Kondisi Pemungkin bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik

menuntut peran pemerintah untuk lebih konsentrasi sebagai regulator bagi komponen pemangku kepentingan hutan lainnya, memastikan hubungan antar komponen pemangku kepentingan dan hubungan mereka dengan sumber daya hutan itu sendiri dengan melibatkan keseluruhan para pihak pemangku kepentingan potential potential benefeciaries. Lalu, bagaimana wujud agenda yang berkaitan dengan penghentian kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta keadilan-kesejahteraan lintas generasi ditetapkan, menjadi kondisi pemungkin yang juga penting bagi pencapaian kelestarian. Tuntutan pembagian peran, fungsi dan bahkan posisi para pemangku kepentingan pada hakekatnya adalah gambaran pentingnya upaya pemenuhan dua hal sekaligus, yakni 1 kejelasan dan ketegasan property rights, dan 2 dipertimbangkannya karakteristik inherent SDH dalam menata orientasi kepentingan publik dan menekan biaya transaksi. Bila dicermati, kedua hal ini pun merupakan upaya untuk mencapai efisiensi dan sekaligus keadilan antar generasi, dua dimensi kemana sejatinya kelestarian harus diletakkan. Uraian bagaimana kelestarian dan pencapaiannya harus dimaknai baik secara filosofis maupun operasional, sebagaimana dijabarkan di atas, pada dasarnya mengerucut pada perlunya para pihak pemangku kepentingan memastikan kerangka pemikiran sebagaimana telah ditawarkan Sfeir-Younis 1991 antara ”the forest first” atau ”the forest second”. Rincian sintesis teoretik ini selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

D. Metodologi

1. Kerangka Pendekatan

Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif ex-post Dunn 2000 yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang telah terjadi empiris dan kesenjangan gap yang ada – yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu valuatif. Dengan adopsi ini, hasil analisis juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan perumusan masalah normatif. Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton 1999, bahwa pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” chaotic dari serangkaian tujuan dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini, penelitian ini menganggap bahwa 1 para pembuat kebijakan mendekati isu tidak selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, 2 tidak selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga 3 bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke 1995, dalam Sutton, 1999. Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi- konsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai ”kekacau-balauan” atau ”ketidak-linieran” sebagaimana telah disarankan Sutton 1999. Keyakinan Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton 1999 yakin, bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Grilo 1997 – dalam Sutton, 1999, sampai pada posisi bahwa ”diskursus itu mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan