Konteks Penelitian KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN

Usaha kehutanan melalui HPH mengalami ”booming” pada awal 1980an. Tercatat ada sekitar 600an unit HPH beroperasi dengan luas rataan dari puluhan ribu hektar sampai jutaan hektar per unit usaha. Pada periode inilah para pemegang HPH memperoleh hasil finansial yang nyata, terutama melalui ekspor kayu bulat. Sementara, pemerintah memperoleh pendapatan, terutama dari iuran HPH dan HPHH, Dana Jaminan Reboisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan bertumbuhnya berbagai industri kehutanan dalam negeri berbasis kayu dari hulu log hingga ke hilir pengolahan kayu. Pada periode ini pula sektor kehutanan menjadi tulang punggung pemerintah dalam penyediaan dana bagi pembangunan. Pada periode inilah sektor kehutanan mencapai peringkat kedua terbesar kontribusinya dalam perekononomian nasional, setelah minyak dan gas. Dalam periode-periode selanjutnya berbagai capaian di atas mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun baik dalam hal jumlah unit dan luasan HPH maupun skala kontribusi dan peran sektor kehutanan pada perekonomian nasional. Dalam periode lanjutan ini, termasuk dalam era otonomi daerah, berbagai penurunan tersebut bertali- temali dengan fenomena deforestasi dan degradasi hutan alam. Hal ini berimplikasi luas, termasuk atas merosotnya lebih lanjut peran sosial- ekonomi dan lingkungan dari sumberdaya hutan dan akhirnya berujung pada penilaian tidak lestarinya hutan alam itu sendiri. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun ini seolah lepas dari adanya sejumlah proses pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk diterbitkannya UU No. 411999 dan turunannya sebagai pengganti UUPK No. 51967. Implikasi ketidak-lestarian hutan alam di atas mengundang beberapa pertanyaan terutama seputar apa, mengapa dan bagaimana sampai hutan alam produksi akhirnya berada pada jalur tidak lestari. Tiga pertanyaan ini penting mengingat landasan penetapan kebijakan usaha kehutanan baik di tingkat UU maupun produk turunannya, khususnya berupa PP, yang justru menempatkan kelestarian sebagai syarat dan bahkan pembatas constraint dalam memosisikan hutan alam sebagaimana selalu tercantum dalam diktum konsideran di hampir berbagai produk UU dan turunannya itu. Bila dikaitkan dengan hasil analisis Sfeir-Younis 1991 sebagaimana dijabarkan pada latar belakang, maka pertanyaan ini mengerucut pada pertanyaan kritis: apakah fenomena ketidak-lestarian di atas adalah bukti bahwa kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dibangun menggunakan aliran kerangka pemikiran ”the forest first”? Lalu, apa makna dan implikasinya bagi pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan? Apakah persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan kebijakan usaha kehutanan?

C. Fokus: Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan kritis di atas ditarik sebagai pertimbangan awal penelitian ini untuk berfokus pada kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di Luar Jawa. Dalam bahasa sederhana, mempertanyakan aliran kerangka pemikiran dibalik sebuah kebijakan pada dasarnya identik dengan mempertanyakan diskursus seperti apa yang sesungguhnya telah berkembang baik dalam bentuk teks perundangan maupun percakapan dan interaksi sosial para pihak pemangku kepentingan kehutanan di sebalik proses konstruksi kebijakan itu. Meminjam salah satu ide Foucault dalam Arts and Buizer 2009 maka memahami diskursus identik dengan memahami relasi kekuasaan dan bahkan dinamika proses-proses politik. Dalam bahasa Springate-Baginski dan Soussan 2002 pertanyaan sederhana di atas pada dasarnya adalah upaya untuk memahami a proses bagaimana kebijakan dikembangkan dan diterapkan, b tujuan-tujuan dan motif dibalik kebijakan – seberapa ia masuk dalam mendekati usaha kehutanan danatau fokus pada kelestarian, c pengaruh kebijakan atas pencapaian tujuan usaha kehutanan lestari, dan d ruang intervensi dalam memengaruhi proses konstruksi maupun implementasi kebijakan. Dalam rumusan Sutton 1999 dan Arts and Buizer 2009 serangkaian upaya memahami berbagai hal di atas tergolong dalam telaah kebijakan dengan pendekatan teori antropologi 6 . Pendekataan demikian fokus pada narasi kebijakan policy narrative dan diskursus discource, terkait fenomena yang sedang hangat dibicarakan yang seringkali justru menjadi hambatan dalam melakukan agenda pembaruan kebijakan. Dengan berfokus pada pendekatan analisis diskursus sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan penelitian yang coba ingin dijawab penelitian ini adalah: a dapatkah fenomena ketidak lestarian usaha kehutanan menguatkan penilaian bahwa aliran kerangka pikir di balik kebijakan usaha kehutanan sejauh ini adalah memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama atau ”the forest first”? b Seperti apa wujud atau peta diskursus yang menguatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan apa implikasinya? Adakah kecenderungan pergeseran atau bahkan perubahan aliran kerangka pikir?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan uraian mengenai konteks, fokus dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan untuk memahami aliran kerangka pemikiran di sebaliknya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: a mengindentifikasi dan menetapkan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dari bahan empiris yang ada, b melakukan analisis diskursus yang mencakup isi content analysis dan narasi narrative serta analisis kesenjangan gap analysis atas berbagai kebijakan itu, c membaca, memetakan, dan menarik alur kerangka pikir baik dari teks perundangan maupun teks yang dibangkitkan dari komunikasi, kerangka pemahaman, maupun praktek sosial, yang diduga berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, dan d melakukan sintesis kerangka teoritik dan konsep kelestarian hutan dan usaha kehutanan sebagai penakar kunci dalam melakukan keseluruhan analisis. 6 Pendekatan teoritis lain dalam rumusan Sutton 1999 adalah pendekatan sosiologi politik, pendekatan hubungan internasional dan pendekatan manajemen. Sementara Arts and Buizer 2009 menegaskan bahwa teori diskursus itu merupakan cabang dari analisis kebijakan.