Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa

penghamburan wasting assets dan masih kentalnya masalah ketidakpastian kawasan. Adapun penyebabnya teridentifikasi kelompok ini, antara lain kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain non- kehutanan dengan kehutanan. Kehutanan bahkan dinilai telah menyudutkan sektor kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan bagi sektor lain. Muncul opsi solusi dari kelompok ini, antaralain perlunya moratorium usaha kehutanan secara ketat, penataan ulang pengeoloaan mulai di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. Dengan refleksi demikian kelompok ini masih melihat hutan alam memiliki keunggulan dalam banyak hal, terutama dari sisi sifat khas, manfaat multi fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu – yang tidak dapat begitu saja tergantikan hutan tanaman. Dengan begitu, diyakini hutan alam dapat tetap dimanfaatkan, tanpa perlu didikotomikan dengan hutan tanaman, karena dianggap dapat berjalan seiring. Ditekankan, hutan tanaman lebih sebagai jalan keluar – antara lain dalam mengurangi tekanan atas hutan alam. Pembenahan kebijakan perlu terutama untuk memastikan bisa bersinerginya kebijakan kehutanan dengan sektor lain, terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Saat dikaitkan dengan fenomena masih jalannya beberapa pelaku usaha ditengah sulitnya situasi usaha kehutanan, kelompok ini berkeyakinan bahwa hal itu lebih karena korsa rimbawan – disebut berkait erat dengan profesionalisme, integritas, konsistensi dan keterbukaan; lalu institusi dan manajemen usaha kehutanan – dikaitkan dengan efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipatif dan inovasi yang keseluruhannya diakui dapat mengatasi kesulitan dimaksud. Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain yang oleh kelompok ini disebut sebagai faktor dibalik upaya mengatasi situasi itu saat korsa rimbawan dan persoalan-persoalan institusi dan manajemen usaha kehutanan dimaksud tidak tersedia secara memadai. Dalam refleksinya, kelompok akademisi lebih tertuju pada kondisi, tidak muncul unsur penyebab dan dampak. Disebutkan, bahwa kondisi hutan alam produksi di luar Jawa porak poranda, tidak ada penataan dan bahkan tidak ada konsep besar dan menyeluruh grand design tentang pembangunan kehutanan. Konsep usaha kehutanan yang ada pun tidak jelas. Tidak ada perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang lengkap, menyeluruh dengan target yang jelas dan tegas. Perencanaan yang ada, bukanlah rencana pengelolaan, bahkan bukan pula rencana usaha kehutanan itu senciri. Sejauh ini yang terjadi merupakan kekerasan atas sumberdaya hutan, bahkan sumberdaya alam. Bagi kelompok ini hutan alam maupun hutan tanaman bukan isu penting. Diyakini, isunya justru pada penataan makro menyeluruh bagi keduanya; keduanya ada masalah; hutan tanaman pun hingga kini tidak dikelola secara baik sehingga cenderung gagal. Sementara revitalisasi hutan alam seiring membangun hutan tanaman, seharusnya menjadi solusinya. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini lebih melihat pemerintah dan pelaku usaha itu sendiri sebagai sebab. Pemerintah dinilai kurang mampu dalam menyeimbangkan tari-menarik kepentingan. Pelaku usaha dianggap berlaku curang dan manipulatif dalam mengatasi kesulitan itu. Upaya pelaku usaha untuk merasionalisasi usahanya dalam perencanaan usahanya busines plan terkendala ketepatan dan kualitas data dan informasi yang tersedia. Dengan berbagai situasi-kondisi seperti ini, semangat memanfaatkan HA masih tetap relatif tinggi, seolah mengubur realita situasi- kondisi fisik-botanis fungsi dan manfaat hutan alam yang disadarinya sudah menurun dengan nyata. Manfaat dan pemanfaatan hutan alam produksi dengan peluang yang dianggap masih besar menjadi kecenderungan reflek kelompok praktisi bisnis. Manfaat kayu menjadi bagian yang dianggap logis dengan tetap merujuk pada kemungkinan manfaat lain, termasuk restorasi ekosistem. Itu disadari sekalipun disebut adanya fenomena lapangan yang menyimpang, seperti hadirnya fenomena land-banking alias spekulasi lahan dibalik motif memperoleh izin usaha, kondisi-potensi yang tidak sehebat dulu, berbagai ketidakpastian yang menghebat, termasuk yang bersumber dari banyaknya aturan dan ketidak konsistenan dalam aturan dan manajemen dengan perubahan yang sangat cepat. Harapan atas masa depan Indonesia lebih tertuju pada tidak adanya pembiaran atas hutan alam, terlebih konversi legal, sehingga hutan tanaman diyakini sebagai jawaban, selain penghentian sementara pemanenan hutan alam moratorium pemanenan. Dibalik keyakinan ini ada kepercayaan bahwa hutan alam memiliki banyak keunggulan yang tidak dapat ditemui pada hutan tanaman. Untuk itu, diperlukan sejumlah prakondisi pemungkin, antara lain konsistensi pemerintah dalam mengkonstruksi dan implementasi kebijakan. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini memberikan gambaran bahwa ketelanjuran menjadi faktor penentu usaha kehutanan bisa tetap jalan, selain masih kuatnya dukungan modal, plus komitmen terhadap buyer untuk terus memasok bahan baku; sehingga sekalipun kembang kempis dan margin keuntungan tipis, sekedar bertahan hidup – usaha kehutanan jalan terus. Namun, dipertanyakan oleh kelompok ini, seberapa lama kondisi semacam ini bisa bertahan ditanyakan angka 30 tahun?. Dijawab pula, bahwa kembali peran pemerintah yang dinilainya tidak memiliki konsistensi yang memadai dalam mengkonstruksi dan mengimplementasikan kebijakan usaha kehutanan. Reflek kelompok masyarakat sipil lebih tertuju pada kondisi realitas lapangan dengan meyakini, bahwa dengan dominan produk kayu, hutan alam produksi di luar Jawa kondisinya saat ini paling rusak di antara hutan lainnya. Reflek lainnya, disebut antara lain bahwa hutan alam produksi belum terkelola dengan baik. Hal ini dikaitkan antara lain dengan banyaknya wilayah yang open akses, sehingga hutan alam menurun dalam banyak hal, termasuk kondisi-potensi. Dengan begitu, kelompok ini menilai, bahwa penurunan illegal logging diyakini lebih karena tidak adanya lagi kayu di hutan untuk ditebas dan bukan karena membaiknya kondisi atau kinerja penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal logging. Namun, seperti kelompok lainnya, kelompok ini masih memosisikan hutan alam sebagai andalan. Kehadiran hutan tanaman tak lebih sebagai pembenar dari ketidak mampuan memilah sumber bahan baku kayu dari HA. Hutan tanaman terutama untuk tujuan bahan baku bubur kayu dan kertas diwaspadai akan mengancam peningkatan konversi hutan alam baik yang legal maupun ilegal. Alasanya, agar hutan alam dan hutan tanaman bisa jalan seiring. Kelompok ini mempertanyakan pengertian kata “sulit” saat digambarkan adanya pelaku usaha yang tetap jalan ditengah kesulitan usaha kehutanan. Menurut mereka sulit dapat berarti benar-benar merugi atau sekedar pengurangan tingkat keuntungan – dengan kata lain dalam kondisi sesulit apapun, masih tetap untung. Berbagai kemungkinan pengertian ini juga dikaitkan fakta bahwa tantangan usaha kehutanan telah mengalami perubahan yang sebelumnya “longgar” menjadi “ketat” – yang sebelumnya terbiasa boros lalu harus berhemat yang berimplikasi pada pengurangan keuntungan yang disepadankan dengan terminologi “sulit”. Bagi kelompok ini adanya fenomena pelaku usaha yang tetap jalan walau dalam kondisi sulit terkait beberapa kemungkinan dari mulai kemampuan antisipatif, adaptif, berkomitmen sampai berlaku curang. Diskursus para pihak terkait hutan alam produksi di Luar Jawa sebagaimana diuraikan di atas, secara ringkas ditunjukkan dalam matriks berikut Tabel 24. Tabel 24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Reflek atas HA Prod. Luar Jawa Masa Depan Indonesia: HA vs HT Usaha kehutanan sulit, tetap jalan. Faktor apa? Birokrasi Situasi-Kondisi, Dampak, Solusi HA tetap unggul HT sebagai jalan keluar; tidak perlu dikotomi Korsa rimbawan Institusi dan manajemen bisnis Komitmen pelaku usaha Akademisi Kondisi, Solusi HA vs HT bukan isu Keduanya perlu penataan makro menyeluruh Pemerintah tidak mampu menyeimbangkan tarik menarik kepentingan Pelaku usaha curang dan manipulatif Semangat memanfaatkan HA masih cukup tinggi Praktisi Bisnis Situasi-Kondisi HA unggul Jangan ada pembiaran HA HT adalah jawabnya Pelaku usaha masih untung Punya komitmen untuk tetap lanjut MaspilNGO Kondisi HA tetap andalan HT ancaman berupa konversi legal HA Mempertanyakan kata “sulit”; merugi atau sekedar keuntungan yang berkurang Sulit karena tantangan yang telah berubah Matriks di atas menunjukkan, bahwa keseluruhan para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan reflek atas hutan alam yang hampir serupa, keseluruhannya menyoal situasi dan kondisi hutan alam itu. Dibanding dua kelompok yang lain, kelompok birokrat dan akademisi menyoal pula kemungkinan solusi atas situasi dan kondisi itu. Sementara hanya kelompok birokrat yang mengaitkan situasi dan kondisi itu dengan beragam dampak. Hampir semua kelompok masih mengunggulkan dan mengandalkan HA untuk terus diusahakan dengan alasan jangan ada pembiaran atas HA dan HT adalah jawabannya Praktisi Bisnis. HT juga dianggap sebagai jalan keluar, sehingga tidak perlu dikotomi HA vs HT Birokrat. Namun ada juga yang memosisikan HT sebagai ancaman terjadinya praktek konversi legal Masyarakat SipilNGO. Berbeda dengan tiga kelompok lainnya, kelompok akademisi melihat HA dan HT bukan lah isunya, karena keduanya sama-sama memerlukan penataan makro yang menyeluruh. Terkait terus jalannya usaha kehutanan dalam situasi sulit, kecuali kelompok masyarakat sipil, keseluruhan kelompok mengaitkannya dengan kemampuan, korsa, komitmen dan semangat individu pelaku usaha dan hanya kelompok birokrat yang juga menyoal institusi dan manajemen usaha. Tampak bahwa pada saat melihat dan memosisikan hutan alam produksi di luar Jawa, hampir keseluruhan kelompok tidak menyinggung secara tegas dimensi kemanusiaan atau aspek sosial politik dan ekonomi, termasuk saat merefleksikan situasi dan kondisi hutan alam. Hal ini memberikan implikasi, bahwa diskursus yang berkembang menegaskan orientasi kerangka pikir yang masih mengutanakan perhatian pada aspek sumberdaya hutan sebatas ekosistem the forest first Dari matriks yang sama Tabel 24 pula, posisi para pihak atas HA Produksi Luar Jawa dapat dipetakan kedalam kuadaran di bawah ini Gambar 15 dimana absis menggambarkan rentang kondisi hutan alam baik vs rusak dan ordinat menggambarkan rentang kelanjutan atas pengelolaan pemanfaataneksploitasi HA berlanjut vs tidak berlanjut. Gambar tersebut menunjukkan bahwa diskursus seputar hutan alam produksi di luar Jawa juga mengerucut pada kuadran yang diarsir. Ini semacam konfirmasi empiris baik atas kondisi hutan alam produksi di Luar Jawa, maupun kemungkinan langkah lanjut atas usaha kehutanan. Posisi ini menjelaskan pula alasan tidak berubahnya semangat eksploitatif atas HA sekalipun dalam kesadaran semua pihak pula, bahwa kondisinya rusak sebagaimana terindikasi dari realitas kinerja kehutanan Bab III maupun beberapa narasi kebijakan sebagaimana dikemukakan di awal Bab IV ini. Usaha HA- Lanjut Rus ak Usaha HA-tidak lanjut Baik Gambar 15. Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan

2. Pandangan atas Usaha Kehutanan

Diskursus yang muncul terkait usaha kehutanan dalam kelompok birokrat memosisikan fenomena ekonomi biaya tinggi EBT sebagai bukan faktor penting bagi jalannya kegiatan usaha kehutanan, sejauh pelaku usaha mampu melakukan efisiensi, inovasi, antisipasi dan atau diversifikasi dengan praktek usaha lain yang dengan mengeksekusi berbagai salah satu, beberapa atau semuanya cara itu keuntungan usaha kehutanan masih signifikan. Diskursus lain, masih dalam kelompok ini, adalah bahwa EBT bukan faktor, karena si pelaku usaha terbiasa mengambil jalan pintas dengan ”berani membayar lebih dari seharusnya” oknum petugas. Ini dipandang sebagai cerminan upaya kompensasi dari buruknya kualitas komunikasi antara pelaku usaha dengan si petugas tadi. Selain unsur ”komunikasi” dengan petugas, EBT juga disebut- sebut bersumber dari hadirnya klaim-klaim dari ”masyarakat adat”. EBT bukan faktor juga dikaitkan dengan adanya fenomena spekulan tanah, gejala land-banking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. Saat dikaitkan dengan fakta rontoknya banyak HPH, kelompok ini memandang baik pemerintah maupun pelaku usaha sebagai faktor, dimana diakui pemerintah begitu dominan. Disamping itu distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam, serta kondisi potensi sumberdayanya yang sudah menurun dianggap juga sebagai faktor lain. Dari sisi pemerintah kelompok ini lebih melihat dari ketidakpastian kawasan dan usaha yang terus meningkat, karena alasan pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang jelas, terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, ketidak harmonisan hubungan pusat-daerah dalam konstruksi dan implementasi kebijakan yang tidak menimbang secara memadai faktor manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal logging, termasuk isu yang mengemuka dalam diskursus kelompok ini. Masih dari sisi pemerintah, kelompok ini menyorot pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus dalam kelompok ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha para pelaku usaha – antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. Disebutkan, logika dan perencanaan bisnis pelaku usaha cenderung terpaku pada kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak berubah. Saat ditanya apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil, kelompok ini hampir keseluruhannya menilai tidak berhasil, bahkan beberapa terang- terangan mengatakan gagal, walau disampaikan secara malu-malu dengan dibungkus istilah ”fifty-fifty”, ”kurang berhasil”, ”tidak cukup berhasil”, ”saya tidak bisa pastikan itu” atau dengan sekedar balik bertanya ”ukuran keberhasilan itu apa?”. Takaran yang digunakan pun macam-macam, namun share kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak