Pandangan atas Usaha Kehutanan

land-banking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. Saat dikaitkan dengan fakta rontoknya banyak HPH, kelompok ini memandang baik pemerintah maupun pelaku usaha sebagai faktor, dimana diakui pemerintah begitu dominan. Disamping itu distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam, serta kondisi potensi sumberdayanya yang sudah menurun dianggap juga sebagai faktor lain. Dari sisi pemerintah kelompok ini lebih melihat dari ketidakpastian kawasan dan usaha yang terus meningkat, karena alasan pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang jelas, terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, ketidak harmonisan hubungan pusat-daerah dalam konstruksi dan implementasi kebijakan yang tidak menimbang secara memadai faktor manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal logging, termasuk isu yang mengemuka dalam diskursus kelompok ini. Masih dari sisi pemerintah, kelompok ini menyorot pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus dalam kelompok ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha para pelaku usaha – antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. Disebutkan, logika dan perencanaan bisnis pelaku usaha cenderung terpaku pada kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak berubah. Saat ditanya apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil, kelompok ini hampir keseluruhannya menilai tidak berhasil, bahkan beberapa terang- terangan mengatakan gagal, walau disampaikan secara malu-malu dengan dibungkus istilah ”fifty-fifty”, ”kurang berhasil”, ”tidak cukup berhasil”, ”saya tidak bisa pastikan itu” atau dengan sekedar balik bertanya ”ukuran keberhasilan itu apa?”. Takaran yang digunakan pun macam-macam, namun share kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak disebut, yang kemudian minta dikompensasikan angka kerusakan lingkungan dan hutan itu sendiri, sehingga secara keseluruhan dipertanyakan dampaknya atas kesejahteraan sosial. Dalam arus pemikiran semacam itu muncul pragmatisme, bahwa apapun capaian itu merupakan konsekwensi logis dari usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga apapun dampak kerusakan dianggapnya sebagai sebuah pilihan yang terpaksa. ”Fifty-fifty lah. Pragmatis saja, deforestasi itu konsekwensi logis dari adanya usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga deforestasi seolah jadi sebuah pilihan yang terpaksa....Yang penting bagaimana merehabilitasi dan memanfaatkan lahan terdeforestasi, termasuk memberi kesempatan bagi kebutuhan lain pangan, masyarakat tentu dengan bersinergi dengan para pihak pemangku kepentingan lainnya; perlu sinergi antar sektor”. Sekjen Dephut era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011. Dalam diskursusnya, kelompok ini mengidentifikasi sejumlah hal yang dinilai sebagai akar masalah. Hal ini mencakup mulai dari profesionalisme rimbawan yang tidak lagi jadi panglima, terutama dalam manajemen hutan. Lalu, ketidakpastian hukum dan usaha, termasuk perlindungannya, semangat ekstraktif, dulu-dulu adanya subsidi legal berupa ”tax holiday”, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar. Hal disebut terakhir ini lalu dikaitkan dengan ketiadaan common values, tidak disiapkannya semacam ”champion” perubahan, hingga ketiadaan leadership. Kesalahan dalam menetapkan masalah, desentralisasi yang belum selesai, kelembagaan pemerintah masih sangat lemah juga dinilai sebagai akar masalah, selain juga penegakan hukum dan kultur terhadap implementasi regulasi yang tidak penuh. Lalu, kepentingan politik yang sudah sangat membebani birokrat dan berbagai kendala non teknis seperti kepastian kawasan dalam usaha kehutanan dan bagi masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dulu ada di areal konsesi usaha, yang kemudian mengundang beragam konflik. Diakui kelompok ini bahwa terhadap banyak hal-hal non teknis ini, pemerintah tidak sama sekali menyentuhnya di lapangan dan bahkan penyelesainnya sering diserahkan pada pelaku usaha. Kelompok ini lall menawarkan beragam opsi solusi, mulai dari penegakan hukum untuk keluar dari berbagai ketidakpastian, sampai menjadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. Diskursus dalam kelompok akademisi memosisikan EBT sebagai faktor yang oleh para pelaku usaha umumnya direspon dengan perilaku manipulatif. Diskursus selanjutnya mengerucut pada faktor penyebab munculnya EBT yang harus diperhatikan kemudian. Misalnya, tidak terantisipasinya tarik menarik kepentingan dan masih adanya inkonsistensi kebijakan dan lemahnya upaya penegakan hukum, sehingga diperlukan keberanian pemerintah untuk melakukan penataan yang lebih mendasar. Melihat fakta banyaknya HPH yang rontok, kelompok ini melihat faktor pemerintah lebih dominan. Disebutkan, pemerintah reaktif, tidak antisipatif, dan tidak memiliki perencananaan serta strategi pengelolaan yang menyeluruh. Hal ini dinilainya karena ketiadaan konsep makro pembangunan hutan, yang diduga melahirkan banyak kebijakan yang tidak tepat bagi pelaku usaha yang akhirnya meningkatkan ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam banyak hal. Ketiadaan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan kebijakan tadi secara disiplin diposisikan kelompok ini sebagai faktor rontoknya HPH dari sisi pelaku usaha. Dengan penilaian demikian, kelompok ini melihat bahwa ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini lebih disebabkan kondisi kehutanan yang dinilainya semrawut, kualitas hutan yang terus menurun, sehingga hutan tidak lagi menarik dan bahkan dianggapnya menghambat pembangunan sektor lain. Dari sisi perolehan devisa, kelompok ini menilai usaha kehutanan berhasil, walau diakuinya ada ”bocor”. Namun penilaian ini dianggap gagal, terutama saat ditimbang dengan hal keadilan sosial-ekonomi masyarakat. Diluar itu semua, masih dalam kelompok ini, muncul sanggahan bahwa soalnya bukan ”berhasil atau tidak berhasil”, tapi lebih kepada praktek pengelolaan yang disebutnya masih ”primitif”. Ini dikaitkan antara lain dengan tidak adanya jaminan jangka panjang dalam usaha kehutanan, sebagai akibat dari ketidaan perencanaan yang holistik. Dalam kepercayaan kelompok ini, akar masalahnya adalah ketiadaan konsep dan perencanaan pembangunan kehutanan yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, dimana Sekjen dipandang kurang berperan, sementara peran dan fungsi BiroCan yang lebih pada perencanaan administratif organisasi Kemenhut, bukan perencanaan kehutanan. Sebagai regulatory agent yang sering sekaligus mempersonifikasi negara, menguasai kawasan hutan oleh Dephut disinggung kelompok ini juga sebagai akar masalah. Dapat dipahami, kalau kemudian diskursus dalam kelompok ini akhirnya menawarkan solusi dari mulai adanya konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi sampai revitalisasi desentralisasi. Bagi kalangan praktisi bisnis, EBT merupakan beragam pungutan liar dan sejenisnya. Kalangan ini memosisikan EBT bukan sebagai faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan karena sudah diantisipasi kedalam struktur biaya perusahaan, baik dalam rangka efisiensi maupun diversifikasi. Alasannya, sejauh masih diperoleh margin keuntungan yang signifikan, atau sekalipun merugi, masih dapat jaminan pasokan bahan baku kayu, terutama bagi pelaku usaha yang terintegrasi dengan industri perkayuan. Terkait fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini menilai pemerintah dan pelaku usaha sebagai faktor. Pemerintah diposisikan secara tegas lebih dominan, antara lain disebut karena tidak mampu menjamin kepastian usaha, misalnya terkait penatagunaan lahan yang sering berubah mendadak tanpa kompromi atas nama RTRWP-TGHK. Dan diakui korbannya adalah HPH. Pemerintah juga dinilai terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak pelaku usaha, meningkatkan biaya transaksi dengan kandungan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga diposisikan sebagai pihak yang tidak konsisten dan tidak memiliki visi kehutanan kedepan, sehingga cenderung tidak fokus dan tampak berkeinginan untuk memuaskan semua pihak. Dari sisi pelaku usaha sebagai faktor, antara lain disebut sifat dasar pelaku usaha yang secara pragmatis tetap memaksimalkan keuntungan dengan orientasi jangka pendek. Ditegaskan, pelaku usaha sendiri sangat pasif, dan benar-benar tidak lebih dari sekedar operator. Selain karena faktor pemerintah dan pelaku usaha, diskursus dalam kelompok ini juga menguatkan, bahwa potensi HA sendiri sudah menurun, sehingga skala ekonomi usaha pun menurun. Oleh kalangan ini, usaha kehutanan sejauh ini dinilai tidak berhasil dan bahkan penilaian gagal cukup mendominasi. Alasannya mulai dari kondisi fisik-botanis serta potensi hutan alam yang anjlok, konflik multidimensi yang tidak berkesudahan, serta share atas PDB yang disebutnya selalu lebih kecil dari 2. Rontok dan bergugurannya jumlah unit dan luasan HPH juga masuk pertimbangan kelompok ini sebagai indikator kegagalan usaha kehutanan selama ini. Khusus terkait konflik multidimensi, kekecewaan dialamatkan kelompok ini ke Dephut, yang disebutnya ”membiarkan” pelaku usaha menghadapi sendiri menyelesaikan konflik yang sebetulnya bukan urusan pelaku usaha. Rendahnya penegakan hukum, ketidak-jelasan kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan, ketiadaan enabling conditions, khususnya perundangan yang tidak membebani telah diangkat sebagai akar masalah dalam diskursus di kelompok ini. Akar masalah lainnya, antara lain minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, terutama dari sisi penyederhanaan prosedur dan regulasi – bahkan sebaliknya terlalu banyak yang diatur, termasuk hal-hal yang sebetulnya menjadi domain pelaku usaha itu sendiri, sehingga mempersempit ruang gerak si pelaku usaha; sementara sifat aturannya sendiri dinilai mengundang masalah dan meningkatkan biaya transaksi, tidak konsisten dan cenderung membebani, misal dengan beragam pungutan atau penciptaan PNBP baru. Sehingga, di lapangan kalaupun banyak permintaan izin baru, lebih dikarenakan kegiatan spekulasi tanah land politics. Dalam diskursus diangkat pula bahwa ada faktor ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Sedangkan satu-satunya opsi solusi yang ditawarkan kelompok ini adalah melakukan deregulasi. Kelompok masyarakat sipil meyakini EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, karana ia ada dari dulu. Bukan faktor, sejauh pelaku usaha memiliki etos kerja dan etika bisnis dengan kompensasi mencari harga tinggi di pasar, dan atau melakukan berbagai aksi negatif, seperti menebang di luar blok tebangan, dan atau menebang di areal yang belum waktunya. Bukan faktor, karena EBT juga sudah diantisipasi di dalam stuktur biaya yang ada yang kadang besarannya dikompromikan dengan buyers saat menetapkan harga penjualan. Melihat fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini melihat baik pelaku usaha maupun pemerintah sebagai faktor. Untuk pelaku usaha disebutkan kurang pandai mengelola situasi dan perubaannya sekaligus, sehingga tidak mampu beradaptasi serta cenderung memandang bahwa iklim usaha sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga lari ke bisnis lain non kehutanan. Untuk sisi pemerintah disebutkan bahwa sebagai “land-owner” memang memfasilitasi perubahan peruntukan lahan yang berdampak pada pengurangan areal konsesi. Pemerintah juga memperketat penegakan hukum, namun pengawasannya lemah dan dinilai jutsru tidak benar-benar melakukan pengelolaan hutan dengan baik. Potensi HA sendiri disinggung sudah menurun. Kesejahterakan masyarakat, kecilnya kontribusi atas perekonomian, dan kerusakan hutan menjadi alasan kelompok ini dalam menilai ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini. Diakui, bahwa perbaikan usaha kehutanan berjalan paralel dengan usaha perusakannya, sehingga kehancuran? tinggal soal waktu saja. Diskursus dalam kelompok ini kemudian mengharuskan adanya keberanian otoritas kehutanan untuk bertindak secara revolusioner, tidak lagi evolusi....”keburu habis semua”, kilahnya. Sementara, distribusi manfaat, tata-kelola yang semakin menyuburkan KKN, lemahnya penegakan hukum, dan kerangka kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi usaha kehutanan dianggap kelompok ini sebagai akar masalah. Akar masalah lainnya, antara lain disebut minimnya akses masyarakat dan kekurangmampuannya bersaing dalam usaha kehutanan serta orientasi yang masih kuat ke ekonomi perolehan devisa, dan penghargaan masyarakat atas sektor kehutanan yang begitu rendah. Demikian pula, dari sisi pelaku usaha, ketiadaan etika bisnis pun diangkat sebagai akar masalah. Solusi yang diajukan kelompok ini adalah melakukan re-orientasi dan pembenahan tata kelola. Secara ringkas posisi para pihak dalam memandang usaha kehutanan sebagaimana tampak pada matriks dalam Tabel 25. Intisari dari matriks di atas adalah bahwa kecuali kelompok praktisi bisnis dan masyarakat sipil, para pemangku kepentingn tidak melihat EBT sebagai faktor dengan berbagai alasan. Sementara keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan ini melihat pemerintah tetap sebagai pihak yang paling dominan sebagai regulator. Semua kelompok pula setuju bahwa kinerja usaha Tabel 25. Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Ekonomi Biaya Tinggi EBT Faktor ron- toknya HPH Kinerja Usaha Kehutanan Akar Masalah Birokrasi EBT bukan faktor, respon positif dan negatif Pemerintah dom, pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Tidak berhasil share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Profesionalisme rimbawan tidak lagi panglima, ketidakpastian hukum, semangat ekstraktif, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar, ketiadaan common values, tidak ada ”champion” perubahan, ketiadaan leadership, salah menetapkan masalah, dan desentralisasi belum selesai. Opsi solusi: penegakan hukum, jadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. Akademisi EBT Faktor, respon negatif Pemerintah dom dan pelaku usaha Tidak berhasil kondisi kebijakan semrawut, share kehutanan, kerusakan lingkungan, kesejahteraan ketiadaan konsep dan perencanaan pembangunan kehutanan yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, personifikasi negara oleh pemerintah. Opsi solusi :ada konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi, revitalisasi desentralisasi. Praktisi Bisnis EBT Faktor, respon positif Pemerintah dom, pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Tidak berhasil potensi hutan alam, konflik multidimensi, share kehutanan, rontok dan bergugurannya HPH Penegakan hukum rendah, kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan tidak jelas, ketiadaan enabling conditions, minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Opsi solusi: deregulasi. MaspilNGO EBT bukan faktor, respon positif dan negatif Pemerintah dom, pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH Tidak berhasil share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Distribusi manfaat, tata-kelola, penegakan hukum, kebijakan pemerintah tidak kondusif, minimnya akses masyarakat, orientasi ekonomi devisa, penghargaan atas sektor kehutanan. Opsi solusi: re- orientasi pembenahan tata kelola. kehutanan sejauh ini jauh dari berhasil. Pada saat mengangkat akar masalah dan alternatif solusi, semua kelompok lebih fokus pada persoalan kapasitas pelaku usaha dan kapasitas pemerintah, kualitas dan kinerja tata kelola dan minimnya akses masyarakat serta orientasi eksploitasi yang keseluruhannya berangkat dari dan berujung pada sumberdaya hutannya. Demikian pula saat menawarkan opsi solusi hampir keseruhan berangkat dari hutan sebagai sentral, tidak disinggung misalnya soal pasar, harga, dan macam insentif atau keseimbangan beragam bentuk modal dalam usaha kehutanan. Kondisi demikian semakin menegaskan bahwa diskursus para pemangku kepentingan masih diseputar sumberdaya hutan dan menempatkan hutan sebagai titik sentral yang mengindikasikan bahwa aliran kerangka pemikiran masih diseputar “the forest first”. Intisari ini secara skematis, sebagaimana tampak pada Gambar 16. Gambar 16. Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan Gambar 16 memperlihatkan, bahwa dalam memandang kinerja usaha kehutanan pemerintah G berada pada situasi benturan kepentingan; sementara bisnis B tampak paling paham masalah dan alternatif solusi, tetapi juga tidak lepas dari benturan kepentingan. Akademisi A paham tentang masalah dan punya opsi solusi tapi masih ditataran makro-ideologis; sementara masyarakat sipilLSM L sama-sama memahami masalah dan solusi, namun sama-sama lebih banyak ditataran ideologis dan lebih mengarah kepada isu-isu advokasi terkait akses mayarakat atas sumberdaya hutan. Matriks di atas juga menegaskan, bahwa para pihak, kecuali praktisi bisnis, sama-sama melihat EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, dan kalaupun ada, fenomena rontoknya HPH itu lebih disebabkan oleh pemerintah secara dominan, sebagaimana juga tercermin dalam “daftar” akar masalah. Hal ini memberikan isyarat bahwa para pihak memosisikan diri pada keyakinan bahwa usaha kehutanan dapat terus berjalan sekalipun semua pihak pula menilai bahwa kinerja usaha kehutanan sejauh ini tidak berhasil untuk tidak mengatakan gagal. Posisi ini bila ditempatkan dalam bentuk kuadran, maka kontestasi mengerucut dan berada pada wilayah yang diarsir Gambar 17. Usaha Kehutanan - Lanjut Usaha Keh utan an tidak ber ha si l Usaha Kehutanan-tidak lanjut U sa ha K eh ut an an ber ha sil Gambar 17. Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan

3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari

Hampir keseluruhan diskursus dalam kelompok birokrat menempatkan pelestarian HA sebagai masuk akal dari sisi bisnis. Kelestarian dipahami sebagai menjalankan dengan benar dan konsisten sistem silvikultur yang ada. Kelestarian itu instrumen untuk menjawab persoalan distribusi. Kelestarian dipandang perlu komitmen dan orientasi untuk kelestarian. Dipertanyakan pula, pelaku usaha mana yang kegiatan usahanya tidak ingin langgeng. Makna kelestarian juga dikerucutkan sebagai upaya melaksanakan program rehabilitasi yang disayangkannya tidak begitu diminati masyarakat, karena jenis tanamannya yang lambat tumbuh. Di tengah arus pemikiran seperti itu muncul pula pandangan bahwa masuk akal tidak selalu berarti akan dilakukan. Hal terakhir ini dikaitkan dengan pandangan bahwa kelestarian itu tidak menarik, sehingga tidak ada komitmen; sementara dalam pelaksanaannya pun dipandang sering tidak ada pengawasan dan monitoring, tidak profesional. Hal ini diduga karena berpikir jangka pendek, tidak punya idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang, jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga si pelaku berperilaku hit and run. Terlebih, iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha kehutanan. Namun, kelompok ini pun melihat kelestarian sebagai kebutuhan semua pihak dan karenanya harus jadi pijakan bersama. Realisasinya dinilai lain dan malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias berpikir primitif. Dalam arus pemikiran seperti ini, muncul pandangan bahwa kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja. Kalangan ini mengusung beragam makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu keadaan dimana semua fungsi hutan itu tetap dari waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten oleh para pihak pemangku kepentingan. Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan memenuhi amanat Pasal 33 UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan. Dalam penilaian kelompok ini kinerja usaha kehutanan sejauh ini mengerucut kedalam tiga hal: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju bahwa tidak lestari. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal disebutkan bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti ”tidak sepenuhnya setuju”, ”penilaian ini relatif”, ”tidak ada jawaban pasti”, ”antara setuju dan tidak setuju, fifty-fifty lah”. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah