 dan sisanya 8,52 juta ha 7 tidak terdefinisi karena data tidak lengkap Dephut, 2006a. Tutupan hutan ini oleh banyak pihak telah dijadikan indikator untuk menilai fungsi hutan. Dalam hal ini kawasan hutan tanpa tutupan hutan yang nyata – yang menurut Dephut 2006a luasnya mencapai 29 dari kawasan hutan tetap – tidak memperlihatkan kinerja terkait fungsi ekonomi sosial dan lingkungan sebagaimana yang diharapkan layaknya dari ”lahan berhutan”. Hal ini di lapangan sering menjadi peluang ”pembenaran” untuk melakukan realokasi wilayah-wilayah tak berhutan kepada penggunaan lain yang dianggap lebih produktif, misalnya perkebunan atau wana-tani agroforestry. Berbagai alternatif pemanfaatan ini bahkan dipandang telah memperluas tekanan dan ancaman atas hutan alam. Situasi ini jelas akan menambah unsur ketidakpastian akan usaha kehutanan. Keadaan ini diperparah oleh rendahnya kinerja realisasi penataan batas hutan alam yang oleh Hermosilla dan Chip Fay 2006 sampai awal 2005 diklaim 1 Dihitung dari sejak dikeluarkannya PP 641957 hanya sekitar 12 juta ha 10; artinya seluas 108 juta ha 90 kawasan hutan alam belum di tata batas dan dibiarkan tidak pasti 2 . Sementara itu, dalam Renstra 2005-2009 Dephut, 2006b diperoleh gambaran kondisi yang relatif lebih lengkap. Disebutkan, bahwa luas kawasan hutan alam produksi setelah proses paduserasi TGHK- RTRWP adalah 71,68 juta ha. Dari luasan ini, seluas 41,15 juta ha keadaannya baik; sementara sisanya 16,45 juta ha kondisinya rusak. Dari luasan 41,45 juta ha yang kondisinya baik itu, seluas 28,27 juta ha diusahakan melalui IUPHHK-HA dan sisanya 12,98 juta ha menjadi sumberdaya akses terbuka open access, tidak ada pengelolanya. Sementara itu, dari luasan 16,45 juta ha yang rusak, seluas 9,31 juta ha diusahakan melalu IUPHHK HT dan sisanya 7,14 juta ha menjadi sumberdaya akses terbuka, tak berpengelola. Dengan begitu, maka dari luasan 71,68 juta ha hutan alam produksi di Luar Jawa, 28,1 atau seluas 20,12 juta ha dalam kondisi open access. Dan yang menarik perhatian adalah adanya luasan hutan produksi yang kondisinya baik tapi tidak berpengelola, dengan luas mencapai 12,98 juta ha Gambar 5 Ada pengelola 9,31 juta ha IUPHHK-HT 28,27 ha IUPHHK-HA 7,14 juta ha open access 12,98 juta ha open access Rus ak Tak ada pengelola Baik Gambar 5. Kondisi Hutan Alam Produksi 2005 Sumber: Dephut, 2006b Data 2009 menunjukkan, total luas hutan alam produksi Luar Jawa sebesar 80,02 juta ha. Dari luasan ini seluas 35,33 juta ha 44,15 merupakan hutan produksi HP sisanya 22 juta ha 27,50 merupakan hutan produksi terbatas HPT dan 22,68 juta ha lainnya 28,34 merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi HPK Kemenhut, 2 Hal ini dianggap Hermosila dan Chip Fay 2006 bahwa kawasan hutan negara secara resmi dan de jure saat ini 2006 hanyalah 12 juta Ha, bukan 120 juta ha sebagaimana dipercaya banyak pihak selama ini.