Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari
idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang, jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga si pelaku berperilaku
hit and run. Terlebih, iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada
para pelaku usaha kehutanan. Namun, kelompok ini pun melihat kelestarian sebagai kebutuhan semua pihak dan karenanya harus jadi pijakan bersama.
Realisasinya dinilai lain dan malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya
nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias berpikir primitif. Dalam arus pemikiran seperti ini, muncul pandangan bahwa
kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja.
Kalangan ini mengusung beragam makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu keadaan dimana semua fungsi hutan itu tetap dari
waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung
perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian
juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten oleh para pihak pemangku kepentingan. Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan
memenuhi amanat Pasal 33 UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan
bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan.
Dalam penilaian kelompok ini kinerja usaha kehutanan sejauh ini mengerucut kedalam tiga hal: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju
bahwa tidak lestari. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal disebutkan bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga
potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti ”tidak sepenuhnya setuju”, ”penilaian ini relatif”, ”tidak ada jawaban
pasti”, ”antara setuju dan tidak setuju, fifty-fifty lah”. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah
konsekwensi, sehingga tidak lestari menjadi pilihan yang terpaksa. Argumen lain, fakta empiris menunjukkan bahwa usaha kehutanan sampai sekarang
tetap jalan, namun tidak bisa dipastikan apakah ini indikasi kelestarian. Lestari tidak lestari ini relatif, karena sekalipun banyak HA rusak, tapi tidak begitu
saja dinilai sebagai tidak lestari. Pertimbangannya, banyak pula HT, termasuk HTI yang bertumbuh dan luasannya meningkat atau dengan menimbang
keberadaan HL dan konservasi, yakin HA kita masih lestari. Adapun argumen yang mengatakan tidak setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari bersandar
pada pertimbangan bahwa dari sisi potensi tingkat panen kita selama ini masih di bawah skala lestari. Deforestasipun tidak bisa dijadikan indikasi ketidak-
lestarian, karena ratenya sekarang sudah mengecil. Bila alasan potensinya, per ha nya menurun, kita punya Silin yang dengan TPTJ mampu meningkatkan
produktivitas 10 kali lipat, jadi isunya bukan lestari-tidak lestari. ”Kalau alasan lestari dikaitkan dengan angka deforestasi, angka itu sekarang
jauh menurun....Data FAO 2010 menyebutkan deforestasi kita tinggal 500 hatahun, jadi sudah kecil, tidak bisa jadi alasan tidak lestari...Sementara dari
sisi potensi, dari standing stock kita punya potensi sekitar 25 juta m3tahun; dan jatah tebang kita ditetapkan sekitar 9 jt m3th. Jadi isunya bukan soal
kelestarian, itu kan level konservatif banget... Katakanlah isu soal potensi, kita punya Silin, yang dengan TPTJ mampu meningkatkan 10 x produktivitas
hutan biasa.” Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional – era setelah 1998; Wawancara, 2 Mei 2011.
Kalangan akademisi, menilai kelestarian dari sisi bisnis masuk akal bagi
sebagian pengusaha, yang orientasinya jangka panjang dan multi-manfaat. Namun bagi sebagian besar pengusaha lainnya dianggap tidak masuk akal,
sehingga tidak melaksanakan, termasuk dalam menyiapkan perencanaan tapak. Ini menjadi alasan kuat bagi kelompok ini, bahwa pendekatan atur dan
awasi command and control dinilai masih relevan dan perlu. Tidak masuk akal manakala pertimbangannya adalah sifat bisnis yang berorientasi untung
besar dengan pengorbanan kecil dalam waktu secepatnya. Muncul pula pandangan bahwa kelestarian itu adalah investasi jadi bukan saja masuk akal,
tapi memang sesuatu yang harus dilakukan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian dinilai kelompok ini lebih karena tidak ada
komitmen dan profesionalisme serta sifat dasar sebagai saudagar; sementara dari sisi pemerintah tidak ada pengawalan dan kebijakan yang yang tepat.
Kelompok ini juga meyakini bahwa kelestarian adalah kebutuhan semua pihak dan bukan sekedar instrumen beroleh pasar dan atau insentif harga, tapi
mementingkan pula fungsi dan manfaat lain dari hutan. Pandangan lain meyakini kelestarian sebagai kebutuhan akademisi, karena merekalah yang
selalu bicara soal kelestarian, untuk mengukuhkan dan aktualisasi posisi akademisnya. Penekanan dari kelompok ini adalah bahwa kelestarian bukan
kebetuhan Kemenhut, karena fakta tidak ada pengawalan untuk menjamin pencapaian kelestarian itu di lapangan dan di tataran implementasi. Kelompok
ini memaknai kelestarian sebagai kelestarian hasil dan kelestarian usaha dengan perspektif jangka panjang, progresif, terus menerus dan
menguntungkan baik secara ekonomi maupun finansial. Oleh karena itu untuk mewujudkannya kalangan ini memandang perlu adanya dukungan akan
kemantapan kawasan, tidak ada penebangan berlebih dan ada penanaman kembali. Kelompok ini menilai, bahwa HA produksi tidak lestari, karena
”fakta menunjukkan demikian”. Pertimbangan lainnya, karena data laju dan besaran kerusakan hutan dan lahan serta adanya kencenderungan penurunan
luas dan kemampuan HA untuk mendukung kehidupan manusia yang populasi dan kompleksitas persoalannya terus meningkat.
Bagai kalangan praktisi bisnis, pelestarian HA produksi dipandang masuk akal, sejauh pencapaiannya tidak mengurangi penerimaan atau keuntungan
dan memang dapat diwujudkan sendiri dan tidak sekedar melaksanakan ketentuan dan regulasi pemerintah. Dalam argumen lain disebutkan,
pemerintah tak perlu banyak mengatur secara detail dan rinci; tidak perlu banyak faktor yang ditentukan oleh pemerintah, agar capaian kinerja
sepenuhnya dalam kontrol pelaku usaha. Tidak masuk akal, manakala pencapapaian kelestarian mencakup urusan untuk tidak ribut dengan
masyarakat sekitar. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa pelaku usaha banyak mengalami tekanan, termasuk dari pemerintah yang begitu saja menyerahkan
persoalan kepada pelaku usaha, misal dalam penyelesaian konflik. Layanan
pemerintah sendiri dinilai minim – untuk mengatakan tidak ada. Untuk beberapa kasus pemerintah justru minta dilayani, seperti terjadi di Pemda.
Sementara ditegaskan pula bahwa tidak ada itu kelestarian hutan SFM, karena yang ada baru kelestarian bisnis. Pandangan lain di kelompok ini
menyebutkan, bahwa kelestarian itu mahal, terutama saat pelaku usaha tidak mampu menekan perambahan di areal konsesinya dan tidak ada jaminan dari
pemerintah untuk tidak terjadi perambahan. Kelestarian itu sendiri dipahami sebagai sekedar memaksimalkan “compliance” – sekedar melaksanakan apa
yang pemerintah atur. Pelaku usaha cenderung menjauh dari kelestarian dan bertindak dalam kerangka keuntungan jangka pendek, karena aturan
pemerintah yang berubah terus. Dalam pandangan kelompok ini, melestarikan HA merupakan kebutuhan
semua pihak, minimal secara teori, karenanya perlu dukungan semua pihak pula. Namun faktanya semua pihak pula tidak peduli, termasuk perusahaan
yang hanya memenuhi compliance kelestarian menurut ketentuan atau regulasi pemerintah. Dengan begitu diskursus di kalangan ini juga
menyebutkan kelestarian itu bukan kebutuhan siapa-siapa. Menyadari bagaimana kelestarian banyak diatur pemerintah, kalangan ini melihat
bahwa kelestarian itu seolah milik pemerintah, pelaku usaha dan lainnya tinggal melakukan apa yang telah digariskan. Namun muncul pula pandangan
dikalangan ini, bahwa kelestarian sebenarnya kebutuhan pelaku usaha, karenanya pemerintah sesungguhnya tidak perlu banyak mengatur.
Dalam diskursusnya kalangan ini lebih pragmatis-realistis dalam memaknai kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu adalah keadaan
dimana usaha jalan terus, mampu memasok kebutuhan bahan baku kayu terus menerus tanpa jeda, dengan tetap memerhatikan aspek lingkungan dan
sosial budaya. Nilai hutannya sendiri – sebagai arus manfaat, berlanjut dan meningkat secara progresif. Kelompok ini pun seluruhnya berpandangan
setuju bahwa HA kita tidak lestari. Alasannya, luas dan produktivitas HA produksi menurun drastis oleh berbagai sebab empiris konversi ke kebun dan
tambang dan pinjam pakai kawasan, selain bahwa jumlah dan luasan konsesi HPH telah jauh berkurang serta fakta lain terkait tingginya angka kerusakan
hutan dan lahan. Alasan lain, karena fakta bahwa semua pihak tidak peduli dengan kelestarian, termasuk perusahaan yang terpaksa hanya sekedar
memenuhi kelestarian menurut aturan pemerintah. Kalangan masyarakat sipil menegaskan bahwa yang masuk akal itu
kelestarian usaha. Kelestarian hutan SFM dianggapnya masih utopis. Namun ini tidak sejalan dengan pandangan lain yang juga muncul dalam diskursus di
kalangan ini, bahwa bagi pelaku usaha yang punya dan menjalankan etika usaha, kelestarian usaha berarti harus pula melestarikan hutannya. Disitulah
pelestarian HA dipandang masuk akal, karena kelestarian bagaimanapun adalah menjalankan banyak faktor, yang antara lain disebut sebagai faktor
kunci, yakni melestarikan hutan. Terkait fenomena banyak pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian, sekalipun dipandang masuk akal, kelompok
ini sampai pada penilaiana bahwa hal itu disebabkan karena ketidakmampuan dalam mensiasati, orientasi dan komitmennya rendah, atau memang tujuannya
sekedar hit and run, atau ada opsi lain yang lebih menarik. Usaha kehutanan baru sebatas kayu dan hanya kayu yang dihargai, hutannya tidak dihargai
sebagai asset; kelestarian, karenanya tidak masuk hitungan. Sementara ditegaskan oleh kelompok ini, bahwa performance bond tidak dapat
diandalkan, karena pemerintah terlalu banyak mengatur tapi dengan kontrol lemah sehingga mengundang banyak ketidakpastian dan perilaku
menyimpang. Diskursus di kalangan ini sampai pada penilaian bahwa kelestarian itu
kebutuhan semua pihak, utamanya generasi mendatang, sehingga disebut juga sebagai kebutuhan negara, sebagai pelaksanaan mandat Pasal 33 UUD 45,
antara lain agar manfaat SDA bisa lestari lintas generasi. Dengan pemahaman seperti itu diajukan syarat bahwa kebijakan yang ada tidak membebani atau
meningkatkan ruang dan biaya transaksi. Adapun kelestarian sendiri dimaknai dalam perspektif jangka panjang, lintas generasi, dimana ketiga pilar fungsi
hutan, tidak hilang, tetap terjaga, dan kualitasnya tidak menurun. Hampir keseluruhan narasumber di kelompok ini setuju bahwa sejauh ini HA produksi
bukan saja tidak lestari, tetapi kondisinya rusak parah, indikasinya dari
deforestasi yang terus meningkat dan hilangnya hampir keseluruhan fungsi hutan baik sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Peta diskursus para pihak terkait makna kelestarian tersebut diatas secara ringkas disajikan pada matriks Tabel 26.
Tabel 26. Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak
Komponen Para pihak
Kelestari- an masuk
akal Mengapa tidak
dilakukan Kelestarian
kebutuhan siapa Makna
kelestarian HA kita tidak
lestari
Birokrasi
Masuk akal
Tidak menarik, tidak ada komitmen, iklim
usaha tidak mendukung
Kebutuhan semua pihak, harus jadi
pijakan bersama Semua fungsi
hutan tetap dari waktu ke waktu
secara progresif,
dengan perspektif
keuntungan jangka panjang
Sebagai values yang harus
dipegang konsisten
Setuju karena faktanya,
Ragu-ragu, karena relatif,
Tidak setuju, karena tingkat
panen masih di bawah skala
lestari
Akademisi
Masuk akal bagi
sebagian pelaku
usaha Tidak ada komitmen
dan profesionalisme dari pelaku usaha
Pemerintah kurang mengawal
Kebutuhan semua pihak, terutama
akademisi Kelestarian
hasil dan usaha jangka panjang
dan progresif, terus menerus
mengun- tungkan
Setuju, karena faktanya
Praktisi Bisnis
Masuk akal
Pelaku usaha banyak tekanan
termasuk dari pemerintah,
layannan pemerintah minim,
Tidak ada kelestarian SFM, yang ada baru
kelestarian usaha, kelestarian itu mahal,
sekedar compliance apa yang diatur
pemerintah Kebutuhan semua
pihak, setidaknya secara teori, perlu
dukungan semua pihak pula
Faktanya, bukan kebutuhan siapa-
siapa, karena semua pihak tidak peduli,
termasuk pelaku usaha
Usaha jalan terus tanpa
jeda, tetap memerhatikan
aspek lingkungan,
sosial dan budaya. Nilai
hutan berlanjut, meningkat
secara progresif.
Setuju, karena luas dan
potensi telah jauh menurun
MaspilNGO
Kelestaria n usaha
masuk akal; SFM
masih utopis
Pelaku usaha kurang siasat, kurang
orientasi, kurang komitmen, memang
tujuannya sekedar hit and run
Pemerintah terlalu banyak ngatur
dengan kontrol lemah
Kebutuhan semua pihak, terutama
generasi mendatang; jadi kebutuhan
negara sesuai mandat Pasal 33
UUD 45 Tiga pilar fungsi
hutan tidak hilang, tetap
terjaga, kualitas tidak menurun,
dalam jangka panjang dan
lintas generasi Setuju, karena
kerusakan hutan makin
parah
Tabel di atas secara ringkas menunjukkan, bahwa keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan melihat bahwa melestarikan hutan alam adalah
masuk akal untuk bisnis dan dibutuhkan siapa saja, sekalipun ada yang mereduksi pemaknaannya lebih pragmatis menjadi sekedar kelestarian usaha
Masyarakat SipilNGO. Kuatnya indikasi bahwa sekalipun kelestarian masuk akal tapi banyak yang tidak melakukan, hampir keseluruhan kelompok
melihat dari sisi pelaku usaha dan pemerintah sebagai faktor dalam memosisikan hutan alam; tidak disinggung, misalnya faktor terkait pasar,
harga dan insentif yang relevan. Gambaran para pemangku demikian juga mengindikasikan, bahwa diskursus dan aliran pemikiran masih cenderung di
seputar ekosistem hutan dan menempatkan hutan sebagai hal utama. Bila dikaitkan dengan fakta empiris, bahwa hutan alam produksi tidak lestari, maka
tampak adanya paradoks yang memosisikan kelestarian dan ikhtiar melestarikan hutan alam sebagai barang publik: tidak jelas siapa pemliknya
dan siapa penanggung-jawabnya, namun semua pihak memerlukannya. Posisi paradoks ini dapat dilustrasikan sebagaimana tampak pada Gambar 18.
Gambar 18. Paradoks kelestarian sebagai barang publik Gambar 18. memperlihatkan relasi kontestasi antara pemerintah G
dengan praktisi bisnis B terkait klaim dan makna kelestarian baik dari sisi hukum, teori, dan praktek: kelestarian masuk akal, dan diperlukan semua
pihak. Dalam kontestasi itu, fakta empiris tidak lestarinya hutan alam produksi bagi praktisi bisnis diyakini lebih karena persoalan terkait iklim usaha,
komitmen, profesionalisme dan intervensi pemerintah. Akademisi A dan
masyarakat sipilLSM L melakukan interaksi – masing-masing searah – kepada keduanya B dan G.