perundangan dengan capaian kinerja usaha kehutanan. Kesenjangan ini secara kualitiatif disarikan dalam Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja
Setting Tujuan Kebijakan Realitas Kinerja Usaha Kehutanan
Pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat;
Azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas
perusahaan UU 567 Manfaat optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan
lestari UU 4199. Kata kunci I : ”kemakmuran
rakyat” dan ”kesejahteraan seluruh masyarakat”
Kata kunci II: ”Kelestarian hutan” dan ”adil dan lestari”
• Kualitas produk, produksi dan luas hutan produksi, jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun
jumlah unit usahanya, perolehan devisa dan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional –
terus menurun.
• Peran sosial sektor kehutanan atas upaya pengentasan kemiskinan tidak signifikan; angka
kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan tetap tinggi, daya serap tenaga kerja kurang.
• Secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan kurang berhasil – untuk tidak mengatakan
gagal – dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 UUD 45.
• Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil.
Ini mengundang pertanyaan terkait bagaimana kesenjangan ini bisa terjadi, bahkan dalam kurun yang begitu lama, atau setidaknya dalam lima dekade.
Pertanyaan ini berkaitan setidaknya dengan dua hal terkait masalah kebijakan usaha kehutanan: kegagalan kebijakan itu sendiri dalam
mencapai tujuan kebijakan dan bagaimana cara atau kerangka pikir para pihak yang berperan dalam merumuskan kebijakan. Hal pertama lebih
berkaitan dengan ”kualitas” kebijakan usaha kehututanan dan hal kedua lebih kepada dinamika diskursus para pihak yang berperan dalam proses
konstrruksi kebijakan yang telah berkembang dan mengkristal kedalam teks peraturan perundangan yang mengatur usaha kehutanan. Dengan
demikian, menarik pengetahuan tentang dua aspek ini dari bahan empiris yang ada, terutama dari dokumen kebijakan usaha kehutanan, diharapkan
dapat sekaligus menjawab pertanyaan ”mengapa” kesenjagan itu hadir untuk waktu yang begitu lama, dan bahkan sampai hari ini.
D. Kebijakan Usaha Kehutanan
1. Kebijakan Usaha Kehutanan Sebelum 1998
13
Kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa, ditandai dengan diberlakukannya Peraturan
Pemerintah PP No. 641957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet
Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I provinsi. Pada Bab 2 Pasal 10 PP 641957 ini, diatur bahwa pemerintah di
tingkat provinsi memberikan ijin pemanfaatan kayu dalam bentuk: a konsesi hutan sampai luasan 10.000 ha dengan jangka konsesi 20 tahun,
b persil tebangan sampai luasan 5.000 ha selama lima tahun, dan c ijin tebang kayu dan dan pemungutan non kayu sampai batas tertentu selama
dua tahun. Dengan kewenangan ini Pemerintah Provinsi lalu memungut pajak dan royalti atas hasil panen kayu dan hasil lainnya berdasarkan luas
tebangan dan volume pemungutan. Sekalipun tidak disebutkan besarannya dalam PP ini secara pasti, sebagian besar dari pungutan itu
disetor ke Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Setidaknya sampai 1960an pelaksanaan PP tersebut relatif masih
belum menimbulkan akibat atau kerusakan berarti pada lahan dan sumberdaya hutan. Kemungkinannya, karena jumlah dan luas areal yang
diberikan melalui tiga macam konsesi di atas masih kecil, relatif atas luas hutan yang ada dan tersedia waktu itu, yang sebagian terbesar kondisinya
masih perawan virgin forests. Dengan kata lain, pemberian konsesi saat itu tergolong belum begitu berdampak negatif, termasuk terhadap
kehidupan keseharian masyarakat sekitar hutan. Demikian pula, keberadaan konsesi belum secara nyata memperlihatkan konflik yang
serius dengan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran konsesi itu justru lebih membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Meski tergolong
banyak kewenangan telah dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi melalui PP ini, beberapa kewenangan lain, seperti pengalokasian hutan,
13
Pada masa paska kemerdekaan, khususnya setelah 1950an.
penetapan hutan, dan perencanaan kehutanan tetap berada pada Pemerintah Pusat.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 51967 tentang Kehutanan, desentralisasi urusan kehutanan sebagaimana
telah diatur dalam PP 641957 relatif dipersempit. Saat bersamaan, kewenangan Pemerintah Pusat semakin diperlebar, menandai kembalinya
sentralisasai urusan kehutanan. Pada periode inilah sektor kehutanan, dipacu usahanya dan dijadikan andalan bagi pembangunan ekonomi
nasional. Peran sentralisasi Pemerintah Pusat semakin menguat, setelah
dikeluarkannya paket kebijakan peningkatan investasi dengan pemberlakuan Undang-undang UU No. 11967 tentang Penanaman
Modal Asing PMA dan UU No. 61968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri PMDN serta penerbitan PP 2170 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, PP 221967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH dan PP 3370 tentang
Perencanan Hutan. Dengan serangkaian aturan ini pemerintah memberikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan HPH
14
secara besar-besaran pada kawasan hutan alam produksi dengan total alokasi, waktu itu, mencapai
lebih dari 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa inilah eksploitasi dan komersialisasi hutan alam produksi dilakukan besar-besaran. Tujuan
utama usaha kehutanan waktu itu adalah, memacu perolehan devisa sekaligus untuk mengatasi kondisi ekonomi nasional yang saat itu
dipandang begitu memprihatinkan. Upaya resentralisasi semakin menguat, karena pemerintah pusat mengendalikan hampir keseluruhan kebijakan
usaha kehutanan melalui berbagai isntrumen peraturan-perundangan dan perencanaan.
Kebijakan pemberian konsesi HPH secara besar-besaran dianggap telah mampu membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa
dan pembangunan industri kehutanan. Namun, tingkat ekstraksi hutan dan
14
Secara detail operasional pemberian HPH diatur melalui SK Mentan No. 571967 tentang Syarat-syarat dan Cara Penyelesaian Permohonan HPH dan SK Menhut No. 2541968 tentang Pelimpahan Wewenang
Penandatanganan Surat Keputusan Pemberian HPH kepada Direktur Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian