Kuadran Alvesson-Karreman Peta Kerangka Pikir

narasi kebijakan dan pengetahuan disebaliknya yang merepresentasikan makna kelestarian Lampiran 11 dengan kerangka teoretik kelestarian Lampiran 1. Dengan kata lain, dengan merujuk Birkland 2001 ada kesenjangan antara teks kebijakan usaha kehutanan dengan interaksi sosial bagaimana teks ini direspon dan diimplementasikan para pihak. Secara ringkas tampak pula bahwa, kerangka pikir dibalik narasi kebijakan yang ada justru luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Di samping itu, dari unsur ukuran atau lawasnya, diskursus yang terjadi tergolong diskursus meso, antara lain dicirikan orientasi praktisnya yang cenderung mendekati kepentingan jangka pendek dan teknikal close-range interest, misalnya diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha Tabel 23. Tabel 23. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Alvesson dan Karreman 2000 Pendekatan Uraian Catatan Alvesson and Karreman 2000. Longgar loosely coupled, hubungan diskursus dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Lawas diskursus tergolong diskursus meso ; antara lain karena orientasi praktisnya cenderung jangka pendek close-range interest, Narasi kebijakan luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha Berdasarkan dua dimensi ini, peta kerangka pikir kedua periode terletak pada radian II A Gambar 14 Berdasarkan dua dimensi ini, yakni hubungan diskursus dan makna serta lawas diskursus itu sendiri, maka transformasi peta kerangka pikir untuk kedua periode ini berada pada posisi kuadaran dua, kurang lebih sebagaimana ditunjukkan lingkaran A pada Gambar 14.

A I

II II I Gambar 14. Kerangka Pikir Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadaran Alvesson-Karreman 2000

3. The Forest First vs The Forest Second

Selain dengan dua pendekatan di atas, kerangka pemikiran di balik teks kebijakan usaha kehutanan juga dilihat dari pandangan Sfeir-Younis 1991. Dengan pendekatan ini, beberapa sintesis dan bahasan di atas sudah sampai pada penilian bahwa aliran pemikiran the forest first begitu dominan, dimana teks mengindikasikan secara kuat bahwa fisik-botanis dan ekosistem hutan alam menjadi sentra perhatian dan sekaligus sebagai ruang kebijakan policy space. Hal ini dapat diamati baik dari perspektif dan pemosisian hutan alam, pemaknaan kelestarian maupun kerangka hak dan kewajiban para pemegang unit usaha sebagaimana telah dijabarkan di atas. Akumulasi pengetahuan diatas semakin menguatkan pemaknaan bahwa aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan yang ada yang cenderung pada aliran the forest first dapat diposisikan sebagian bagian dari kompleksitas usaha kehutanan selama ini. Terlebih bila dikaitkan dengan kinerja usaha kehutanan sebagaimana telah dibahas dalam bab terdahulu. Dengan memaknai seperti itu, maka salah satu opsi penyelesaian masalah usaha kehutanan perlu coba didekati dari pelurusan aliran kerangka pikir. Dalam hal ini perlu diupayakan pergeseran dari aliran the forest first ke the forest second, dimana perhatian dan orientasi tidak sekedar pada fisik-botanis-ekosistem hutan saja, tetapi seimbang dengan situasi kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan. Bagaimana ini dapat dilakukan, perlu masuk pada soal perbaikan proses konstruksi kebijakan yang benar-benar ditopang unsur governance yang baik.

D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir

Persepsi para pihak telah dijaring melalui dua pendekatan, yakni wawancara mendalam dan internet on-line polling. Sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, penjaringan perspesi didekati dengan empat kelompok pertanyaan seputar a Hutan Alam Produksi di Luar Jawa, b Usaha Kehutanan, c Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi, dan d Kebijakan Usaha Kehutanan. Khusus untuk internet on-line polling, selain keempat kelompok ini ditambahkan pula kelompok untuk mengetahui identitas singkat para peserta polling. Seperti apa dan seberapa jauh persepsi para pihak pemangku kepentingan ini 24 mengonfirmasikan, menegasikan dan menambah-kurangkan berbagai kecenderungan dan pemetaan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada rincian hasil dan sintesis pada Lampiran 12 Wawancara dan Lampiran 13 Polling. Kedua lampiran ini sekaligus merupakan bagian dari wujud interaksi sosial sebagaimana dimaksud Birkland 2001. Secara ringkas peta posisi dan persepsi para pihak ini dijelaskan di bawah ini.

1. Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa

Diskursus seputar hutan alam produksi luar Jawa lebih memperlihatkan refleksi atas situasi, kondisi, faktor penyebab dan alternatif solusi. Dari kelompok birokrat teridentifikasi antara lain bahwa hutan tidak termanfaatkan dan tidak terkelola secara optimal; tidak ada konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan; pemanfaatan yang tidak terkontrol uncontrolled use, undervalued, 24 Yang diwawancarai dan mengisi internet on-line polling dalam penelitian ini sebagaimana dimaksud kan pada Tabel 2 dan 3.