Makna lepas dari Diskursus

berlangsung. Dengan kata lain, ini adalah situasi yang bantu menggambarkan adanya gap antara teks dan interaksi sosialnya. Hal demikian dapat ditafsir bahwa kebenaran yang terkandung dalam tekstual substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Lepasnya makna dari diksursus juga dapat dijumpai pada saat para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada catatan kaki No. 24 memosisikan dan memaknai kelestarian. Di sini bahkan dapat dipahami bahwa lawas diskursus terkait kelestarian merentang dari dimensi mega – kelestarian ditempatkan sebagai mandat pencapaian Pasal 33 UUD 45 – ke dimensi mikro – kelestarian sebagai hal-hal teknikal dan administratif-prosedural yang harus dipenuhi pemegang unit usaha – dan akhirnya mengerucut pada dimensi meso, dimana kelestarian tak lebih sebagai daftar keharusan di tingkat unit managemen yang bagi pemegang konsesi usaha, eksternal sifatnya: sekedar menjalankan keharusan atau aturan yang telah ditetapkan pemerintah compliance based. Seberapapun lawas diskursus yang mengemuka, para pihak pemangku kepentingan, kecuali beberapa narasumber di komponen pemerintah, semuanya setuju bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi Luar Jawa tidaklah lestari. Poin ini menjadi hal ironis lainnya, manakala dikaitkan dengan pandangan para pihak ini untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan di hutan alam Gambar 15 dan 17. Poin inipun menguatkan lepasnya makna diskursus, seperti juga dijumpai pada persepsi dan posisi para pihak atas kebijakan usaha kehutanan Tabel 27. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi atau menyederhanakan persoalan yang tergambar berat ini, uraian terakhir di atas, dalam bahasa sederhana dapat disebutkan bahwa para pihak pemangku kepentingan sekalipun mengakui tiga hal tidak perform kondisi hutan alam, kinerja usaha kehutanan, dan kualitas kebijakan namun semangatnya masih kuat untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan hutan alam produksi di luar Jawa dengan alasan dan bahkan jargon yang kurang lebih tidak berubah: pembangunan ekonomi, sesuai mandat Pasal 33 UUD 45. Kembali ke persepsi dan posisi para pihak atas kelestarian, sebetulnya ada yang lepas atau setidaknya kurang lengkap dari persepsi dan penarikan posisi para pihak atas kelestarian, yakni persoalan opportunity cost. Dengan mengasumsikan secara ekstrim, bahwa pemerintah lepas 100 dan tidak campur tangan atas pengelolaan dan pengurusan hutan alam dan keseluruhan pengelolaan hutan alam produksi di Luar Jawa di berikan kepada pihak swasta, maka menjadi pertanyaan menarik seberapa jauh hutan alam ini akan lestari. Dengan asumsi demikian, maka swasta sebagai pelaku usaha tetap akan memaksimalkan keuntungannya dengan merujuk terutama pada tingkat bunga bank komersial sebagai patokan. Dengan asumsi tidak ada values tata nilai, norma lain, maka si pengusaha secara matematis akan mengambil keputusan dalam keadaan dimana total laju penebangan lestari Δvv dengan perubahan harga hasil tebangan Δpp per tahun lebih besar dari bunga bank komersial r 29 . Keadaan ini akan tetap jadi pegangan para pelaku usaha sekalipun berada pada kondisi ketidak pastian, sejauh koefisien ketidakpastian itu sebut saja δ tidak mengganggu laju keuntungannya dan in total tidak lebih kecil dari tingkat bunga bank komersial tadi. 30 Dengan frame ini maka kebijakan penetapan laju pertumbuhan hutan alam pertahun MAI sebesar 1 m3 per ha per tahun oleh pemerintah sebagai dasar penetapan jatah tebang tahunan akan menjauh dari capaian kelestarian, karena laju tebangan dalam masa konsesi misal 40 tahun hanya sebesar 2.5 jauh lebih kecil dari tingkat bunga bank saat itu 15-18 atau bahkan dengan tingkat bunga bank komersial yang berlaku sekarang 5-6. Kondisi ini bisa jadi alasan kuat, mengapa kelestarian – sekalipun diakui masuk akal, tapi tidak dilakukan oleh beberapa unit usaha. Hal ini sekaligus menjadi penegas, bahwa usaha kehutanan hutan alam produksi di Luar Jawa tidak mungkin lestari. Inilah salah satu gambaran yang lebih konkret terkait kualitas kebijakan usaha kehutanan sekaligus pemahaman terkait argumen makna lepas dari diskursus. Apakah ini sebuah jawaban bahwa kebijakan usaha kehutanan salama ini dinilai tidak berhasil mengubah perilaku ke arah kelestarian? 29 Dalam notasi matematis hal ini dituliskan sebagai Δvv+Δpp r…..01 30 Dalam notasi matematis: δΔvv+Δpp r …..02

2. Tidak mengubah Perilaku

Kualitas kebijakan juga terindikasi kuat tidak mampu mengubah perilaku menuju ke kelestarian usaha, lebih karena persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan itu dibuat. Ini ditelaah Kartodihardjo 1998. Menurutnya, kebijakan usaha kehutanan hutan alam produksi di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian konsep dan asumsi yang digunakan sebagai landasannya. Dalam pengamatannya atas sejumlah isi peraturan perundangan usaha kehutanan sampai 1998, diperoleh gambaran kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan, yakni meletakkan hutan natural capital sebagai faktor utama. Dengan begitu, hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami dan tergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Pelestarian hutan – dalam pemikiran demikian – tergantung dari keseimbangan sistem alami di dalam hutan itu sendiri. Ruang kebijakan policy space bagi pelestarian hutan disebutnya berada dalam lingkungan internal hutan yang dianalisis. Dengan demikian, pemanfaatan dan pelestarain hutan memerlukan banyak jenis peraturan kerja biasanya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis karena adanya perbedaan tipe ekosistem hutan dan banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pengelola hutan. Pandangan Kartodihardjo 1998 ini menegaskan, begitulah kerangka pikir dibalik kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan. Karena kerangka pikir itulah mengapa pemerintah begitu banyak membuat aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan di tataran adminstratif dan teknikal. Pandangan ini juga turut menjelaskan mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut ke dimensi meso. Merujuk pada kerangka pikir demikian, keberhasilan pelestarian hutan, karenanya sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghasilkan peraturan kerja yang tepat dan kemampuan para pengelola hutan untuk dapat mengerti dan melaksanakannya. Dalam pendekatan ini perdebatan mengenai upaya pelestarian hutan selalu diseputar peraturan kerja yang tidak benar akibat dari permasalahan penerapan keilmuan atau keabsahan data yang digunakan Kartodihardjo, 1998. Dengan pandangan ini, ia melihat, bahwa pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan hutan dianggap sebagai faktor eksogen. Selanjutnya, dalam kalkulasi Kartodihardjo, 1998 kerangka pemikiran sebagaimana digambarkan di atas mendorong upaya menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap, sumber-daya manusia human capital yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini, dapat dipahami kalau kegiatan pengamanan hutan dilakukan pemerintah dengan pendekatan seperti militer sebagaimana fenomena kehadiran Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat SPORC. Pandangan ini adalah gambaran lain dari adanya hegemoni atau dominasi pemerintah dalam penetapan kebijakan usaha kehutanan. Sehingga negara dikatakan sebagai “grand regulators” dimana pemanfaatan dan konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturan- peraturan yang banyak jumlahnya. Mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap Kartodihardjo 1998 dan Sfeir-Younis 1991 sebagai faktor eksogen. Hal disebut terakhir ini adalah jawaban, mengapa opportunity cost tidak masuk pertimbangan dalam proses konstruksi kebijakan. Dalam keyakinan Kartodihardjo 1998 kebijakan yang dibangun dengan landasan dan kerangka pemikiran demikian tidak memungkinkan mampu merubah perilaku para pemangku kepentingan, khususnya para pelaku usaha agar beperilaku menuju ke usaha kehutanan lestari. Hal ini dikuatkan temuannya bahwa a peraturan perundangan yang ada telah mereduksi kebijakan pengelolaan hutan menjadi sekedar pengaturan manajemen pengusahaan hutan, b keberadaan karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi, c nilai opportunity cost dari modal yang digunakan dalam usaha kehutanan tidak diperhitungkan dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, melainkan cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap fixed yaitu asumsi riap kayu