Akar Diskursus Diskursus Kelestarian
untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kesejahteraan ekonomi.
Dalam ilustrasinya Tisdel et al 1996 menekankan bahwa Adam Smith jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud PR dan tata-kelola
merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara. Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam
Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan
dari capaian pembangunan itu. Tisdel et al 1996 mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David
Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara
mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill
bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana
mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel, kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property
rights pada gilirannya akan berlaku; tanpa perlu secara khusus menelaah pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi.
Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al tt, telah disepakati dan mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan PBB UN, 1993 di Rio de Janeiro pada 1992. PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan
yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa ”manusia memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” WCED, 1987. Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam
tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas
kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan
sosial dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham. Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas
bagi mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik dalam generasi intra-generational equity maupun antar generasi inter-
generational equity.
Kaivo-oja et al tt lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama, yakni 1 Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi
yang tidak seimbang, terutama di negara berkembang; 2 Menghentikan pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam urusan manusia dan kemanusiaan, 3 Mengamankan bagi generasi mendatang
kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih sebagaimana kita nikmati, 4 PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga
dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara secara sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik
dan cultural bebas dan inovatif.
Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan
modal alam dalam kondisi terus meningkat, menurut Kaivo-oja et al tt tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada
dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya, sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan
dasar bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya, berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, kehidupan manusia
merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global yang berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan
pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan meruntuhkan sistem pendukung kehidupan – bahkan dalam kasus terburuknya
– menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan
sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis Malaska, 1971, 1972.