Perubahan orientasi tidak nyata

pemanfaatan serta perizinan. Dalam pengamatannya, pemerintah lepas dari dan tidak menggunakan logika ini. Ditunjukkan, bahwa peraturan yang lahir lebih awal adalah seputar perijinan pemanfaatan. Ini menjadi rujukan bagi peraturan lain yang terbit kemudian. Hal ini menurutnya, mengabaikan kebutuhan pengaturan syarat perlu dan telah menimbulkan bias yang terus melebar, termasuk mengabaikan hutan hak, dan menyebabkan orientasi lebih pada urusan mikro. Selain logika diatas, disebutkan pula bahwa UU pun secara umum menyiapkan institusi yang efektif, dimana ketidak jelasan status kepemilikan dan asset, misalnya, dapat diperjelas dengan aturan pelaksanaan. Namun dalam telaahnya, aturan pelaksanaan ini secara keseluruhan membuat institusi menjadi tidak efektif. Dicontohkan pula bahwa ketidak jelasan hak dan asset menyebabkan batas antara pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna tidak dapat dipisahkan, sehingga de facto di lapangan telah terjadi kekosongan institusi pengelolaan hutan. Masih dari sisi pemerintah, Ismanto 2010 juga melihat bahwa pemerintah tidak cukup menguasai informasi, sehingga terjadi situasi ketidak seimbangan penguasaan informasi asimetric information dengan para pelaku usaha. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada pemegang IUPHHK yang sebetulnya berstatus “hanya” sebagai pengguna dengan sejumlah kewajiban pengelolaan hutan. Akhirnya disebutkan, bahwa pemerintah dengan demikian bertindak tidak saja sebagai regulator dan wasit, tetapi sekaligus juga sebagai pemain. Dengan status seperti itu, aturan-aturan lahir banyak menimbulkan konflik dan biaya transaksi yang tinggi, illegal dan merugikan. Dalam situasi yang kompleks seperti itu, pemerintah ternyata tidak cukup informasi untuk menjalankan kewenangannya, sehingga kinerja pemerintah dalam penegakan aturan lemah.

F. Ringkasan

Berbagai argumen pembuka pada teks kedua UU Kehutanan dan masing- masing peraturan turunannya semakin memperjelas, bahwa kerangka pikir yang menjadi landasan dibalik kebijakan usaha kehutanan adalah memosisikan hutan alam sebagai isu sentral. Artinya, hutan alam dipandang sebagai suatu ekosistem multimanfaat, sehingga pengusahaannya secara lestari harus dilaksanakan dengan dikerangka agar tetap menjaga keseimbangan sistem alami hutan alam itu. Dengan begitu, ruang kebijakan policy space bagi usaha kehutanan lestari pun berada sebatas pada lingkup internal hutan alam itu bio-centris. Latar aliran pemikiran seperti telah ini mendorong pemanfaatan dan usaha kehutanan lestari memerlukan banyak jenis peraturan kerja yang sangat teknikal karena alasan perbedaan kondisi dari satu ekosistem hutan ke ekosistem lainnya; selain juga karena relatif banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha. Namun dalam pelaksanaan, aturannya itu sendiri diposisikan seragam one size fit all. Dengan kerangka berpikir seperti di atas dapat dipahami mengapa pemerintah begitu sering membuat termasuk merubah, menyempurnakan banyak aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan lebih di tataran administratif dan teknikal sebagaimana berkembang dalam diskursus di atas. Hal ini tampak misalnya pada bagaimana kelestarian dimaknai dan diposisikan. Lalu, dapat dipahami pula mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut kepada dimensi meso dalam pendekatan Alvesson-Karreman 2000. Keseluruhan argumen dalam kerangka pikir ini dapat juga diposisikan sebagai penjelas mengapa spirit eksploitatif atas hutan alam dari waktu ke watu dalam kurun lima dekade dengan empat periode penguasaan ini konsisten dan menguat. Dari sisi proses tidak teridentifikasi dengan jelas wujud interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main usaha kehutanan. Siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi tidak terindikasi secara tegas. Dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah pusat dan provinsi, pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dalam proses