Tidak mengubah Perilaku Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan
pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan
hutan dianggap sebagai faktor eksogen. Selanjutnya, dalam kalkulasi Kartodihardjo, 1998 kerangka pemikiran
sebagaimana digambarkan di atas mendorong upaya menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap,
sumber-daya manusia human capital yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan.
Dengan kerangka pemikiran seperti ini, dapat dipahami kalau kegiatan pengamanan hutan dilakukan pemerintah dengan pendekatan seperti militer
sebagaimana fenomena kehadiran Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat SPORC. Pandangan ini adalah gambaran lain dari adanya hegemoni atau
dominasi pemerintah dalam penetapan kebijakan usaha kehutanan. Sehingga negara dikatakan sebagai “grand regulators” dimana pemanfaatan dan
konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturan-
peraturan yang banyak jumlahnya. Mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap Kartodihardjo 1998 dan Sfeir-Younis 1991 sebagai faktor
eksogen. Hal disebut terakhir ini adalah jawaban, mengapa opportunity cost tidak masuk pertimbangan dalam proses konstruksi kebijakan.
Dalam keyakinan Kartodihardjo 1998 kebijakan yang dibangun dengan landasan dan kerangka pemikiran demikian tidak memungkinkan mampu
merubah perilaku para pemangku kepentingan, khususnya para pelaku usaha agar beperilaku menuju ke usaha kehutanan lestari. Hal ini dikuatkan
temuannya bahwa a peraturan perundangan yang ada telah mereduksi kebijakan pengelolaan hutan menjadi sekedar pengaturan manajemen
pengusahaan hutan, b keberadaan karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi, c nilai opportunity cost dari modal yang digunakan dalam usaha kehutanan tidak
diperhitungkan dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, melainkan cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap fixed yaitu asumsi riap kayu
di hutan, luas dan rotasi tebang, serta faktor eksploitasi dan faktor keamanan, sehingga perilaku pelaku usaha dalam pengambilan keputusan yang
dipengaruhi oleh faktor moneter tidak diakomodasikan, d banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan adminis-trasi pelaksanaan
pekerjaan telah menyebabkan peraturan perundangan usaha kehutanan hutan tak lebih sebagai penjabaran implementasi teknologi daripada implementasi
institusi; e kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah untuk mendukung akurasi peraturan kerja; sementara pemerintah berkewajiban melaksanakan
pengawasan agar pemegang HPH mematuhi peraturan; padahal kegiatan usaha kehutanan, khususnya perlindungan hutan, menjadi sangat tergantung pada
kemampuan pengawasan yang dilakukan pemerintah, dan kenyataannya kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pengawasan sangat terbatas.
Terkait keyakinannya itu, Kartodihardjo 1998 menunjukkan capaian kinerja usaha kehutanan yang rendah dicirikan dari prosentase capaian kinerja
dan banyaknya peringatan yang diberikan Departemen Kehutanan saat itu, sebagaimana digambarkan tabel berikut ini.
Tabel 28. Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan
Kinerja Peringatan unit HPH
Tahun Baik Sedang
Kurang I II III 19891990
4,2 39,5 56,3
307 53
10
19901991 20,7 56,0
23,3 409
160 21
19911992 18,5 57,8
23,7 416
168 32
19921993 19,2 61,6
19,2 424
174 38
19931994 4,0 61,9
34,1 475
220 65
19941995 10,55 71,11
18,34 30
24 12
19951996 21,35 69,19
9,46 140
86 33
Sumber: Kartodihardjo 1998 – dimodifikasi 3.
Teks lepas dari interaksi sosial – Renstra Dephut
Dengan mempelajari Dokumen Rencana Strategis RENSTRA Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan BPK, kini BUK Departemen Kehutanan
2005-2009
31
, diperoleh pula gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan
31
Penelitian terpisah pada 2010, dimana penulis turut terlibat langsung dalam keseluruhan kegiatan penelitian ini. Hasilnya telah dituangkan dalam jurnal pada Pusat Litbang Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim,
Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
dalam periode ini. Dalam RENSTRA dicakup informasi, antara lain terkait kondisi yang diharapkan, permasalahan, serta kinerja kelembagaan lingkup
bina produksi kehutanan. Hasil evaluasi internal Ditjen BUK dan UPTnya didaerah memperlihatkan bahwa nilai rata-rata kinerja capaian program
lingkup BPK sebesar 7,46 dalam skala 0-9 dimana 0 adalah tidak berhasil dan 9 berhasil. Capaian kinerja untuk keseluruhan PRO program lingkup Ditjen
BPK sebagaimana disajikan dalam Gambar 20.
Nilai Capaian Program
- 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00 9.00
Pro Growth Pro Job
Pro Poor Pro Env
Pr o
g ra
m
Skor
Gambar 20. Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro Program Capaian hasil tersebut di atas tidak terlepas dengan persoalan kinerja
RENSTRA sebagai produk kebijakan. Seberapa jauh capaian kinerja produk kebijakan ini ditunjukkan oleh hasil evaluasi eksternal yang fokus pada
masalah kehutanan yang terjadi dalam kurun renstra, khususnya 2006-2008, dan 2010. Masalah kehutanan 2006-2008 mencakup berbagai peraturan
perundangan terkait isu kawasan hutan, perencanaan, silvikultur, produksi, peredaran hasil hutan, industri, pungutan dan iuran, serta pasokan. Analisis isi
atas berbagai perundangan dalam kurun ini memperlihatkan sejumlah situasi masalah dalam hal implementasinya di lapangan. Implementasi ini terindikasi
masalah hukum dan inefisiensi serta ekonomi biaya tinggi. Sintesa atas situasi masalah itu menunjukkan bahwa: 1 Pola pikir hutan alam digunakan dalam
mengatur hutan tanaman ditunjukkan antara lain banyaknya persyaratan hutan alam diterapkan pada hutan tanaman. Misalnya pemberian tanda pada tunggak
di hutan alam harus diterapkan juga pada hutan tanaman yang secara teknis harus bebas tunggak agar dapat ditanami kembali; 2 Pola pikir hutan di Jawa
diterapkan untuk mengatur hutan di Luar Jawa, padahal alas titel pemilikan lahan di luar Jawa berbeda dengan alas titel pemilikan lahan di Jawa.
Akibatnya, hutan rakyat di luar Jawa tidak dapat diakui sebagai hutan rakyat; 3 Ketiadaan visi, sehingga sifat aturan menjadi reaktif dan tidak antisipatif.
Misalnya kewajiban melampirkan bukti tanda terima laporan realisasi produksi sebagai syarat pengesahan RKT sebagai respon terhadap
ketidaksiapan pejabat menjawab pertanyaan mengenai jumlah produksi yang diajukan oleh pihak lain; 4 Kedudukan suatu prosedur sering tidak tegas –
contoh adalah RKT. Di satu sisi RKT dikatakan bukan sebagai ijin, tetapi di sisi yang lain RKT perlu disahkan oleh pejabat; tanpa RKT sah, pekerjaan di
lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa menghadapi konsekuensi yang berat. Masalah lain, konflik dengan peraturan lainnya terutama peraturan yang
lebih tinggi, kesulitan mengimplementasikan, sehingga menimbulkan biaya, menimbulkan keterlambatan, hingga kemungkinan tersangkut masalah hukum.
Implementasi peraturan karenanya berjalan sering dengan manipulasi. Akibatnya, birokrasi pemerintah menjadi kurang nyaman dan aman dalam
bekerja; sebaliknya dunia usaha merasakan hambatan dan akhirnya inefisiensi yang luar biasa. Sementara itu, keterkaitan antara peraturan dengan
pengelolaan hutan lestari yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat menjadi kurang terperhatikan.
Dari evaluasi masalah selama kurun 2010, diperoleh beberapa pokok temuan, antara lain bahwa empat syarat keberlanjutan, yakni keuntungan dan
distribusinya, kepastian areal dan usaha, serta penegakan hukum: a belum mendukung usaha kehutanan, b kebijakan pengusahaan hutan cenderung
membebani dan tidak menyelesaikan masalah, c HPHIUPHHK berkinerja buruk dan kurang modal, d proses pengawasan lebih pada aspek
pelaksanaan, bukan outcome-based, e urusan pelayanan publik relatif tidak berubah, dan f situasi governance belum mendukung.
Selama periode renstra 2005-2009 ada berbagai kebijakan yang diturunkan menjadi sejumlah peraturan baru maupun revisi peraturan lama dalam lingkup
program Ditjen BPK. Berbagai peraturan ini diharapkan lembaga ini dapat menjadi jalan keluar atas masalah-masalah pokok dalam pelaksanaan usaha
kehutanan. Hasil analisis isi atas berbagai peraturan ini memperlihatkan beberapa memenuhi harapan tersebut dan beberapa yang lain belum
memberikan sesuai yang diharapkan. Dengan pendekatan Birkland 2001 khususnya terkait syarat kebijakan dan implementasinya Tabel 4, sintesa atas
hasil analisis ini sampai pada pengetahuan tentang faktor penentu efektivitas pelaksanaan peraturan usaha kehutanan, antara lain: a Kejelasan tujuan
adanya suatu peraturan – seperti mencapai sesuatu kondisi atau target tertentu, misalnya pengelolaan hutan lestari; membuka kesempatan usaha baru;
memenuhi syarat administrasi, misalnya adanya mandat peraturan yang lebih tinggi; b Sikap dan perilaku siapa yang diharapkan berubah agar tujuan
kebijakan dapat dicapai. Hal ini penting dalam penyelesaian masalah. Secara umum hal ini ditentukan oleh pertimbangan manfaat dan korbanan, informasi
tentang peraturan dan interpretasi atas peraturan tersebut, serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, c Memahami sebab-akibat terjadinya sesuatu
atau situasi tertentu. Misalnya apabila banyak usaha kehutanan melanggar peraturan Y, apa penyebabnya X. Bagaimana dapat dipastikan bahwa
apabila X dihilangkan atau diminimumkan, maka Y akan berkurang. Apa asumsi dan syarat-syarat agar perlakuan terhadap X menentukan perubahan
terhadap Y; d apa instrumen kebijakan yang akan dipilih dan diterapkan agar peraturan layak dijalankan: ukuran kinerja, prosedur, standar, jangka waktu
ijin, tarif, hak dan kewajiban, insentif, denda, pengembangan kapasitas dan lain-lain.; e Siapa dan bagaimana program dan kegiatan untuk memecahkan
masalah-masalah yang menentukan dapat tidaknya peraturan dijalankan, termasuk kesiapan prasyarat berjalannya peraturan, baik berupa bahan-bahan
maupun kegiatan atau pelayanan unit kerja atau lembaga tertentu.
Berdasarkan faktor-faktor penentu itu, dapat ditunjukkan bahwa a dari sisi faktor eksternal untuk mencapai kinerjanya, Ditjen BPK memiliki
ketergantungan atas capaian kinerja unit kerja lain di dalam lingkup Departemen Kehutanan selain Ditjen BPK dan capaian kinerja unit kerja atau
lembaga lain di luar Departemen Kehutanan. Ketergantungan ini merupakan titik kritis pelaksanaan dan pencapaian kinerja kebijakan usaha kehutanan.
Selain itu b proses pembuatan peraturan, termasuk proses pembuatan teksnya masih lemah dalam menentukan hubungan antara tujuan peraturan,
masalah dan solusi, meskipun semua peraturan yang ada telah sejalan dengan koridor hukum yang ada. Ini dimungkinkan antara lain karena belum
terbukanya proses pembuatan peraturan. Keterbukaan tersebut penting dilakukan mengingat isi peraturan seringkali diubah hanya karena kurangnya
pemahaman mengenai kondisi di lapangan maupun persoalan administrasi, akibat pembahasan yang kurang komprehensif. Lalu c monitoring dan
evaluasi – dalam pelaksanaan program dan kegiatan setiap bidang Sub Direktorat Jenderal belum diikuti oleh ukuran kinerja, monitoring maupun
pengendalian secara tepat, efisien dan efektif, termasuk bagi pelaksana kebijakan misal Dinas Kehutanan, UPT maupun pelaku usaha kehutanan
misal swasta, koperasi; dan d interaksi sosial - pelaksanaan kebijakan yang tertuang di dalam peraturan juga sangat tergantung pada informasi dan
interpretasi peraturan tersebut oleh pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan serta interaksinya.
Khusus terkait interaksi sosial disebut terakhir di atas, hasil evaluasi eksternal sampai pada peniliaian bahwa teks kebijakan usaha kehutanan masih
lepas dari interaksi sosialnya. Hal ini diperkuat oleh hasil evaluasi internalnya sendiri yang menunjukkan a lebih berfokus pada lingkup tertentu seputar
aspek administratif yang cenderung membatasi substansi program dan kegiatan; sehingga kinerja program cenderung tidak ada kaitan dengan
outcome yang diharapkan pihak lain; b substansi program lebih didasarkan pada masalah yang dirumuskan pembuat kebijakan Ditjen BPK yang
umumnya terkait masalah-masalah administrasi dan konsistensi hukum dan bukan masalah-masalah yang dihadapi pelaksana kebijakan misal Dinas,
UPT maupun pelaku usaha kehutanan misal swasta, koperasi; dan c kuatnya orientasi pada kepentingan administratif telah mempersempit
hubungan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan, terutama dalam penetapan instrumen agar suatu peraturan dapat
secara efektif dijalankan.